Lubang Hitam Kebebasan

Oleh: Andri Fransiskus Gultom

Aug 17, 2023 - 17:36
Lubang Hitam Kebebasan

“Manusia, demikian tulis Erich Fromm, “bisa lari dari kebebasan”, tapi (bagi saya) “tak mungkin lari dari etika”. Argumen dari psikoanalisis Jerman bernama Fromm tentang “Escape from Freedom” (yang kemudian saya buatkan tambahan frase “manusia tak mungkin lari dari etika”) ini tampaknya perlu disodorkan untuk menjernihkan dua persoalan mendasar antara kebebasan dan etika. Keduanya tampaknya serupa, tetapi (sebenarnya) tak sama.

Namun, ada saja yang berupaya mengasalkan kedua istilah dalam satu gagasan yang terlampau nekat untuk dituliskan. Ia (seolah-olah) memahami, namun pasca membaca tulisannya, membuat mata tercelik, membelalak, dan budi tercekik. Ia menulis, tidak secara prigel (teliti), tetapi tanpa didasari oleh kemampuan konseptual yang jelas dan terpilah. Lalu, dari sinilah, kerisauan tulisan ini bermula, ihwal kenekatan dan kenaifan (pertama) seseorang yang menulis tentang kebebasan yang kemudian mengantarnya pada tubir jurang ketaksaan tentang etika.

 

Kebebasan dan Etika

Saya mulai dengan satu pertanyaan, bagaimana bisa tahu perbedaan antara kebebasan dan etika?  Untuk menjernihkan kedua konsep tersebut, kita tampaknya perlu merujuk kembali gagasan seorang Russian-British bernama Isaiah Berlin tentang “Two Concepts of Liberty” (1969). Kedua konsep kebebasan, pertama, kebebasan non-dominasi (negative liberty) dan kedua, kebebasan untuk daulat diri/self mastery (positive liberty). Kedua bentuk kebebasan tersebut menginginkan adanya gerak pada diri subjek (manusia) untuk menentukan kualitas dari kebebasan. Dari sini, Berlin mengemukakan etikanya dalam memandang sekaligus memahami kualitas manusia sebagai  bios politicos.

Poin penting antara kebebasan dan etika, persis terletak dalam pandangan bahwa etika merupakan unsur universal dari kemunculan kebebasan. Etika memuat keutamaan atau nilai-nilai (virtues) seperti keugaharian, keadilan, keberanian, kebijaksanaan, dan termasuk kebebasan. Nilai yang disebut terakhir ini adalah dimensi partikular dari etika.

Etika adalah universal, dan kebebasan menjadi bagiannya. Kebebasan, dengan demikian merupakan bagian dari etika. Dari sini, perbedaan antara kebebasan dan etika sudah mulai tampak jelas, bahwa tidak mungkin kebebasan bisa mengebiri etika. Kebebasan dan etika adalah konsep abstrak yang memungkinkan keduanya adalah ide pengatur (regulative ideas), yang menjadi imperatif dan harapan manusia untuk menjadi menjangkarkannya sebagai homo naturalis.

Kebingungan untuk menempatkan etika dan kebebasan dalam eksplanasi in strictu sensu, berimplikasi pada upaya menautkan keduanya pada benang kusut yang kemudian membelit pikiran penulis dan pembaca. Penulis sebagai subjek hilang, dan pembaca tidak mendapatkan “apa-apa”. Apalagi “apa-apa” tersebut dirajut dalam situasi sosial politik yang semakin tidak jelas.

Kebingungan yang dialami oleh yang saya sebut sebagai penulis “apa-apa” atas tulisannya di Nusadaily.com (15 Agustus 2023) semakin menyeretnya masuk pada labirin gelap yang diwakili dengan sederet diksi seperti: persekusi, seni, demokrasi, nilai inklusi, hak asasi, dan sebagainya, dan sebingung-bingungnya.

Mengapa kebingungan itu terjadi? Saya mencoba membaca hampir lima kali, kata per kata, kalimat per kalimat, dan paragraf per paragraf yang ditulis oleh penulis “apa-apa”. Pembacaan sampai lima kali, bila saya detailkan: dimulai dari atas ke bawah (sebanyak dua setengah kali), dari bawah ke atas (sebanyak dua setengah kali). Jadi, persis, lima kali. Presisi! Kebingungan saya berhenti ketika gerak optik mata kiri dan mata kanan bertubrukan, seperti gelombang supermasif astrofisika di luar orbit yang menghasilkan lubang gelap ketidaktahuan. Benar-benar gelap!

