Pemimpin Emosional, Salahkah?

Oleh: Munawar Ahmad

Jan 22, 2024 - 19:14
Pemimpin Emosional, Salahkah?
Munawar Ahmad

Seminggu yang lalu, muncul perbincangan yang hangat terkait “pemimpin emosional.” Tema ini semakin menjadi perbincangan pada Tingkat elit politik secara nasional, sampai memancing Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla menangapi secara terbuka dengan pendapatnya bahwa pemimpin negara sebaiknya memiliki sifat tenang dan tidak mudah terpancing emosi. Alasannya, persoalan yang dihadapi bangsa sangat banyak sehingga diperlukan ketenangan dalam mengambil setiap keputusan.

 

Menurut beliau, pemimpin harus tenang dan punya gagasan, jangan emosional, karena persoalan bangsa ini banyak, pendapat beliau diliput media pada hari Rabu (10/1/2024). Dalam kesempatan tersebut, Kalla mengajak masyarakat memikirkan kondisi jika sebuah negara dipimpin oleh sosok yang suka marah-marah. Hal ini dipicu setelah terjadi debat Capres periode 7 januari 2024 kemarin.

 

Tulisan ini ingin menjelaskan sisi lain dari “pemimpin emosional.” Pertama, saya ingin meletakan pada konsep leadership. Saya pernah membaca buku The Emotionally Intelligent Leader Hardcover, terbit tahun 2019 dari Daniel Goleman. Dalam buku tersebut, emosi menjadi kunci penjelasan Goleman dalam mengurai 6 ciri kepemimpinan. Meskipun tentu makna emotionally, tidak diartikan bad emotion.  

 

Dengan pendekatan neuroscience, Goleman justru memberi perhatian terhadap peran emosi dari pemimpin, yang mampu membedakannya pada high levels of self-awareness and sharp social skills. Tanpa mengatakan baik atau buruk, sejatinya Goleman ini membuat kategori pemimpin berdasarkan emosionalitas mereka, yang kemudian memanfaatkannya guna memberi daya tajam pada perusahaan.  

 

Jenis emosional tersebut, yakni  (1) The Visionary approach to leadership is summed up by the phrase, "Come with me"; (2)The Coaching leader's approach is, "Try this"; (3). The Affiliative leader believes that "People come first"; (4) The Democratic Leader asks, "What do you think?" (5) The Pacesetting leader says, "Do as I do, now"; (6). The Commanding Leader demands, "Do what I tell you." Keenam tipologi tersebut bersifat kontingensial, yang dapat direlevansikan dengan keadaan serta visi Indonesia ke depan ini.

Berdasarkan kajian Goleman, Richard Boyatzis dan Annie McKee, keenam jenis emosionalitas pemimpinan tersebut akan memiliki dampak berbeda terhadap kultur organisasi, akan tetapi semuanya dapat disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi dari organisasi, tantangan serta kebutuhannya. Sehingga emosionalitas pemimpin bukanlah hal yang buruk jika ditempatkan pada keadaan serta kebutuhan jamannya.

 

Seperti halnya, AS ketika memilih Donald Trump, yang emosional, memang bertujuan bukan untuk membenahi kebijakan internal semata, akan tetapi sebagai agresor untuk menciptakan ketegangan dunia, demikian juga dengan Biden, dipilih karena ada tujuan untuk membuat kebijakan kejam terkait politik dunia. Ini artinya unsur emosi pemimpin yang taken by granted tersebut, sebenarnya dapat diselarasakan dengan kebutuhan negara ini menghadapi tantangan ke depan.

 

Kedua, terkait ekspresi emosionalitas berupa bahasa sarkasme seperti ucapan “goblog”, “bego”, dan lainnya. Disusul munculnya spanduk yang tidak terlalu besar ini terpasang di pinggir Jalan Soekarno-Hatta. Spanduk itu berisi tulisan 'Masyarakat Jabar Ngahiji Menolak Anies Baswedan Runtah Jabar!' istilah “runtah” dianggap bermajas sarkasme, karena dalam bahasa Sunda artinya sampah, barang kotor.

