Kisah Cinta Gajah Mada dan Bendera Merah Putih: Cerak Tanah Gorom

Oleh: Dr. Iwan Rumalean, M.Pd.

Aug 17, 2023 - 17:30
Kisah Cinta Gajah Mada dan Bendera Merah Putih:  Cerak Tanah Gorom

 

Tulisan ini dipersembahkan untuk menguak sisi lain kisah cinta Mahapati Amangkubhumi Gajah Mada dan ide desain simbol Merah Putih sebagai bendera negara Indonesia. Tema tersebut dipilih bertepatan dengan HUT Kemerdekaan ke-78 RI pada 17 Agustus 2023. Artikel ini ditelisik dari perspektif cerita rakyat (cerak) dari tanah Goran Riun sebagaimana Sumpah Palapa yang tertulis dalam kitab pararaton.

Kisah cinta Pati Gajah Mada berkisar seputar tiga wanita berparas cantik. Pertama, Puranti. Putri Demang Suryanata dari kerajaan Kahuripan. Kisah kasih keduanya gagal ke pelaminan. Karena status sosial Gajah Mada hanya sebagai prajurit Bayangkara biasa (Bekel Dipa), belum diangkat sebagai Mahapati Majapahit. Kedua, Putri Dyah Pitaloka Citaresmi. Putri Kerajaan Sunda yang terkenal karena kecantikannya. Gajah Mada dan Pitaloka pun tidak sampai ke pelaminan karena Pitaloka bunuh diri setelah perang Bubut tahun 1351 M. Ketiga, Ni Luh Ayu Sekarini. Putri Ki Dukuh Gedangan dari Kerajaan Bali. Kisah cinta Gajah Mada dan Sukarini berlanjut hingga ke pelaminan. Sukarini melahirkan seorang putra bernama Aria Bebed yang menetap di Pulau Dewata Bali (Oky News, 2022).

Kisah cinta Gajah Mada yang lain penuh misteri karena tidak tercatat. Salah satunya adalah ditolaknya lamaran Gajah Mada oleh Putri Puti atau Nene Puti. Dikisahkan pada 1336 M, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit mendampingi Raja Hayamwuruk (Parinduri, tirto.id). Selanjutnya, Gajah Mada berkeliling Nusantara untuk memersatukan kerajaan-kerajaan lain di bawah panji Majapahit. Salah satu destinasi yang dituju adalah kepulauan Gorom yang tertulis dalam Sumpah Palapa sebagai ring Gurun berikut ini.

Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi, sira Gajah Mada: 'Lamun huwus kalah nusantara isunamukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”, (Wikipedia Indonesia).

            Ring Gurun, dalam Sumpah Palapa adalah kawasan Gorom yang berbatasan tetangga dengan Ring Seran atau Seram Bagian Timur sekarang. Nama lain Gurun adalah Guran, Goran, Gorong, dan Gorom. Ring Goran dan Ring Seran adalah dua peradaban besar bertetangga di Maluku sejak zaman prasejarah. Keduanya memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat kuat.  Keduanya juga merupakan kawasan penghasil rempah-rempah dan kawasan transit antara kawasan Timur dan Barat Nusantara hingga bangsa-bangsa lain seperti India-Gujarat, China, dan Timur Tengah.

            Sesuai sumpahnya, Gajah Mada mendatangi ring Goran bersama rombongan dan tentara Majapahit. Salah satu simbol Gajah Mada dan pasukannya adalah kain merah yang diikat di kepala. Sesampai di Gorom, Gajah Mada mengonsolidasikan kekuatannya ke pusat kerajaan. Dalam proses memantapkan pengaruhnya di Gorom, Gajah Mada jatuh cinta pada gadis Gorom bernama Putri Putih atau Nene Putih. Gajah Mada mengirim utusan untuk menemui keluarga Putri. Utusan tersebut menyampaikan maksud Gajah Mada yang ingin memersunting Putri.

            Keluarga Putri sebenarnya menolak lamaran Gajah Mada. Namun, yang meminang Putri adalah Mahapati Gajah Mada. Bentuk penolakan tersebut disampaikan dalam bahasa yang santun. Keluarga menyerahkan lamaran Gajah Mada kepada Putri untuk memutuskan untuk diterima atau ditolak. Atas saran salah satu anggota keluarga agar dilakukan tes darah. Putri menyampaikan persyaratan tersebut kepada utusan Gajah Mada bahwa pinangan Gajah Mada akan diterima, tetapi perlu dilakukan tes darah. Jika darah Putri dan Gajah Mada sama warna, maka pinangan Gajah Mada diterima dan dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Sebaliknya, jika darah berbeda warna, maka pinangan Gajah Mada ditolak dan tidak bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan.

Mendengar persyaratan tersebut, utusan kembali dan menyampaikan kepada Gajah Mada. Selanjutnya, Gajah Mada menerima persyaratan Putri sehingga disepakati hari pengetesan darah. Gajah Mada diberikan kesempatan pertama mengambil darah. Dengan kebesarannya, Gajah Mada menggunakan Krisnya melukai jari telunjuknya untuk mengeluarkan darah. Hasilnya darah Gajah Mada berwarna merah. Selanjutnya, Putri mengambil darah dengan menggunakan bagian tipis tajam sisi bambo. Ternyata darah Putri berwarna putih kebeningan.

