Jejak-Jejak 2022, Ironi Ancaman Badai PHK Ditengah Laju Kencang Ekonomi Indonesia

Memasuki November, badai PHK itu pun tiba. Anggota Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto mengatakan buruh industri sektor TPT seluruh Indonesia yang terkena PHK mencapai 58.572 orang per November 2022.

Jejak-Jejak 2022, Ironi Ancaman Badai PHK Ditengah Laju Kencang Ekonomi Indonesia

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Menjelang pengumuman upah minimum provinsi (UMP) 2023, buruh dikejutkan dengan pernyataan sejumlah pengusaha bahwa badai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) mengintai pekerja di industri padat karya.

Pada akhir Oktober lalu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terancam badai PHK. Ia menyebut sebanyak 45 ribu karyawan industri tekstil telah dirumahkan.

"Potensi PHK sudah dapat dirasakan. Perkiraan 45 ribu karyawan sudah mulai dirumahkan," ujar Jemmy kepada CNNIndonesia.com, Rabu (26/10).

Ia mengatakan kondisi ini terjadi lantaran permintaan pasar ekspor seperti Amerika Serikat dan Eropa, menurun tajam akibat kondisi global yang tidak stabil. Penurunan permintaan berada di kisaran 30 persen sejak akhir Agustus 2022.

"Bilamana kondisi ini berlanjut, angka (karyawan dirumahkan) yang lebih besar akan terjadi," terang Jemmy.

Tak hanya itu, industri tekstil juga telah mengurangi jam kerja karyawan. Hal ini dilakukan untuk menjaga efisiensi industri.

Pernyataan Jemmy ini diperkuat oleh Wakil Ketua Kadin Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta Kamdani. Ia memperkirakan sektor padat karya akan melakukan PHK lantaran permintaan pasar yang merosot.

"Bahkan, mereka (industri padat karya) berupaya untuk tidak melakukan PHK, tapi sekali lagi, ini sulit. Karena permintaan dan pasarnya menurun signifikan, jadi mereka banyak melakukan efisiensi," ujar Shinta.

Memasuki November, badai PHK itu pun tiba. Anggota Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto mengatakan buruh industri sektor TPT seluruh Indonesia yang terkena PHK mencapai 58.572 orang per November 2022.

Anne mengatakan data tersebut diperoleh dari survei yang dilakukan terhadap 78 anggota non-API dan 146 anggota API.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengungkapkan 25.700 pekerja sudah terkena PHK per Oktober 2022 ini. Jumlah ini pun diproyeksi terus bertambah hingga 2023.

Firman menyebut PHK massal ini terjadi karena penurunan permintaan industri sepatu yang sudah menyentuh 50 persen. Permintaan menurun dan order yang masuk masih kecil juga didorong oleh negara-negara tujuan ekspor Indonesia yang masih mengalami kelebihan stok.

"Kalau belajar di 2020 lalu, ketika pasar domestik kita stoknya penuh semua dan tidak laku, butuh waktu 1 tahun lebih untuk order masuk lagi ke pabrik," jelas Firman.

Ironi di Negara dengan Laju Ekonomi Tertinggi Dunia
Ironisnya, PHK ini terjadi di negeri yang katanya pertumbuhan ekonominya merupakan salah satu terbaik di dunia.

Lihat saja, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah pamer bahwa RI menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di negara-negara G20.

Tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,72 persen pada kuartal III 2022. Sementara, ekonomi Kanada hanya 4,6 persen pada periode yang sama.

Lalu, Meksiko 4,2 persen, China 3,9 persen, Korea Selatan 3,1 persen, dan Italia 2,6 persen. Kemudian, Uni Eropa 2,1 persen, AS 1,8 persen, Jepang 1,6 persen, dan Jerman 1,2 persen.

Namun demikian, pertumbuhan ekonomi RI tersebut masih di bawah India, Arab Saudi, Turki, dan Argentina.