 

Sarkasme berasal dari bahasa Yunani sarkasmos yang berarti acuan kasar dari ironi dan sinisme yang menunjukkan kepahitan dan kegetiran yang menyakitkan.  adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing,” “menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan. “

 

Sarkasme ada di mana-mana termasuk dalam kehidupan nyata, apalagi dalam politik. Terlepas dari prevalensinya, secara mengejutkan kita hanya mengetahui sedikit, atau bahkan tidak tahu sama sekali, tentang pengalaman kognitif para pengekspresi dan penerima sarkastik atau implikasi perilaku mereka. Hadirnya sarkasme tersebut menjadikan suasana kampanye semakin panas, nyelekit, serta merobek hati.

 

Kendatipun demikian, tiap kultur juga berbeda dalam menanggapi ungkapan sarkasme. Hal tersebut terkait dengan beberapa faktor.

Pertama, menggangap ungkapan sarkasme ditopang oleh kelelahan jiwa namun disisi lain ada kecerdasan terselip didalammnya. Sehingga mereka yang menerima sarkasme – khususnya jika tertanam dalam suatu budaya – menjadi terbiasa dengan hal tersebut, dan sering kali 'menertawakannya.’ Namun pada waktu yang sama, penerimanya merasa tidak berdaya – tidak hanya untuk menanggapi komentar sarkastik tersebut, namun juga untuk mendorong agar muka dari timnya serta pendukungnya, tidak merasa dipermalukan.

 

Kedua, Sarkasme dianggap bukan sebuah ancaman, akan tetapi sebuah pelepasan katup kelelahan, yang disebabkan tipologi peletupan katup kelelahn tiap orang berbeda. Bagi orang “satu frekwensi” sarkasme menjadi penciri atas sebuah relasi kedekatan. Walaupun bagi orang lain, adalah tindakan tidak sopan.

 

Frustrasi dan kemarahan muncul secara teratur sepanjang hari kerja standar. Tidak ada seorang pun yang kebal terhadap emosi-emosi dasar ini. Mereka ada pada semua manusia. Ketika kesadaran diri menurun, kejengkelan biasanya meningkat, memicu agresi yang tidak dapat ditindaklanjuti , maka sikap sarkastik terjadi.

 

Meskipun pada intinya bersifat agresif, sarkasme adalah kekerasan yang dapat diterima secara sosial – meskipun bersifat verbal, disamarkan dalam humor dan sering kali tidak disengaja. Ada dua hal yang terjadi dalam skenario ini. Menggunakan sarkasme untuk mengkritik atau menunjukkan kelemahan yang dirasakan dibalik kebijakan , atau yang lebih penting, merasa bahwa kebenaran kita mungkin tidak dihargai di lingkungan profesional. Jadi, kita menyampaikannya sebagai 'lelucon' – yang kejam. Tidak ada risiko dianggap serius, karena kita 'hanya bersikap sarkastik', dan secara teoritis, kita sudah menyampaikan maksud. Namun hal ini dalam suasana politik saat ini, emosional dan sarkasme dianggap sebagai keburukan dan ketidakpatutan pemimpin.

 

Ungkapan sarkasme, dianggap tidak sopan, tidak elok, sebagaimana mengacu pada ukuran kesantuan berbahasa dikaji oleh Geoffrey Leech (1993) meliputi 6 maksim, yakni tact maxim (maksim kearifan), generosity maxim (kedermawanan), approbation maxim (pujian), modesty maxim (kerendahan hati), agreement maxim (kesepakatan), dan sympathy maxim (maksim simpati).