Berdasarkan hasil tes darah tersebut, pinangan Gajah Mada kepada Putri ditolak atau tidak dapat dilanjutkan. Gajah Mada sebenarnya kecewa dengan hasil tes tersebut. Namun, sebagai ksatria Majapahit, Gajah Mada menerima hasil tersebut. Walaupun cinta Gajah Mada ditolak, sebagai bentuk cinta dan kasih sayang serta untuk mengenang Putri. Gajah Mada memerintahkan kepada tentaranya untuk menggunakan simbol putih di sisi bawah kain merah di kepala para pengawal. Sejak saat itulah, tentara Majapahit yang menggunakan simbol merah berganti menjadi merah putih.

Menurut keyakinan masyarakat Gorom bahwa simbol merah putih yang digunakan Mahapati Gajah Mada dan tentaranya itulah yang mengilhami Bapak Proklamator Ir. Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia mendesain Bendera merah putih. Selanjutnya Istri Soekarno, Ibu Fatmawati yang menjahit bendera merah puti kali pertama. Bendera tersebut dikibarkan oleh Latief Hendraningrat dan Suhud tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta pada saat upacara pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Begitulah sisi lain kisah cinta Gajah Mada dan bendera merah putih. Sebenarnya Gajah Mada bisa berbuat apa saja untuk menikahi Putri Puti. Namun, Gajah Mada bukanlah tipe pemimpin yang haus akan tahta, harta, dan wanita. Suri teladan Gajah Mada itulah yang semestinya menjadi karakter kepemimpinan Indonesia saat ini dan di masa depan. Bukan seperti sebagian pemimpin yang terobsesi hanya untuk memerkaya diri, keluarga, dan kelompoknya.

Sejarah pasti memiliki sisi perdebatan yang kadang tidak berujung. Menurut versi yang lain, bendera merah putih awalnya disampaikan oleh guru tua atau Habib Idrus bin Salim Aljufri kepada Soekarno. Usulan itu berdasarkan pesan dari Rasulullah Muhammad SAW, melalui mimpi guru tua (baca Palu. TribunNews.Com).

Selanjutnya, Muktamar NU yang ke-12 pada tahun 1937 di Malang Jawa Timur. Guru tua mengirim pesan kepada pendiri NU Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’Ari agar NU merekomendasikan Merah Putih sebagai bendera negara dan Soekarno sebagai pemimpin Indonesia. Namun, jika ditelisik lebih jauh pada pintu mimbar masjid-masjid tua di negeri adat di seluruh Provinsi Maluku semuanya menggunakan umbul-umbul merah dan putih. Pada sisi kanan mimbar dipasang kain merah dan di sisi kiri dipasang kain putih. Misalnya, masjid tua Wapaueh di negeri Hila-Kaitetu Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, yang dibangun pada 1414 M menggunakan tradisi kain merah putih di mimbar. Masjid Agung An-Nur Negeri Batu Merah di Kota Ambon yang dibangun pada tahun 1618 M kemudian Masjid Jami’ di pusat Kota Ambon yang dibangun tahun 1860 M, semuanya menggunakan tradisi simbol merah putih di mimbar.

Simbol merah-putih yang bermakna berani dan suci. Berani berbuat kebaikan untuk kemaslahatan masyarakat itu sudah tertanam di dalam tradisi berpikir masyarakat Nusantara. Artinya, pada peristiwa 17 Agustus 1945 itu merupakan puncak-puncak berpikir untuk berani berbuat kebaikan. Soekarno berperan sebagai penggali dan konkretivitas kearifan lokal nusantara. Sebagaimana dalam pidato-pidatonya Seokarno mengatakan ‘saya bukan pencipta, saya penggali akar budaya nusantara’.

Tidak bermaksud memertentangkan siapa pencipta bendera merah putih karena sejarah akan mengungkapkan kebenarannya sendiri. Paling tidak sebagai referensi pengayaan wawasan anak bangsa akan perjalanan bangsanya bahwa kita memiliki andil di dalam pembangunan sekecil apa pun bentuknya. Selain itu, setiap peristiwa dan nilai akan melewati lorong waktu yang panjang dan berliku-liku.

Sebentar lagi kita akan merayakan HUT ke-78 RI pada 17 Agustus 2023. Di depan kita pada Februari 2024 ada hajatan pesta demokrasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Semoga bangsa Indonesia dianugerahi seorang pemimpin berjiwa ksatria Gajah Mada dan pengayom seperti Raja Hayam Wuruk. Pemimpin yang tidak gelap mata pada harta, tahta, dan wanita sehingga mampu menyusun kabinet Indonesia Tangguh. Ekonominya tangguh, teknologi tangguh, angkatan perangnya tangguh, dan tidak mudah didikte bangsa asing.

Semoga tidak ada lagi mafia hukum, tidak ada lagi mafia tanah. Hukum harus tegak berdiri sebagai panglima, hukum tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Selamat merayakan HUT ke-78 RI, dan kibarkan sangka saka merah putih di seluruh tumpah darah Indonesia. Semoga Indonesia menjadi negara bangsa yang tangguh.  (****)

 

Dr. Iwan Rumalean, M.Pd. adalah Dosen PBSI FKIP Unpatti, pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI), dan Ketua ISNU Provinsi Maluku. Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., Prodi PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.