Konteks Keislaman dan Pembelajaran Bahasa Inggris di Madrasah

Oleh: Siti Asmiyah*

Apr 15, 2024 - 11:54
Konteks Keislaman dan Pembelajaran Bahasa Inggris di Madrasah

Bulan Ramadhan sebagai bulan yang dimuliakan oleh umat Islam telah dilalui selama satu bulan. Kebaikan, ibadah, ritual dan semua praktik keagamaan diyakini oleh Muslim akan dibalas Allah dengan pahala yang berlipat. Bulan Ramadhan juga menjadi masa dimana Muslim berlatih untuk menjadi insan dengan versi yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Dahulu ketika saya kecil, sejauh ingatan saya, setiap bulan Ramadhan sekolah libur. Karena masih tahap berlatih, saat kecil saya berpuasa setengah hari. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah menunda makan, karena sesungguhnya tidak ada puasa setengah hari. Saat itu puasa menjadi hal yang menyenangkan. Selain karena puasanya hanya setengah hari, karena masih tahap latihan, juga karena kami libur sekolah. Sehingga, puas kami menghabiskan waktu bermain dengan kawan sebagai penghibur agar lupa atas rasa lapar.

Kondisi ini berbeda dengan puasa beberapa tahun ini, anak-anak masih harus bersekolah. Tahun ini bahkan masa penilaian tengah semester juga bertepatan dengan bulan Ramadhan. Karena perbedaan antara kalender Hijriah dan kalender Masehi. Kalender Hijriah berbasis pada perputaran bulan sementara kalender Masehi berbasis pada perputaran matahari. Perbedaan masa edar bulan dan matahari ini menyebabkan awal tahun Hijriah tidak selalu sama jika dibandingkan dengan kalender Masehi. Sehingga, kalender akademik tidak dapat disesuaikan dengan bulan Hijriah. Tentu, Ramadhan tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak berkegiatan secara akademik dengan baik. Justru karena pada bulan ini segala kebaikan dicatat sebagai amalan yang berlipat, jihad mencari ilmu di bulan Ramadhan harus lebih semangat.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran, bulan Ramadhan sebenarnya dapat menjadi momentum untuk melaksanakan pembelajaran secara kontekstual dan eksperiensial. Menurut Johnson (2022), pembelajaran kontekstual didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa siswa akan belajar dengan baik jika mereka dapat melihat, memaknai dan menghubungkan materi pembelajaran dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sementara itu, pembelajaran eksperiensial  merupakan pembelajaran yang berfokus kepada siswa. Dalam hal ini, siswa dilibatkan aktif dan langsung dalam proses pembelajaran untuk pemerolehan pengalaman nyata. Model pembelajaran eksperiensial yang dikembangkan oleh Kolb pada 1984 ini menitik beratkan pada bagaimana siswa dapat belajar dengan secara aktif menemukan, mengeksplorasi, merefleksi, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata kehidupan (Butler dkk, 2019). Pembelajaran kontekstual dan eksperiensial saling melengkapi karena keduanya menitikberatkan pada peran aktif siswa dalam mengaitkan pengetahuan dengan konteks nyata disekitar mereka.

Dalam kaitannya dengan momentum Ramadhan dan pembelajaran Bahasa Inggris, khususnya di madrasah, guru dapat memfasilitasi siswa dengan stimulus-stimulus maupun kegiatan-kegiatan yang dikaitkan dengan Ramadhan. Untuk pembelajaran kosakata, misalnya, siswa dapat diajak untuk mengeksplorasi kosakata bahasa Inggris yang berkaitan dengan kegiatan Ramadhan. Kata-kata seperti fasting, congregational prayer, charity dapat dipelajari dengan lebih detil. Kata serapan dari Bahasa Arab seperti iftar dan suhoor yang sudah masuk dalam kamus Merriam-Webster dapat juga disampaikan kepada siswa untuk memperkaya kosakata mereka. Karena kata iftar dan sahur bukanlah hal asing bagi mereka, pemaknaan kata tersebut dalam bahasa Inggris akan semakin memperkaya koleksi kosakata siswa.

