Mudik antara Tradisi dan Gaya Hidup

Oleh: Dr. Mangihut Siregar, M.Si.

Apr 9, 2024 - 15:21
Mudik antara Tradisi dan Gaya Hidup

Istilah mudik populer di Indonesia sejak tahun 1970-an. Fenomena ini semakin populer sehubungan dengan perkembangan Kota Jakarta sebagai ibukota. Pembangunan berpusat di Jakarta sehingga penduduk yang berasal dari desa berlomba-lomba untuk mengubah nasib di ibukota. Orang desa yang sudah mendapat pekerjaan di ibukota ingin pulang kampung pada saat-saat tertentu. Biasanya mereka pulang pada hari-hari besar agama, misalnya mudik lebaran, idul adha, natal, tahun baru, dll.

 

Kata mudik berasal dari bahasa Melayu yaitu udik artinya hulu atau ujung. Istilah ini mereka pakai karena orang yang tinggal di daerah hulu sungai sering melakukan kunjungan ke daerah hilir. Kunjungan itu mereka lakukan untuk menemui keluarga yang jauh. Transportasi yang digunakan adalah perahu atau biduk.

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik adalah pulang ke kampung halaman. Dari pengertian ini mudik itu sangat luas. Mudik dapat dilakukan setiap agama, setiap orang, setiap saat, dan tempat tujuan mudik, tidak hanya desa, tetapi juga semua tempat.

 

Selain di Indonesia, tradisi mudik juga dikenal di negara-negara lain. Negara Amerika melakukan mudik di hari libur nasional yang dikenal dengan thanksgiving atau hari pengucapan syukur. Pada saat mereka berkumpul bersama keluarga besar biasanya dilengkapi dengan santapan kalkun. Di Cina, tradisi mudik mereka lakukan pada saat Tahun Baru Imlek, di India saat perayaan Diwali, di Turki disebut Seker Bayram, di Malaysia disebut Balek Kampung.

 

Beberapa Alasan Melakukan Mudik

1. Menjalin Silaturahmi

Pada tahap awal mudik bertujuan untuk menjalin silaturahmi. Mudik dilakukan karena jarak tempat tinggal yang berjauhan, dan komunikasi yang sangat sulit. Hubungan kekeluargaan yang sangat kuat di Indonesia sehingga silaturahmi tetap dijalin. Untuk menjalin silaturahmi mereka memanfaatkan hari-hari besar agama dan liburan lainnya untuk pulang kampung.

Saat berkumpul bersama keluarga besar di kampung halaman, mereka saling berbagi cerita. Mulai cerita nostalgia hingga keberadaan keluarga masing-masing. Makanan khas daerah tidak luput dari hidangan untuk menambah keakraban.

Setelah musim mudik selesai, mereka akan kembali ke kota sebagai tempat mereka bekerja. Pada saat balik ke kota, para pemudik umumnya membawa saudara dari desa untuk ikut mengadu nasib di kota. Akhirnya urbanisasi tidak terhindarkan yang membawa masalah baik di daerah asal maupun di daerah tujuan. Di desa tinggal orang-orang yang kurang produktif (anak-anak dan orang yang sudah tua) sedangkan di kota menimbulkan pengangguran sehingga menimbulkan tindakan kriminal yang semakin tinggi.

 

2. Pengingat Asal-usul

Setiap orang mempunyai asal-usul. Pada awalnya, asal-usul tersebut berbentuk desa. Karena di desa sumber mata pencaharian sangat terbatas yang ditambah sarana dan prasarana yang sangat terbatas, orang berlomba-lomba mencari daerah yang lebih maju (kota). Mereka hidup secara menetap di kota bersama dengan keturunannya.

Walaupun sudah menetap di kota dalam waktu yang cukup lama, para perantau selalu berusaha mengingat asal-usulnya. Cara mengingat asal-usul dilakukan dengan mudik pada saat-saat tertentu. Dengan tradisi mudik ini, para kaum muda tetap mengingat asal-usulnya.

 

3. Berwisata

Pada masa sekarang, berwisata sudah menjadi kebutuhan utama. Berwisata sangat diperlukan karena manusia memerlukan refreshing  untuk melepas kejenuhan. Pekerjaan sehari-hari yang sering membosankan ditambah kemacetan kota dan polusi udara sehingga manusia kota sangat memerlukan refreshing.

Karena berwisata sudah menjadi kebutuhan penting, beberapa daerah membuat sektor pariwisata menjadi prioritas. Hal ini masuk akal karena sektor pariwisata dapat menghasilkan devisa dan menciptakan lapangan kerja. Karena banyak manfaat dari pariwisata, pemerintah daerah berlomba-lomba memajukan daerahnya dalam bidang pariwisata.

Adanya pembangunan destinasi di daerah-daerah menarik minat masyarakat kota pulang ke daerah. Masyarakat kota ingin menikmati destinasi di daerah asal yang tidak ada atau berbeda dengan daerah lain.  Keindahan destinasi yang ada di daerah dinikmati masyarakat kota pada saat-saat libur panjang (mudik).

 

4. Gaya Hidup

Menurut Pierre Bourdieu, gaya hidup adalah sebuah ruang yang bersifat plural, di dalamnya anggota kelompok sosial membangun semacam kebiasaan sosial mereka. Gaya hidup menjadi pembedaan sosial atas kelompok-kelompok gaya hidup yang mengandalkan identitas kelompoknya pada sebuah sistem citra. Citra hanya dapat berfungsi apabila digunakan dalam praktik sosial.

Mudik pada masa sekarang sudah menjadi gaya hidup. Dikatakan menjadi gaya hidup karena semua orang ingin keluar dari tempat tinggalnya menuju tempat lain dengan bermacam tujuan. Ada yang bertujuan untuk silaturahmi, berwisata, mengurus bisnis, dan lain-lain. Setiap ada hari besar atau libur panjang masyarakat kota berlomba-lomba melakukan mudik. Daerah tujuan mudik berbagai macam, orang kaya bisa ke daerah asal dan lebih banyak ke daerah elite bahkan ke luar negeri.

 

Destinasi mudik sangat dipengaruhi oleh kelas sosial. Hal ini terjadi karena selera mudik setiap masyarakat berbeda-beda. Semakin tinggi kelas sosial seseorang, semakin tinggi juga selera akan tujuan mudik.

 

Praktik Mudik dari Hari ke Hari Semakin Berkembang

Pada tahap awal, mudik murni hanya untuk silaturahmi. Beberapa tahun kemudian mengalami perkembangan menjadi pengingat asal-usul bagi orang yang sudah lama tinggal menetap di daerah kota. Perkembangan selanjutmya mudik mengalami perkembangan menjadi wisata bahkan hingga gaya hidup. Dari fenomena ini dimungkinkan praktik mudik akan semakin berkembang di kemudian hari. Selamat menikmati mudik. (****)

 

 

Dr. Mangihut Siregar, M.Si. adalah Dekan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

 

Editor: Dr. Indayani, M.Pd., dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus Pusat PISHI.