Pemerintah sendiri berupaya melakukan intervensi untuk mencegah gelombang PHK terjadi masif. Menteri Keuangan Sri Mulyani, misalnya, ia baru akan berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk menyiapkan kebijakan dalam menangkal PHK ini.

Berdasarkan data yang ia miliki, memang ada usaha yang mulai mengalami tekanan, yakni industri TPT. Sementara, industri alas kaki masih relatif baik.

"Sampai Oktober memang ada tekanan terutama untuk TPT, kalau alas kaki relatif masih cukup baik. TPT terlihat mulai ada tekanan terhadap beberapa korporasi, ini yang akan kita waspadai dengan langkah-langkah apa yang harus disiapkan," katanya.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian membentuk Satuan Tugas Pengamanan Krisis Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan tim bertugas menginventarisasi industri TPT serta alas kaki yang terdampak oleh krisis perekonomian global.

Tim juga bertugas mempersiapkan langkah-langkah mitigasi untuk industri tekstil dan produk tekstil dan alas kaki yang dilaporkan sejumlah asosiasi mengalami perlambatan.

"Satgas juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam pelaksanaan strategi mitigasi yang diambil tersebut," kata Agus.

Ia mengatakan agar badai PHK di sektor padat karya itu tak mengganas, pihaknya akan menjalankan beberapa strategi.

"Pertama, kami upayakan pencarian pasar baru untuk ekspor bagi sektor industri. Kami mencoba buka akses untuk pasar ke Amerika Latin dan Selatan, Afrika, negara-negara Timur Tengah, dan Asia," katanya.

Kedua, memperkuat penguasaan pasar dalam negeri, dengan menggencarkan dan mendorong promosi serta kerja sama lintas sektoral agar program peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) semakin tumbuh.

"Melalui program ini juga akan menumbuhkan sektor industri itu sendiri," imbuhnya.

Ketiga, memperkuat daya saing industri dengan kemudahan akses bahan baku, penguatan ekosistem usaha, dan penguatan sistem produksi. "Kita bisa lihat dengan berbagai instrumen seperti BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah), juga larangan terbatas (lartas), dan banyak lagi instrumen lain yang bisa kita pergunakan," imbuhnya.

Tak mau ketinggalan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memperbarui kebijakan trade remedies guna mencegah dan memulihkan kerugian para pelaku industri dalam negeri, khususnya sektor TPT.

Trade remedies merupakan instrumen yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat praktik perdagangan tidak sehat (unfair trade). Bentuk kebijakan ini bisa berupa bea masuk anti dumping (BMAD) maupun bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) atau safeguards.

Di sisi lembaga, OJK juga memberi sedikit angin segar bagi pelaku industri TPT dan alas kaki dengan memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan dari yang semula berakhir pada Maret 2023 menjadi 31 Maret 2024.

Antisipasi Badai PHK
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet pun menilai langkah-langkah yang diambil pemerintah tadi merupakan hal yang dibutuhkan. Misalnya, perpanjangan restrukturisasi kredit oleh OJK menjadi penting karena tahun depan masih merupakan tahun transisi dari proses pemulihan ekonomi.

"Sehingga perpanjangan restrukturisasi oleh OJK tentu akan menjadi semacam keringanan bagi para pelaku usaha untuk bisa tetap survive dalam proses transisi pemulihan ekonomi tersebut," kata Yusuf.

Ia menilai ketika restrukturisasi dapat dilakukan dengan baik, maka pelaku usaha setidaknya mempunyai peluang sehingga tidak melakukan efisiensi dalam skala yang besar termasuk di dalamnya PHK kepada para pekerjanya.

Terkait alternatif tujuan ekspor, Yusuf memberi catatan. Menurutnya, yang tidak kalah penting adalah produk apa yang kemudian bisa ditawarkan ke negara pasar ekspor alternatif. Dengan kata lain, sebaiknya produk yang ditawarkan juga terdiversifikasi atau berbeda dengan yang ditawarkan ke pasar ekspor utama.

