Presiden Tidak Perlu Ahli Orasi

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menggelar debat capres cawapres untuk Pilpres 2024. Debat ini dilaksanakan sebanyak lima kali, dengan rincian tiga kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres.

Jan 7, 2024 - 10:00
Presiden Tidak Perlu Ahli Orasi

Oleh: Dr. Munawar Ahmad, S.S., M.Si.

 

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menggelar debat capres cawapres untuk Pilpres 2024. Debat ini dilaksanakan sebanyak lima kali, dengan rincian tiga kali untuk capres dan dua kali untuk cawapres. Adapun debat pertama capres 2024 berlangsung hari ini, 12 Desember 2023.  Selama proses debat tersebut, ada enam segmen dalam acara debat perdana capres 2024 pada tanggal 12 Desember 2023.

Berikut penjelasan tentang masing-masing segmen. Segmen 1 penyampaian visi misi dan program kerja. Durasi untuk menyampaikan visi misi dan program kerja adalah 4 menit. Segmen 2, 3, 4 dan 5 pendalaman visi misi, dan program kerja.

Moderator akan mengajukan berbagai pertanyaan dan peserta debat diberi waktu menjawab selama 2 menit. Kemudian, para peserta debat lain akan saling menanggapi. Durasi untuk menanggapi dan menjawab tanggapan masing-masing 1 menit. Segmen 6 penutup, atau closing statement. Masing-masing peserta debat atau capres akan memberikan pernyataan penutup

Pasca debat perdana tersebut, reaksi masyarakat yang antusias menyimak langsung memberi komentar atas jawaban yang diberikan oleh para kandidat. Riuh rendahnya respon seakan menjadi bukti atas kualitas orator dari masing-masing, baik capres maupun cawapres.

Hingga putaran terakhir proses ini akan berakhir selama 5 putaran, 3 untuk calon presiden, dan 2 untuk calon wakil presiden. Putaran 1-2 tanggal 12 desembe 2023, dengan tema pemerintahan, hukum, HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik, dan kerukunan warga. 2

2 Desember 2023, tema ekonomi (kerakyatan dan digital), keuangan, investasi pajak, perdagangan, pengeloaan APBN-APBD, infrastruktur dan perkotaan. Putaran 3-4, tanggal 7 januari 2024, tema pertahanan keamanan, hubungan internasional dan geopolitik. Taggal 21 Januari 2023, tema pembangunan berkelanjutan, SDA, lingkungan hidup, energi,, pangan, agama, masyarakat adat dan desa. Putaran 5 tanggal 4 Februari 2024, tema kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, SDM, inklusi.

Tulisan ini tidak mempertanyakan ataupun menilai jalannya perdebatan, akan tetapi ingin menjelaskan sistem kuasa yang bekerja dibalik administrator demokrasi.  Adapun inspirasi tulisan ini konsep politeia dari Aristoteles terkait bentuk-bentuk pemerintahan.  Menurut Aristoteles, pada sistem pertama, monarkhi, raja sebagai panglima perang, hakim dan pemimpin agama.

Meskipun Aristoteles mengatakan sistem ini adalah sistem pemerintahan yang baik, tapi ia mengkritik bahwa monarkhi itu merupakan bentuk pemerintahan yang paling baik kalau dipimpin oleh seorang filsuf-raja. Ia mengatakan monarkhi merupakan bentuk pemerintahan paling ideal, sedangkan sistem kedua yaitu sistem pemerintahan Aristokrasi. Dalam sistem aristokrasi ini untuk memimpin suatu negara tidak harus seorang filsuf-raja, tetapi dapat berasal dari orang-orang yang memiliki kelebihan. Selanjutnya, politeia. Sistem ini merupakan bentuk pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi didalam negara yang berada ditangan seluruh warga negara dan pelaksanaan pemerintahan oleh pemerintah berdasarkan konstitusi, demi kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Dan terakhir,  tirani, yakni bentuk pemerintahan yang seluruh kekuasaanya dipegang oleh satu orang, baik raja maupun oligarkhi/aristokrasi,   yang berusaha mewujudkan kepentingan sendiri dan tidak mempedulikan kesejahteraan umum.

Dalam konteks ini Aristoteles tidak mensyaratkan jika pemimpin kuasa haruslah seorang ahli orator, usia harus tua, harus punya pengalaman, ataupun harus tidak cacat, atau harus laki-laki.

Meskipun Aristoteles mengatakan jika sosok penguasa ideal adalah seorang filsuf-raja, ini merujuk pada  syarat khusus seorang pimpinan kuasa, yakni ahli strategis, mengerti kebijakan, serta mampu membuat keputusan bajik kepada sesama guna kesejahteraan bersama, termasuk para oligarkhi, rakyat, pihak investor, pebisnis, dan juga para preman birokrat, semua pemangku kepentingan internal maupun eksternal Indonesia ini.

Sekarang jika kita amati terkait sistem pemerintahan di Indonesia, tampaknya kekuasaan di Indonesia hadir dalam 2 sistem dalam satu bentuk, yakni oligarkhi sebagai internal dan demokrasi, sebagai eksternalnya. Sistem ini berkembang sesuai dengan arkeologi sistem-sistem kekuasaan yang pernah hidup dan berada dalam kehidupan kekuasaan di Indonesia sejak dahulu.

