Kemuliaan dan Kehinaan Dalam Kehidupan Seorang Hamba

Oleh: Dra. Lis Setiawati, M.Pd.

Nov 27, 2023 - 11:30
Kemuliaan dan Kehinaan Dalam Kehidupan Seorang Hamba

Mulia dan hina adalah dua kata yang memiliki makna berlawanan atau berantonim. Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memaknai kedua kata tersebut secara harfiah. Kata ‘mulia’ diberi makna tinggi terkait dengan pangkat dan kedudukan seseorang; luhur terkait dengan perilaku seseorang; dan bermutu tinggi atau berharga jika berhubungan dengan benda seperti emas, perak, dan sebagainya. Kata 'hina’ berlawanan makna dengan kata ‘mulia’ yakni rendah. Makna rendah terkait dengan pangkat, martabat, dan kedudukan seseorang; tercela atau keji terkait dengan perilaku seseorang.

Makna kedua kata menurut KBBI tersebut tersemat pada kehidupan seseorang dan tergambar secara fisik. Seseorang yang memiliki kedudukan, pangkat, martabat, kekayaan yang tinggi disebut orang yang mulia. Sebaliknya orang-orang yang rendah kedudukan, pangkat, martabat, atau kekayaannya, tidak tergolong orang yang mulia. Dengan kata lain mereka adalah orang-orang yang hina. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki pangkat, martabat, kedudukan, dan kekayaan tetapi mereka memiliki budi yang luhur (baik hati, ramah)? KBBI memaknai bahwa mereka juga merupakan orang-orang terhormat atau mulia. Namun faktanya pandangan manusia lebih suka atau lebih fokus pada hal-hal yang bersifat materi bukan pada akhlak atau budi pekerti. Inilah kelemahan manusia, tidak suka memperhatikan hal-hal yang bersifat non-material (spiritual) atau lemah dalam kehidupan spiritual. Sebagai contoh, ketika bertemu seorang pejabat tinggi atau seorang saudagar umumnya manusia langsung menundukkan badan/kepala sebagai tanda hormat. Namun, ketika bertemu dengan seorang pemulung atau penyapu jalan, jangankan menghormati, mendekatpun tidak mau.

Ikhlas atau terpaksa, jujur atau dusta, setiap manusia merasakan keberadaan Tuhan. Mulia atau hina seseorang di mata Tuhan sangat berbeda dengan ukuran yang digunakan manusia.  Tuhan memberi status mulia atau hina pada diri seseorang dengan cara mengujinya. Makhluk berakal tidak akan membantah bahwa kemuliaan atau kehinaan memerlukan ujian. Emas dipercaya sebagai logam mulia, jika telah diuji lebih dulu. Ujian terhadap manusia tentu lebih berat dari sekadar menguji logam mulia. Secara eksplisit Allah Subhanahu Wa Taala (SWT)  menyatakan tentang kemuliaan dan kehinaan manusia dalam surat Al Fajr ayat 15-20:

15.     Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya (memberi) kekayaan dan kesenangan, maka Dia (manusia) berkata, "Tuhanku telah memuliakanku.”

16.     Adapun bila Tuhannya mengujinya dengan membatasi rezekinya, maka dia (manusia) berkata, "Tuhanku menghinakanku.”

17.     “Sekali-kali tidak!” Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim,

18.     dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,

19.     dan kamu memakan harta pusaka (warisan anak yatim) dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil),

20.     dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.”

Keenam ayat di atas menjelaskan bahwa seseorang yang berlimpah harta kekayaan dan tampak menjalani hidup dengan senang bukanlah syarat sebuah kemuliaan. Firman Allah tersebut mengandung makna “Jangan kamu menganggap dirimu mulia sekalipun hidupmu berlimpah kekayaan dunia. Terlebih kamu tidak peduli pada anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta memakan/mengambil harta pusaka (warisan) anak yatim dengan cara yang batil (tercela). Dari kajian terhadap maksud atau isi ayat-ayat ini, dapat ditarik benang merah yang sangat jelas bahwa:

1)   harta kekayaan bukan ukuran bagi mulia tidaknya seseorang di dalam kehidupan,

2)   peduli pada anak-anak yatim dan orang-orang miskin justru menjadi salah satu tolok ukur mulianya derajat seseorang, dan

3)   merampas atau mengambil harta (waris) anak yatim merupakan suatu perbuatan yang membuat seseorang menjadi hina.

