Oleh: Muhammad Yusuf Siswijayanto
BERKABAR
Mas, apa kabar?
Semoga damai di dimensi sana.
Tidak terasa sudah seratus tahun semangat yang dibangun.
Semangat itu masih ada, Mas.
Baca Juga: Puisi Januari
Rumahmu dan taman kecil indahmu masih sering dikunjungi mereka.
Kerangkanya masih terlihat indah.
Kokoh seperti tidak dimakan usia.
Jendelanyapun masih bersih seperti dulu kala,
Baca Juga: Cinta yang Mengendap Bersama Gerimis Sore Hari
Kami masih bisa melihat semua yang di dalam dari luar.
Kadang terangan, bersama orang yang disayang,
Mas bersenda gurau dalam rumah itu.
Seperti dalam dongeng dan cerita-cerita orang dulu.
Baca Juga: Kenangan Jogja
Pohon-pohon buah di sekitar rumah juga terus berbuah, Mas.
Kadang kami bagikan pada anak manusia yang memerlukan.
Kadang kami rawat kembali untuk dijadikan bibit yang siap ditanam.
Mas tidak ingin pulang?
MENGINGAT
Mas, terkadang membaca kembali bahasa yang ditulis
Seakan sering membawa kesedihan.
Walau sebenarnya ada bahagia di dalam timbunan kata tersebut.
Yang menjadi kalimat indah menemani sedih diri di sana.
Baca Juga: Senandika
Merdeka, Mas!
Tanah tumpah darah ini sudah menjadi milik kita.
Pedih, peluh, darah, dan keringat sepertinya sudah terbayar lunas, Mas.
Merdeka!
Kata itu semakin marak dan terpantul dalam tiap nadi pembangunan.
Kata itu semakin kaya makna dan tertutup niscaya.
Kata itu berderai di lautan.
Nan sulit kita rujuk ke mana.
Baca Juga: ‘Terima Kasih dari Pejabat Negeri’