Sistem Zonasi PPDB, Ada Apa Denganmu?

Oleh: Agus Salimullah, M.Pd.

Jul 22, 2023 - 03:15
Sistem Zonasi PPDB, Ada Apa Denganmu?

SISTEM zonasi yang diterapkan dalam PPDB ternyata sedang tidak baik-baik saja. Jawa Pos (18/7/2023) memberitakan, “Gubernur Jabar coret 4.791 siswa karena terbukti memanipulasi domisili untuk siasati zonasi PPDB”. Sebuah fenomena tidak lazim yang telah mencoreng nama baik dunia pendidikan. Pada awal masuk sekolah saja sudah berani melakukan manipulatif  data, lantas bagaimana peran orang tua dalam pendidikan karakter putra putrinya kelak?

Yang menjadi pertanyaan, apa kasus ini hanya terjadi di Jawa Barat? Apakah kasus ini hanya terjadi untuk jenjang SMA, SMK, dan SLB saja? Lantas bagaimana dengan jenjang SD dan SMP yang kewenangannya di bawah pemerintah daerah, baik kota maupun kabupaten? Bisa jadi kasus serupa juga terjadi di wilayah provinsi lainnya di Indonesia yang hingga kini belum terungkap ke permukaan.

Kasus manipulasi data KK untuk mengakali persyaratan zonasi di Jabar  adalah “potret” buram dunia pendidikan. Kasus ini menjadi sebuah bukti bahwa komitmen PPDB yang berintegritas dan berkeadilan telah “gagal” dijalankan. Bahkan, kasus ini adalah cerminan bahwa budaya “manipulatif” di tengah masyarakat masih subur, terutama demi berebut masuk sekolah negeri melalui sistem zonasi.

Berebut masuk sekolah negeri sudah bukan rahasia umum. Itu bisa dimaklumi karena sekolah negeri dari sisi sarana dan prasarana lebih memadai daripada sekolah swasta walaupun tidak sepenuhnya seperti itu. Namun, sungguh ironis jika ada sebagian masyarakat yang melakukan tindakan manipulatif data KK hanya demi anaknya masuk sekolah negeri dari jalur zonasi.

Belajar dari kasus manipulatif data KK di Jabar, secara tidak langsung sekolah-sekolah negeri yang sedang baik-baik saja tentu terkena dampaknya. Padahal tidak semua sekolah negeri meloloskan praktik kotor tersebut. Masih banyak sekolah negeri yang memiliki komitmen berkeadilan, jujur, dan menjunjung tinggi tujuan mulia sistem zonasi itu sendiri, yakni seleksi masuk sekolah negeri dengan seadil-adilnya, khususnya terkait dengan akses hak pendidikan yang mengutamakan warga setempat atau terdekat dengan lingkungan sekolah.

Yang jelas, berangkat dari kasus di Jabar ini, kepala daerah bersama instansi terkait harus melakukan evaluasi menyeluruh terkait komitmen PPDB yang berintegritas dan berkeadilan. Kepala daerah harus berani dan tegas menindak setiap temuan kecurangan dalam sistem zonasi PPDB. Usulan Ombudsman RI (ORI) agar ada verifikasi alamat kartu keluarga bagi calon siswa yang lolos sistem zonasi perlu juga dilaksanakan. Jika memang tidak sesuai dengan data KK, kelolosan calon siswa bisa dibatalkan.

Evaluasi PPDB

Selain persoalan manipulatif data KK dalam sistem zonasi, persoalan lain yang tidak kalah pelik yang dikeluhkan masyarakat saat PPDB adalah pemerataan akses pendidikan. Salah satu contohnya di Kota Surabaya. Masih ada masyarakat yang berdomisili 700 meter dari sekolah, tetapi putranya masih terlempar. Itu terjadi karena minimnya fasilitas pendidikan sekolah negeri di tiap kelurahan dan desa. Tidak semua kelurahan memiliki fasilitas pendidikan SMP negeri atau SMA negeri.

Fakta lain bahwa PPDB menyisakan banyak  masalah yang sama setiap tahunnya yaitu masih adanya pungutan-pungutan liar berkedok sumbangan sukarela yang kerap diminta oleh pihak sekolah negeri kepada peserta didik atau wali murid. Praktik tersebut biasanya terjadi dengan berbagai modus, mulai dari daftar ulang, uang tahun ajaran baru, sumbangan SPP, hingga uang pangkal.

Berkaca pada berbagai persoalan yang muncul saat PPDB, tidak ada cara lain bagi pengambil kebijakan, terutama kepala daerah untuk berbenah diri. Mengevaluasi pelaksanaan PPDB yang sudah dilakukan secara komprehensif, khususnya yang berkenaan dengan sistem zonasi. Jangan ada celah bagi masyarakat memanipulasi data KK dengan cara menjadi “penumpang gelap” KK warga terdekat dari sekolah agar anaknya diterima jalur zonasi. (*)

 

Agus Salimullah, M.Pd. adalah guru Bahasa Indonesia di SMAN 2 Kota Batu, Wartawan Harian Bangsa, dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd.,  Prodi PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.