Oleh: Dr. H. Aries Purwanto, M.Pd.
Sebuah tradisi yang dilakukan oleh Suku Aborigin di Australia menyadarkan kita bahwa ternyata kata-kata ”makian” dapat membunuh jiwa dan daya kreasi anak didik. Sekilas mengingat upacara tradisi yang disakralkan oleh Suku Aborigin: Ketika pohon-pohon besar yang sudah tua usianya, tidak produktif lagi, tidak memberikan keteduhan, dan dianggap tidak berguna lagi, maka pohon besar itu “dimaki-maki” secara ritual.
Kata-kata “makian” diarahkan kepada pohon yang dianggap sudah tidak berguna lagi. Sampai akhirnya tercipta “permusuhan batin” yang sengit, sehingga perlahan-lahan pohon itu pun tumbang, mati karena “dimaki-maki” secara bersama-sama dan terus-menerus.
Dari peristiwa ini memberikan inspirasi kepada kita, bahwa kata-kata “makian”, “keji”, “jorok”, “umpatan” ternyata dapat menusuk hati dan perasaan, sehingga terjadi sakit hati pada diri yang dimakai-maki. Pada gilirannya, sakit hati yang berkepanjangan dan sangat membekas di hati itu akan merusak syaraf-syaraf respon mareka.
Kerusakan-kerusakan syaraf itulah awal dari “terbunuhnya” potensi dalam diri anak. Rasa takut bersalah, sikap ragu-ragu, takut menghadapi resiko, takut bersaing, merasa kehadirannya hanya sebagai pelengkap, keberadaannya adalah sia-sia dan sejumlah sikap pesimis akan terbentuk setelah bertubi-tubi mendapat kata-kata “makian”.
BACA JUGA: Melampaui Absurditas: Sebuah Upaya Mengalahkan Kesia-siaan
Anak-anak kita adalah ladang subur, yang harus ditanami dengan benih yang unggul dan dirawat dengan penuh kasing sayang, perhatian dan bekal-bekal nilai moral yang tinggi.