 

Persekusi bukan Seni

Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya merasa seperti menjadi penulis “apa-apa” yang tidak merasakan “apa-apa” dalam pikiran, batin, dan jiwa. Kekosongan dan kegelapan mendera dan melemparkan saya pada ruang-waktu tak terbatas. Apakah sampai begini dampak dari tulisan dari penulis “apa-apa” bagi saya yang bukan “apa-apa”? Saya mencoba membaca tulisan itu untuk keenam kali, dan berharap untuk tidak masuk lagi ke dalam jebakan lubang hitam nan gelap. Jebakan itu pernah dialami oleh Copper dalam fiksi ilmiah yang dikisahkan Christopper Nolan dalam film Interstellar. Dan, posisi saya ingin keluar dari jebakan lubang hitam ketidaktahuan tersebut.

 

Pasca membaca keenam kali, apa yang terjadi? Sunyi, sepi, dan hening. Alat elektrokardiograf (deteksi denyut nadi) berhenti. Beberapa puluh menit kemudian, saya menemukan, “persekusi adalah seni” sebagai asal muasal kenaifan kedua. Sebagai pengingat, kenaifan pertama adalah  kebingungan pada distingsi etika dan kebebasan. Entah darimana, penulis “apa-apa” mendapatkan insight “persekusi sebagai seni”. Padahal di kalimat-kalimat penjelas di tulisannya, penulis “apa-apa” memahami persekusi eksplisit demikian,  

 

“tindakan menindas, merendahkan, atau melakukan kekerasan terhadap seseorang atau kelompok sebagai akibat dari pandangan, keyakinan, atau karakteristik tertentu … dapat memiliki dampak yang serius pada kesejahteraan dan kesehatan mental korban.”

 

Ia (seolah) tahu, tetapi (sesungguhnya) tak tahu. Ia menandaskan persekusi sebagai “suatu tindakan yang negatif”, tetapi ia menyebutnya sebagai seni. Pikirannya (dan bukan ia sebagai persona) mengalami contradictio in terminis. Satu logika yang illogis. Persekusi adalah bentuk dominasi dari luar diri, yang berlawanan dari gagasan Berlin bahwa manusia berupaya untuk bebas, untuk keluar dari dominasi (yang bentuknya berupa: kekerasan, ketertindasan, dan penjajahan). Manusia (hampir) selalu bergejolak, melakukan resistensi, pergolakan agar keluar dari situasi yang menghimpitnya. Dan, persekusi merupakan satu bentuknya.

Anehnya, penulis “apa-apa” malah memahami persekusi (secara eksplisit) sebagai seni. Apakah suatu peristiwa atau tindakan memiliki unsur seni bila memuat kekerasan, ketertindasan, dan penjajahan? Apakah korban-korban dari persekusi, bisa dianggap sebagai suatu karya seni? Lantas, bagaimana kita bisa menikmati seni menindas secara negatif seperti itu?

Bila kita bisa menikmatinya, hampir pasti penikmatnya bisa menjadi seseorang yang tanpa tanpa perasaan, emosi, dan hati nurani. Implikasi lebih jauh dari penikmat “persekusi sebagai seni” bisa mewujud dalam figur-figur seperti Hitler, PolPot, Mussolini, Mao Zedong, dan Stalin, dan secara diam-diam mulai merasuki mereka yang tak punya hati.

Untuk itu, saya perlu tegaskan, persekusi bukan seni. Seni hampir selalu berkaitan dengan keindahan, kebaikan, dan terarah pada kebenaran. Sedangkan persekusi menghambat kebebasan. Pemahaman mendasar itu bisa menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah sekaligus kebaikan, keindahan, dan tersedianya kebebasan.

Seni, dengan demikian membuat penikmat dan siapapun yang terlibat di dalamnya untuk senantiasa “mencari kebenaran” (bukan mendapatkan kebenaran atau bukan memiliki kebenaran). Seni, menjadi gerak imajinatif di antara yang mungkin, dan yang tak mungkin, yang mengantarkan seseorang untuk tiba pada kebenaran (yang hipotetis).

Pemahaman mendasar inilah yang wajib dibekali pada siapa saja yang mau dengan tekun untuk belajar konsep-konsep filosofis. Konsep-konsep universal tersebut memang tidak mudah, tetapi mungkin untuk dipelajari dengan semangat dan hasrat untuk tidak mudah merasa puas pada diri dan pikiran. Bila kurang adekuat dalam memahaminya, maka bisa terjadi “bias universum” (untuk memahami istilah yang terakhir ini, silahkan baca di https://macapat.ub.ac.id/bias-universum-pada-filsafat/).

Dengan begitu, kebingungan, keruwetan, dan beragam bias pemahaman bisa dihindari bila gagasan mendasar terlebih dahulu dimengerti sebelum (nekat) menulis dan terjerumus pada lubang hitam ketidaktahuan. (****)

 

Andri Fransiskus Gultom, Dosen Filsafat Kewarganegaraan di Universitas PGRI Kanjuruhan Malang