Oligarkhi atau dalam term Aristoteles merujuk pada kaum aristokrasi dan monarkhi yang masih tersisa secara antropologi-politik bangsa ini. Terkait hal tersebut, Robert Michel (1911) mengkaji oligarkhi ini. Bagi Miechel kaum oligarkhi ini tetap hadir bekerja di balik sistem demokrasi.

Sebagaimana yang system politeia-nya Aristoteles, yakni sistem dengan kekuasaan tertinggi di dalam negara yang berada di tangan seluruh warga negara dan pelaksanaan pemerintahan oleh pemerintah berdasarkan konstitusi, demi kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum.

Dapat kita amati jika oligarkhi menjadi sistem pertama yang menyeleksi semua kandidat yang akan dipilih dalam demokrasi. Para oligarkhi yang bersembunyi dalam partai atau para pensiunan yang masih aktif dilibatkan dalam pemerintahanan, atau para pengusaha yang professional juga ikut menentukan kandidasi siapa orang pertama di Indonesia.

Menurut Aristoteles, politeia merupakan bentuk pemerintahan yang baik, karena dalam demokrasi  kekuasaan pemerintahan tersebut berada di tangan khalayak umum di mana kebebasannya diikat oleh konstitusi yang menjadi acuan dari pelaksanaan sistem pemerintahan. Ia berpendapat pemikiran orang banyak  jauh lebih baik daripada pemikiran beberapa orang dan orang-orang yang memiliki  senjata, yang bisa mengambil bagian didalam peperangan, berhak untuk dipilih  dan  memilih dalam lembaga negara.

Jadi, proses demokrasi yang terjadi di Indonesia sesungguhnya berdampingan dengan oligarkhi. Akan tetapi para oligarkhi tidak secara langsung menduduki jabatan.  Setidaknya politeia ini, menjaga jika mereka yang punya kedudukan, kekayaan, jabaran dan pangkat, tidak secara otomatis duduk dalam pemerintahan.

Aristoteles tidak setuju jika kedudukan, pangkat dan jabatan sebagai sumber kekuasaan. Maka dari itu Aristoteles menganjurkan politeia (pemerintah yang berkonstitusi) sebagai bentuk pemerintahan yang paling realitis dan praktis, sebab itu paling baik kendati tidak ideal.

Ia berpendapat bagi setiap negara yang baik, hukumlah yang seyogianya mempunyai kedaulatan dan kewibawaan tertinggi. Di dalam politeia, hukum harus menjadi sumber kekuasaan bagi para penguasa itu terarah untuk kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum.  Persoalannya apakah hukum yang dibuat atau ditegakan oleh puncak kekuasaan disukai oleh para oligarkhi, padahal para oligarkhi tersebut juga berada mengawasi langsung, baik sebagai legislatif, yudikatif dan aparat birokrasi. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai mixed regime.

Jadi dengan demikian sebenarnya negara ini tidak membutuhkan seorang presiden atau wakil presiden yang ahli orasi, atau professor yang pandai, atau filsuf yang idealis, yang jelas bukan kriminal-kanibalis, karena di dalam sistem pemerintahan Indonesia bekerja mixed regime.

Siapapun  presidennya, dia bukan one man show, dia harus mengerti kehendak regim oligarkhi berkepentingan, (tapi bukan tunduk, karena presiden bukan petuga partai)  tanpa mereduksi kesejahteraan rakyat juga kedaulatan dalam positioning-geopolitik. Karena ketika mereka bekerja sebenarnya ditunjang oleh sebuah birokrasi yang mapan untuk bekerja menjalankan rencana dan visi Bersama.

Ajang debat menjadi ajang penyampaian gagasan dan keingian secara regimis terkait masa depan Indonesia, namun terkadang ajang debat ini dijadikan instrument kontestatif yang menjatuhkan sekaligus mencemoohkan. Esensi debat sebagai ajang sosialisasi pemikiran para calon presiden sangatlah sesuai dengan mixed regime yang ada di Indonesia, selain sebagai melihat proyektif Indonesia ke depan juga menemukan prospektif kolaboratif untuk membangun kerjasama serta penguatan kesejahteraan bersama, tanpa membuat takut para oligharki yang nyaman saat ini. 

Karena itulah Aristoteles tidak mempertanyakan etika dari kaum oligharkhi ataupun demokrasi itu sendiri, karena keduanya tidak dapat disatukan selain saling bekerjsama. Adapun hal pokok yang dipesankan Aristoteles yakni  pengejaran mutlak pada kesejahteraan (pursuit wealth) atau kebahagiaan (pursuit of pleasure) bersama, semua rakyat merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan minimum atas masalah kehidupan pokok. Etika ini menjadi basis mixed regime, agar terhindar dari tirani, oleh karena itu dibutuhkan sikap dari para penguasa untuk bertindak-berdasar-hukum (political justice tepatnya judicature), bukan tindakan semena-mena tanpa pijakan nilai atau hukum yang baku. kenapa demikian?

Karena politeia menurut Aristoteles memerlukan komitmen sikap pada hukum ini, walaupun di sisi lain mereka harus “bajik” menghadapi para oligarkhi, yang tentu berpotensi melanggar atau memperalat hukum. Sebagaimana dituliskan oleh Isocrates dalam Areopagiticus, Under that democracy, license was not confounded with freedom. Political 'equality' has been understood in two senses: as meaning either that all are to share absolutely alike, or that every man is to receive his due. Our ancestors preferred that 'equality' which does not efface the distinction between merit and worthlessness.”

Dr. Munawar Ahmad, S.S., M.Si. adalah dosen Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga.

Editor: Wadji