Tri Dharma Eksistensialis Dosen

Menjadi seorang dosen kerap dikaitkan dengan tiga kewajiban utama atau Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tentu menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan sesuatu yang mutlak.

Apr 7, 2024 - 04:45
Tri Dharma Eksistensialis Dosen
Antono Wahyudi, S.S., M.Fil.

Oleh  Antono Wahyudi, S.S., M.Fil.

Menjadi seorang dosen kerap dikaitkan dengan tiga kewajiban utama atau Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tentu menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan sesuatu yang mutlak. Tri Dharma juga menjadi salah satu dasar materi di dalam pelatihan-pelatihan bagi Dosen pemula. 

Dharma pertama adalah pendidikan dan pengajaran. Dosen wajib memberikan pengajaran pengetahuan dan bimbingan kepada mahasiswa agar kelak siap bertumbuh di tengah masyarakat dan khususnya di dunia kerja.

Dharma kedua adalah penelitian. Dosen wajib mengembangkan dan menumbuhkan pengetahuan agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan, perubahan, dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, pengetahuan yang diberikan kepada mahasiswa menjadi relevan "berlaku" di masyarakat pada umumnya dan di dunia karir pada khususnya.

Dharma ketiga adalah pengabdian masyarakat. Dosen diwajibkan untuk memberikan dampak perubahan kepada masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki, terutama hasil dari penemuan penelitiannya diharapkan mampu memberikan kontribusi pada masyarakat. Tidak hanya itu, mahasiswa dalam hal ini juga dilibatkan ikut berkontribusi di dalam masyarakat sebagai salah satu bentuk "latihan" bagaimana sejatinya hidup di tengah masyarakat dan menjadi warga negara yang baik.

Konon Tri Dharma Perguruan Tinggi inilah yang menjadi semacam "roh" pendidikan tinggi. Harapannya, ketika Tri Dharma dijalankan dengan tepat, maka masyarakat, bangsa, dan negara menjadi bertumbuh dan berkembang. Paradigma ini tentu penting dan memang dibutuhkan. Namun, ini tidak cukup terutama di era generasi peserta didik saat ini yang memiliki pergeseran pola pikir dan perilaku dengan generasi sebelumnya.

Konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi lebih menekankan pada fungsi dosen secara pragmatis di dalam suatu pendidikan. Namun demikian, nampaknya fungsi eksistensialis belum menjadi kesadaran bersama mulai dari tataran pemerintah hingga praktisi akademisi sepenuhnya. Dalam istilah sederhana, fungsi eksistensialis dapat dikatakan sebagai peran "keberadaan" dosen di tengah mahasiswa.

Oleh sebab itu, terdapat tiga kewajiban (saya menyebutnya "Tri Dharma Eksistensialis" Dosen) yang juga perlu disadari, dilatih, dan diterapkan. TriDharma Eksistensialis ini adalah dosen wajib berperan sebagai (1) orang tua, (2) teman, dan (3) fasilitator mahasiswa. Mari kita simak masing-masing peran eksistensial Dosen tersebut.

 

Eksistensi Dosen sebagai Orang Tua

 

Tentu menjadi orang tua ("parents") bukanlah peran yang mudah. Bagi Anda yang sedang menjalaninya (menjadi orang tua) pasti paham betul maksud saya. Dengan tidak bermaksud mereduksi kedalaman serta kompleksitas peran orang tua, marilah kita munculkan pokok-pokok peran penting orang tua yang perlu diterapkan oleh Dosen kepada mahasiswa.

Menjadi orang tua memiliki tanggung jawab yang besar di dalam pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai manusia. Maksudnya, orang tua tidak hanya wajib memperhatikan tumbuh kembang anak dalam ranah akademis (intelektual), tetapi juga dalam ranah lainnya seperti olah raga, olah rasa dan olah karsa.

Dosen, dengan demikian, tidak hanya wajib mendidik mahasiswa untuk menjadi pintar, tetapi juga memiliki senstivitas terhadap kehidupan. Dosen dalam hal ini wajib mendidik karakter mahasiswa sesuai dengan Pancasila dan nilai-nilai institusi.

Keteladanan dan kepedulian, kasih sayang, memberikan pilihan-pilihan sekaligus menunjukkan arah hidup kepada mahasiswa adalah merupakan fondasi sikap yang harus dimiliki dosen. Konsekuensi logis dari peran tersebut adalah bahwa dosen harus memahami konsep kebenaran, kesalahan, kebaikan dan keburukan.