Lalu, apa kriteria seorang manusia dikatakan mulia? Sesungguhnya dari semua makhluk ciptaan Allah, manusia telah diberi kemuliaan oleh Allah. Hal ini tersirat di dalam surat Al Baqarah ayat 34 dan surat Al Kahf ayat 50. Kedua ayat ini berisi penjelasan ketika Allah menyuruh malaikat dan jin yang lebih dulu diciptakan dan selalu patuh kepada Allah, diminta sujud kepada Adam (nenek moyang manusia) yang baru selesai diciptakan: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam!" Maka mereka pun sujud kecuali Iblis.”

Mengapa Allah meminta malaikat dan jin bersujud kepada Adam, jika bukan karena memuliakan Adam sebagai manusia? Dari sini seharusnya manusia sadar bahwa Allah telah memuliakannya dan Allah hanya meminta manusia taat kepada-Nya. Namun manusia (Adam) melanggar janjinya. Adam mengikuti rayuan setan untuk memakan buah yang pohonnya dilarang untuk didekati,

Seorang hamba tergolong orang yang mulia jika bersih dari dosa (taat pada perintah dan menjauhi larangan-Nya). Mulia di sini tidak hanya dalam kehidupan di dunia tetapi juga sampai pada kehidupan berikutnya (akhirat). Namun, menjadi hamba beriman tidak semudah membalik telapak tangan. Surat Al-Ankabut ayat 2—3 berisi syarat seseorang dikatakan beriman jika lulus dari ujian yang diberikan Allah.

2. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata: “Kami telah beriman”, padahal mereka tidak diuji.”

3. “Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”

Beragam bentuk ujian beragam pula tingkatannya. Ada ujian berbentuk kesenangan dan kesempitan dalam harta/kekayaan; kebaikan dan keburukan dalam fisik; kesehatan dan kesakitan dalam fisik atau psikis. Semua ujian tersebut pun beragam tingkat berat dan ringannya. Hanya orang-orang yang mengerti dan bersabar yang akan lulus dari ujian tersebut.

Orang-orang yang lulus ujian dari Allah memiliki beberapa ciri. Mereka yang diuji dengan limpahan harta tidak menjadi orang yang sombong dan kikir. Mereka yang diuji dengan kesempitan tidak melakukan kejahatan dan tidak juga berputus asa. Mereka yang lulus dari ujian tersebutlah yang akan memperoleh predikat mulia di mata orang-orang beriman dan di hadapan Allah.

Orang-orang beriman ialah orang-orang yang tidak memuja kekayaan duniawi. Sebaliknya, orang-orang beriman lebih mengutamakan rida Allah karena kecintaannya kepada Tuhan-Nya. Hamba yang mulia tidak mengambil hak orang lain dan tidak menyombongkan kekayaan yang diperolehnya dengan cara halal. Hamba yang mulia tidak menghina orang fakir, sebaliknya mereka selalu membantunya.

Sabda Rasulullah SAW (Shalallahu Alaihi Wassalam) berikut menjadi penutup pembahasan ujian terkait dengan kemuliaan dan kehinaan seseorang di dalam kehidupan dunianya. “Sungguh, besarnya pahala bersamaan dengan besarnya cobaan. Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang rela, maka baginya ridha-Nya, dan barang siapa yang murka (marah, berkeluh kesah), maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya,” (HR. Tirmidzi).

Wallahualam. Wassalamualaikum wr wb.

Dra. Lis Setiawati, M.Pd. adalah dosen purnabakti dari  Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Terbuka. Tulisan ini disunting oleh Dr. Sulistyani, M.Pd., dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri dan anggota PISHI.