Membangun Sebuah Kesadaran

Oleh: Aries Purwanto

Mar 2, 2024 - 14:38
Membangun Sebuah Kesadaran

Manusia lahir dalam keadaan lemah, tetapi  secara esensial telah melakukan komunikasi dengan lingkungan sekitar. Ketika dalam kandungan ibunya, para ahli pendidikan telah sepakat adanya pendidikan pre-natal. Sebuah pendidikan dengan komunikasi batin yang akan membentuk sifat dan karakter anak ketika sudah lahir. Suasana gembira, tentram, menyejukkan, dan iklim edukatif yang dirasakan dan dialami oleh seorang ibu yang sedang hamil, akan mempengaruhi perkembangan janin dalam perut ibunya. Elusan tangan sang ayah pada perut istrinya, kecupan mesra penuh kasih sayang terhadap istrinya, ternyata berpengaruh juga terhadap perkembangan janin. Demikian pula sebaliknya.

 

Ketika bayi dilahirkan, diperdengarkan suara adzan atau doa-doa atau dirayakan dengan lagu-lagu, secara naluriah sudah dapat ditangkap oleh sang bayi. Lebih jauh, dendang lagu, dan senandung ibunya ketika menimang-nimang, saat menidurkan, atau mengajaknya bercanda, terekam oleh sang bayi. Semua itu memiliki pengaruh dalam perkembangan otak, psikologis, maupun sosial. Scopenhour (1964) menegaskan teorinya tentang dominasi faktor pembawaan dalam perkembangan anak. Jadi perkembangan anak sangat ditentukan oleh factor bawaan yang sudah melekat sejak dilahirkan. Faktor lingkungan tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk diri anak. Hal ini ditentang oleh John Locke, yang berteori sebaliknya.

 

Teori Tabula rasa yang dicetuskan oleh John Locke menyatakan bahwa anak lahir dalam keadaan putih bersih, seperti selembar kertas. Perkembangan anak dan pembentukan kepribadian selanjutnya tergantung pada lingkungan “yang menulisi”. Kesimpulannya, bahwa faktor pembawaan anak tidak bisa membentuk perkembangan anak. Jadi faktor lingkunganlah yang sangat menentukan “keberhasilan” anak. Dari polemik pro-kontra serta adanya dua kutub yang berlawanan tersebut, maka lahirlah teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern, yang memberikan jalan tengah bagi keduanya. Faktor bakat yang dibawa sejak lahir akan mempengaruhi perkembangan anak, tetapi juga tidak mengabaikan faktor lingkungan yang membentuknya melalui proses pendidikan dan belajar dalam kehidupan. Di sinilah diperlukan pendidikan yang perannya cukup besar dalam perkembangan anak.

 

 

Kenyataan yang kita amati di lapangan, situasi dan kondisi yang berkenaan dengan pelaksanaan proses pendidikan di sekolah-sekolah, cenderung semakin mengabaikan unsur “mendidik”. Pendidikan seolah digantikannya dengan aktivitas yang lebih menekankan pada aspek-aspek yang bersifat "mengasah otak" Aktivitas pendidikan yang seharusnya mengintegrasikan dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik telah diabaikan begitu saja dan ternyata ada sebagian praktek-praktek pendidikan di sekolah-sekolah lebih menekankan pada aspek latihan kognitif belaka (Setyosari, 2009). Kondisi ini sangat memprihatinkan, para pendidik, orang tua, dan bahkan masyarakat sendiri, karena kegiatan yang seharusnya menyatukan olah pikir yang merupakan dimensi kognitif, olah roso merupakan dimensi afektif, dan olah rogo adalah dimensi psikomotorik, tidak berjalan secara proporsional dan seimbang.

 

Proses pembelajaran yang hanya meneruskan informasi tersebut oleh Dick & Carey (1985) diidentifikasi sebagai proses pembelajaran yang tradisional. Mereka dibelajarkan melalui buku teks, kemudian mereka dituntut untuk mampu menuangkan kembali pada saat dilakukan tes. Hal ini mengabaikan prinsip pembelajaran bermakna yang lebih bersifat fungsional dan kontekstual.

 

Pembelajaran yang baik seharusnya mengintegrasikan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pembelajaran yang memberikan latihan berpikir kritis (critical thinking) dan interaksi sosial (social interaction) harus mendapatkkan porsi waktu yang memadai. Proses pembelajaran perlu memperhatikan penanaman aspek-aspek soft skills, yang antara lain kerja sama, rasa saling menghargai pendapat, rasa saling memiliki (sense of belonging), rasa tanggung jawab (sense of responsibility), kejujuran dan rela berkorban dan seterusnya yang saat ini terasa diabaikan dan masih belum memperoleh perhatian besar dalam dunia pendidikan kita.

 

Pada kesempatan ini saya akan memberikan sumbangan pemikiran dan pencerahan, terutama dalam hal penanaman cara belajar kerja sama bagi para siswa. Proses pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek interaksi, kerja sama yang saling menghargai, peduli pada yang lain, penuh tanggung jawab, dan rela berkorban demi mencapai cita-cita bersama. Upaya pembelajaran hendaknya lebih mengarahkan para siswa agar mereka memiliki keharmonisan hidup, yaitu hidup bersama dengan sesama, saling menghargai pendapat, menghormati orang berbicara, tanggung jawab, rela berkorban, akomodatif, dan seterusnya. Cara-cara yang dirasa mampu menggerakkan proses pembelajaran seperti ini, yaitu melalui belajar kerja sama secara kolaborasi.

 

Sesungguhnya sejak lahir kita hidup dalam suatu lingkungan sosial. Kesadaran ini yang harus dibangun sedini mungkin. Kita hidup secara berkelompok dan menjadi anggota atau bagian dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Sebagai bagian dari suatu kelompok, kita hidup secara berdampingan dengan orang lain dan saling membutuhkan satu sama lain dan bahkan kita hidup saling ketergantungan satu dengan lainnya (interdependensi). Artinya, kita sebagai anggota suatu masyarakat tergantung kepada orang lain untuk mencapai tujuan hidup bersama, dan tanpa bantuan orang lain kita tidak mampu menunaikan tugas hidup ini dengan baik. Kita perlu hidup secara bersama-sama, kolaborasi, yang menuntut rasa saling menghargai dan mau berkorban untuk tujuan bersama sekaligus mengemban tanggung jawab secara bersama-sama pula. Diri ini tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran teman-teman, lingkungan, tanaman, dan benda-benda  yang lain. (****)

 

 

Dr. Aries Purwanto, M.Pd adalah dosen Program Pascasarjana Institut Agama Islam Al Khoziny, Sidoarjo.