Peran dosen sebagai orang tua juga memberi dampak etiketis kepada mahasiswa. Secara kultural, sikap hormat, sungkan, sopan dan santun dengan sendirinya menjadi kesadaran yang tertanam di dalam diri mahasiswa.

Disposisi ini penting bagi mahasiswa agar nilai rendah hati dapat terus berkembang sehingga berdampak pada lingkungan sosial yang lebih luas. Dalam arti itu, kebudayaan menjadi sesuatu yang tak boleh dipandang sebelah mata. Peran Dosen adalah untuk membudayakan mahasiswa dengan menanamkan kesadaran serta melatih mahasiswa untuk berbudaya.

 

Eksistensi Dosen sebagai Teman

Dosen juga wajib berperan sebagai teman mahasiswa. Banyak studi yang mengatakan bahwa generasi muda saat ini dapat belajar dengan efektif ketika mereka merasa nyaman untuk belajar. Kata "nyaman" di sini memaksudkan jujur terhadap dirinya sendiri, pikiran dan perasaan dapat diekspresikan secara terbuka tanpa adanya paksaan yang bersifat mengekang.

Dengan demikian, kebebasan dapat diaktifkan untuk berekspresi dan hal ini menjadi sesuatu yang dapat memotivasi mereka untuk belajar. Bagaimana jika kebebasan ini dilakukan hingga keluar dari batas-batas kewajaran? Di sinilah letak seni di dalam menyeimbangkan peran dosen sebagai teman dengan peran dosen sebagai orang tua.

Ketika dosen dapat berperan sebagai teman, mahasiswa dapat membuka diri mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Keterbukaan diri inilah yang menjadi momen penting bagi dosen untuk dapat memasukkan dan menanamkan nilai-nilai pembelajaran baik secara langsung, misalnya dengan memberikan suatu perspektif yang bernilai, maupun secara tidak langsung, misalnya dengan mempengaruhinya melalui keteladanan hidup (di mana tindakan ini merupakan eksistensi peran dosen sebagai orang tua).

Aspek yang tak kalah penting dari peran dosen sebagai teman adalah juga dapat mengetahui persoalan yang sedang dihadapi mahasiswa. Tidak semua mahasiswa bisa dengan mudah menceritakan kendala yang dihadapinya. Bila mereka dapat menaruh kepercayaan, maka mereka akan bersikap terbuka kepada dosennya. Dengan demikian, Dosen dapat memberikan solusi yang tepat.

Bila dosen berperan sebagai orang tua, hal ini memang sudah dengan sendirinya "diakui" oleh mahasiswa. Tantangannya justru berada pada eksistensi dosen sebagai teman. Bagaimana caranya agar Dosen dapat berperan menjadi teman mahasiswa? Bagaimana agar dosen dapat "diterima" sebagai teman? Tentu tidak mudah. Dan, ini akan menjadi penjelasan yang cukup panjang.

 

Eksistensi Dosen sebagai Falisitator

Tri Dharma Eksistensial Dosen yang terakhir adalah berperan sebagai fasilitator. Metode pendidikan dengan menjadikan pendidik sebagai fasilitator telah menjadi perhatian pemerintah. Istilah yang digunakan adalah "student-centered Learning". Paradigma ini nampaknya dan sayangnya belum menjadi prioritas, sehingga belum ada pelatihan yang terstruktur, sistematis, dan masif (bahkan untuk dosen muda).

Sebenarnya, ribuan tahun yang lalu seorang filsuf besar bernama Sokrates telah menerapkan metode pendidikan dengan mengaktifkan peran fasilitator. "I cannot teach anybody anything, I can only make them think", demikian ajaran Sokrates. Dalam dunia bisnis metode semacam ini dikenal dengan istilah "coaching". Banyak pelatihan bersertifikasi untuk menjadi seorang "coach", tapi tentu dalam bidang bisnis. Bagaimana dengan bidang pendidikan? Mengapa begitu penting peran ini?

Di era teknologi digital dan AI seperti sekarang ini, semua serba ada, serba terlayani, sehingga semakin mudah mendapatkan sesuatu. Dampaknya, tidak lagi diperlukan usaha dan upaya lebih untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Konsekuensinya, orang menjadi enggan untuk berpikir mencari solusi atau menyelesaikan suatu masalah. Pada akhirnya, tidak ada pertumbuhan dan perkembangan manusia secara holistik. Kemunduran kualitas manusia, baik secara kognitif maupun afektif menjadi semakin nyata. Sementara itu, di saat yang bersamaan perkembangan teknologi semakin meningkat dengan pesat.