 

Padahal jika direnungkan, di balik konstruksi dan interpretasi sarkasme menghasilkan kreativitas yang lebih besar karena mengaktifkan pemikiran abstrak. Sebuah riset menunjukan jika dalam sarkasme ternyata kreativitas meningkat namun konflik tidak. Mereka menyimpulkan jika sarkasme sebagai pedang bermata dua: meskipun berperan dalam memicu konflik, sarkasme juga dapat menjadi katalisator kreativitas.

Dr. Li Huang dalam The Highes form of intelligence: sarcasm increases creativity for both expresser and recipients  menguji premis  Oscar Wilde, sastrawan terkenal dari Irlandia, percaya bahwa sarkasme merepresentasikan bentuk humor rendahan. Huang melakukan riset terhadap orang dikumpulkan untuk melakukan tugas mengurusi lilin tersebut setelah mengatakan dan menerima komentar sarkastis.

 

Level kreativitas mereka diukur dan studi menunjukkan 64 persen dari partisipan yang melontarkan komentar sarkastis mampu menemukan solusi yang kreatif dan menyelesaikan tugas. Sementara, mereka yang menerima komentar sarkastis mendapat hasil yang lebih baik, dengan 75 persennya menyelesaikan tugas. Dengan riset tersebut, Huang menemukan bahwa jenis humor ini mengkatalisasi bentuk pemikiran yang lebih tinggi.

 

Kajian sarkasme sebagai pilihan kata diteliti oleh Agus Heru, berjudul Gaya Bahasa Sindiran Ironi, Sinisme dan Sarkasme Dalam Berita Utama Harian Kompas. Ia menjelaskan penyebab sarkasme Bahasa.

 

Pertama, sarkasme karena keterancaman muka.  Istilah ‘muka’ bermakna ‘reputasi’ atau ‘nama baik’. Dalam teori kesantunan ‘muka’ dipahami sebagai perasaan diri individu.

 

Kedua, protes politik: (a) protes terhadap kebijakan adalah kepandaian dan kecermatan dalam bertindak jika menghadapi suatu kesulitan atau suatu masalah. Kebijakan adalah suatu Keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu;  (b) protes terhadap kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain atau kuasa untuk mengurus pemerintahan. Protes terhadap pemegang kekuasaan tanpa melalui kekerasan disebut juga demonstrasi. Protes dilakukan secara bersama-sama, umumnya terhadap kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah atau pemimpin perusaha.

 

Ketiga, protes terhadap konflik. Suatu konflik politik terjadi apabila seseorang atau kelompok orang berusaha menghargai orang atau kelompok lain mencapai tujuannya. Menurut tingkatanya, konflik dibedakan menjadi dua yaitu ideologi dan politik. Konflik ideologi terwujud dalam pertentangan antara paham atau ideologi.

 

Keempat, protes terhadap negara. Protes terhadap negara adalah protes terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh negara karena untuk mencapai suatu maksud dan tujuan, negara sering menggunakan kekuasaanya, dan untuk masalah debat argumen, sarkasme terjadi karena.

 

Kelima, protes terhadap kebodohan/kedunguan Masyarakat.

Jadi, unsur emosionalitas seorang pemimpin tidak dapat dihindari lagi, akan tetapi yang sangat berbahaya adalah emosional patalogis, bipolar, yakni patalogis yang tidak dapat mendeteksi emosional esktrim dalam waktu bersamaan dengan tidak ada rasa bersalah. Selama ekspresi emosionalitas tersebut bertumpu pada kesadaran non-patalogis, semua orang harus dapat memberi ruang.

 

Demikian juga dengan sarkastik, selama tidak bertumpu pada pribadi psikopat, atau arogan, tentu ungkapan tersebut dapat dijadikan pendorong kreativitas partisipatif masyarakat dalam mengisi pembangunan Indonesia emas ke depan, sekaligus sebagai sajian komedi satiris dari para elit bangsa ini untuk wargannya agar bisa tertawa meskipun kecut. Salam cerdas. (***)

 

 

Dr. Munawar Ahmad, S.S., M.Si. adalah dosen Universitas Islam Negeri Yogyakarta.

Editor: Wadji