Dalam contoh lain, ketika target kompetensi siswa adalah menulis atau mempresentasikan teks deskriptif atau recount, ada banyak hal yang dapat dituliskan siswa terkait Ramadhan. Siswa dapat diminta untuk mencari kegiatan unik yang mereka alami atau temukan terkait Ramadhan. Mereka kemudian merefleksikan hal tersebut dan menuliskan atau mempresentasikannya dalam bentuk teks deskriptif atau recount. Dapat juga siswa diminta untuk menuliskan prosedur dari sebuah kegiatan keagamaan, seperti cara berwudhu, tata cara shalat tarawih atau sesederhana cara membuat es kuwut untuk berbuka. Tentu siswa memiliki pengalaman yang lebih dari cukup tentang hal-hal tersebut. Yang mereka butuhkan adalah menyampaikannya dalam Bahasa Inggris.

Penggunaan konteks Ramadhan dalam pembelajaran Bahasa Inggris ini dapat memberikan beberapa keuntungan bagi siswa. Pertama, mereka akan memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dan motivasi yang lebih tinggi. Menurut Krashen (1982), pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua dapat difasilitasi dengan baik jika siswa memiliki filter afektif yang rendah. Filter afektif merupakan sebuah kondisi dimana siswa memiliki saringan emosional terhadap apa yang mendorong atau menghambat mereka untuk belajar. Semakin tinggi filter afektif siswa, semakin sulit mereka belajar. Pengetahuan yang cukup terkait topik dan materi pembelajaran dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat filter afektif. Topik seputar Ramadhan atau konteks keislaman lain dapat menjadi sebuah topik yang dapat dianggap dekat dengan siswa di madrasah. Dengan demikian filter afektif dari siswa diharapkan berada pada level yang rendah.

Masih menurut Krashen (1982), keuntungan lain dari menggunakan konteks yang dekat dengan siswa dalam pembelajaran bahasa asing adalah meningkatnya potensi pemahaman siswa. Dalam hipotesanya, Krashen menyebut ini sebagai comprehensible input atau ‘masukan yang dapat dipahami.’ Dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris di madrasah, siswa memiliki kedekatan spiritual, emosional, sosial dan kontekstual dengan Ramadhan dan topik keislaman lainnya. Sehingga, jika topik-topik yang dibahas berkaitan dengan apa yang sehari-hari mereka alami, pemerolehan Bahasa Inggris mereka akan lebih mudah terfasilitasi. Hal ini karena topik yang dibahas dengan menggunakan Bahasa Inggris adalah sesuatu yang dapat dengan mudah mereka pahami.

Penggunaan konteks keislaman dalam pembelajaran Bahasa Inggris di madrasah juga sesuai dengan Zone Proximal Development (ZPD) atau pengembangan zona proksimal. ZPD merupakan perbedaan antara tingkat perkembangan yang telah diperoleh oleh siswa melalui pemecahan masalah dan potensi tingkat perkembangan berikutnya yang dapat mereka peroleh melalui pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan rekan sebaya (Vygotsky, 1978 dalam Gauvain, 2020). Dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris di madrasah, topik-topik keislaman dapat dianggap sebagai pengetahuan pada tingkat perkembangan yang telah mereka peroleh. Bahasa Inggris menjadi sebuah tingkat perkembangan lanjutan yang dapat mereka peroleh dengan berangkat dari pengetahuan terkait topik keislaman yang telah mereka miliki. Dengan fasilitasi yang tepat dari guru, siswa akan dapat memecahkan kendala dalam menggunakan Bahasa Inggris dengan menggunakan pengetahuan mereka terkait topik keislaman yang telah mereka kuasai dengan baik.

Tentu, penggunaan topik keislaman ini tidak semata-mata menjadi satu-satunya alternatif. Namun, pembelajaran Bahasa Inggris perlu selalu memerhatikan momentum dan fenomena yang terjadi di lingkungan siswa. Sehingga, guru dapat memberikan fasilitasi pembelajaran Bahasa Inggris dengan lebih baik, kontekstual dan bermakna bagi siswa. Dengan melihat Bahasa Inggris sebagai ‘alat’, tentu bahasa ini dapat digunakan untuk konteks dan tujuan apapun. Hal ini berarti, penggunaan konteks keislaman untuk pembelajaran Bahasa Inggris di madrasah dapat juga diadopsi untuk pembelajaran Bahasa Inggris di jenis sekolah lain. Tentu saja, dengan penyesuaian-penyesuaian topik dan tema. Kuncinya kembali lagi pada penggunaan momentum dan fenomena yang dekat dengan siswa sebagai potensi untuk memfasilitasi pembelajaran Bahasa Inggris siswa dengan lebih baik.      (****)

Penulis adalah dosen Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya dan Pengurus PISHI