Sungguh merupakan fenomena paradoksal yang ironis, bukan? Disinilah peran dosen sebagai fasilitator bekerja untuk memutus mata rantai kemunduran kualitas generasi muda dengan perkembangan peradaban saat ini. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu keterampilan yang dapat mendukung dosen menjalankan peran sebagai fasilitator.

Dengan "seni bertanya" dosen dapat memancing atau menggugah kesadaran mahasiswa untuk berpikir secara mandiri. Dosen seolah-olah tidak mengerti jawaban atau solusi yang hendak dicari. Dengan demikian, mahasiswa diajak untuk berpikir dan mencari solusi tanpa bantuan dosen.

Dosen juga dapat berperan sebagai "tokoh antagonis" dan kemudian menguji nalar argumentasi mahasiswa dengan sesuatu yang kontradiktif. Dalam matakuliah Pancasila, misalnya, Dosen dapat bertanya, "Jika Sila Pertama hanya kompatibel dengan agama tertentu, bukankah Pancasila menjadi tidak relevan dengan bangsa Indonesia?".

Peran dosen dengan membangkitkan nalar mahasiswa untuk berpikir, menganalisis, dan memutuskan semacam inilah yang kiranya dapat memaksa mahasiswa untuk mencari jawaban atau solusi tanpa merasa dipaksa untuk melakukannya. Dengan demikian, proses transformasi kesadaran dan pengetahuan menjadi mungkin. Jadi, proses belajar-mengajar tidak dengan cara "spoon-feeding", melainkan dengan cara menjadi fasilitator.

Ketiga Tri Dharma Eksistensialis Dosen di atas merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diketahui, dipelajari, dan dilatih. Meskipun demikian, terdapat pertanyaan kritis yang perlu kita ketahui jawabannya agar konsep Tri Dharma Eksistensialis ini tidak harus melulu dipandang dan diterapkan secara utuh terhadap seorang Dosen.

Bagaimana dengan dosen yang sudah senior (berumur)? Bukankah terdapat jarak umur yang jauh dengan mahasiswa bila peran Dosen sebagai teman hendak diimplementasikan? Bagaimana dengan dosen yang masih mudah (secara umur)? Bukankah nyaris mustahil untuk mereka dapat menjalankan perannya sebagai orang tua bila mereka sendiri tak pernah merasakan pengalaman menjadi orang tua?

Kata kunci keutamaan "sinergis" menjadi penting di sini. Tidak semua dosen adalah dosen muda, begitu pula sebaliknya. Hal ini bukan berarti bahwa dosen muda tidak mampu berperan sebagai orang tua, dan Dosen senior tidak dapat menjadi teman mahasiswa. Meskipun demikian, bila hal ini terjadi, maka peran sebagai orang tua dapat difokuskan pada dosen senior dan demikian halnya dengan peran sebagai teman dapat dirujuk kepada Dosen muda. Sinergisitas ini tentu tergantung dari kondisi eksistensi di masing-masing Perguruan Tinggi. Dan, menjadi penting hal ini untuk depetakan, didiskusikan, dan disepakati bersama sehingga tercipta suatu sinergisitas.

Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa kedua peran eksistensialis tersebut tetap mensyaratkan kebutuhan akan peran dosen sebagai fasilitator. Sebab, peran sebagai fasilitator tidak berkaitan dengan demografi umur ataupun senioritas dosen. Dengan kata lain, baik dosen muda maupun Dosen senior tetap dituntut untuk menerapkan perannya sebagai fasilitator di dalam proses pendidikan.

Tri Dharma Eksistensialis Dosen sekali lagi merupakan paradigma, konsep, dan sistem yang saat ini penting untuk dijadikan perhatian bersama. Pergeseran karakter mahasiswa dari generasi ke generasi mengandaikan adanya kebutuhan akan transformasi di dalam mempersepsikan pendidikan yang holistik. Menurut hemat saya, tidak cukup Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi satu-satunya dharma dosen.

Tanpa Tri Dharma Perguruan Tinggi ilmu pengetahuan tidak dapat memberikan perubahan, perkembangan, dan kemajuan bangsa. Namun, tanpa Tri Dharma Eksistensialis Dosen, generasi penerus bangsa tidak akan mampu meneruskan, merawat, dan mengembangkan TriDharma Perguruan Tinggi itu sendiri. "Roh" Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat aktif bila digerakkan oleh "jiwa" Tri Dharma Eksistensialis Dosen. Hanya dengan demikian pendidikan secara holistik menjadi mungkin.

 

Antono Wahyudi,  S.S., M.Fil. adalah dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa, Universitas Ma Chung.

Editor: Wadji