"Misalnya di pasar ekspor utama salah satu keunggulan produk ekspor kita adalah produk sawit dan turunannya. Di pasar alternatif, saya kira perlu dicari alternatif produk lain selain sawit artinya nantinya sawit dan juga produk alternatif tersebut bisa ditawarkan ke negara yang bersangkutan," sambung Yusuf.

Di samping itu, untuk menggenjot kinerja ekspor industri padat karya dan mencegah PHK, pemerintah juga perlu mendorong peran aktif dan menambah jumlah Indonesia Trade Promotion Center (ITPC), Kedutaan Besar Republik Indonesia, serta Konsulat Jenderal Republik Indonesia sebagai advisor bagi calon dan eksisting eksportir.

Nantinya, ketiga institusi itu bisa mendampingi eksportir dalam negosiasi dagang, mengawasi penyelesaian perselisihan, dan juga membangun komunikasi bisnis dengan para pelaku usaha di luar negeri.

Di sisi pelaku usaha, Yusuf mengatakan pengusaha perlu mencari sumber pendanaan untuk melakukan ekspansi bisnis. Menurutnya, itu merupakan salah satu hal yang bisa dilakukan, meskipun memang di saat seperti sekarang mencari pendanaan menjadi cukup menantang. Apalagi di tengah tren peningkatan suku bunga.

Selain itu, pelaku usaha juga bisa mempertimbangkan melakukan penyesuaian margin keuntungan. Artinya, margin disesuaikan dengan kebutuhan pelaku usaha di tahun depan dan juga tetap mengakomodasi kebutuhan para pekerja mereka.

Hal berbeda diucapkan oleh Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita. Ia menuturkan PHK di sektor padat karya imbas menurunnya permintaan sangat sulit dicegah. Terlebih, penurunan permintaan berasal dari global.

Perusahaan-perusahaan tekstil, garmen, atau perusahaan pembuat sepatu, misalnya, selama ini sangat bergantung pada permintaan luar negeri. Meski begitu, Ronny mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah, termasuk seperti yang saat ini sudah dilakukan perlu ditingkatkan.

Pertama, pemerintah bisa bekerja sama dengan dunia perbankan untuk menyediakan pinjaman lunak baru dengan bunga dan tenggang waktu pembayaran yang longgar. Hal ini dilakukan agar perusahaan bisa tetap bertahan dengan sumber pembiayaan yang affordable.

"Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan keringanan pajak, bahkan kalau memungkinkan membebaskan pajak kepada perusahaan manufaktur untuk rentang waktu tertentu, sampai permintaan pulih, agar beban keuangan perusahaan bisa semakin ringan," imbuh Ronny.

Kedua, pemerintah bisa membantu perusahaan untuk menciptakan dan memperbesar pasar dalam negeri. Upaya ini sebagai substitusi atas menurunnya permintaan dari luar negeri.

Salah satu caranya dengan menaikkan tarif impor untuk produk manufaktur dari luar, seperti tarif impor tekstil dan bahan tekstil. Lalu, menaikkan tarif impor produk garmen dan lain-lain agar harga produk manufaktur nasional bisa semakin kompetitif.

Pemerintah, kata Ronny, juga bisa membantu dengan kebijakan khusus yang bertujuan untuk mendorong konsumsi produk dalam negeri. Seperti kampanye produk dalam negeri dan sejenisnya.

"Tujuannya agar permintaan atas produk manufaktur nasional bisa dialihkan ke dalam negeri," ucapnya.

Ketiga, pemerintah perlu membantu perusahaan-perusahaan untuk melakukan upgrade teknologi dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan begitu, perusahaan padat karya nasional bisa menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif.

Keempat, pemerintah perlu mendorong akselerasi investasi baru untuk membuka lapangan kerja baru dan investasi baru. Menurut Ronny, selain menyerap tenaga kerja baru, hal ini juga bisa menjadi penyerap tenaga kerja lama yang terkena PHK.(A. Hanan Jalil dari Berbagai Sumber)