Guru Menyanksi, Ketapel Mereaksi

Oleh: Daroe Iswatiningsih

Aug 20, 2023 - 21:44
Guru Menyanksi, Ketapel Mereaksi

Sebuah berita yang cukup viral, seorang guru  SMA Negeri diketapel matanya oleh orang tua murid. Kejadian ini bermula dari tindakan mendidik guru pada siswanya  yang dianggap melanggar disiplin, yakni merokok di lingkungan sekolah. Tindakan sanksi yang meminta siswa  untuk pulang telah memicu kegeraman orang tua  siswa. Terjadilah tindak kekerasan orang tua pada guru dengan mengetapel mata guru hingga mengalami luka yang  menyebabkan kebutaan.

Tentu peristiwa kekerasan pada pendidik oleh orang tua siswa tidak sekali ini saja terjadi. Kalau kita menengok beberapa berita di media sosial banyak kasus yang hampir sama. Ada pula guru yang dilaporkan orang tua karena dianggap melakukan kekerasan pada anaknya. Era teknologi, membuat berbagai  peristiwa mudah diberitakan, terlebih di media sosial. Bagaimana pendidikan yang seyogyanya kita laksanakan?

Pendidikan pada dasarnya adalah memanusiakan manusia agar bertumbuh menjadi insan yang humanis, yang memiliki budi pekerti sebagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara. Untuk itu, seorang peserta didik memiliki karakter kemanusiaan, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan cintaa alam dan lingkungan. Penguatan karakter yang mendasarkan pada nilai-nilai budi pekerti berdasarkan lima unsur di atas menjadikan peserta didik bersikap dengan berlandaskan pada olah cipta, olah karya, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. Bagaimana tuntutan guru saat ini dalam pendidikan?

Saat ini peran guru dalam pendidikan dan pembelajaran telah mengalami pergeseran. Hal ini tidak terlepas dati perkembangan teknologi yang menyebabkan perubahan sangat pesat. Falsafah pendidikan yang menempatkan guru sebagai sosok yang terdepan, utama, yakni guru  sebagai seorang yang digugu ‘dipercayai’ dan ditiru ‘dicontoh’ atau diteladani  sudah diabaikan.

Peserta didik menemukan figur atau tokoh-tokoh baru dari internet. Mereka mudah menemukan banyak informasi dari media sosial, YouTube atau aplikasi lainnya di internet. Hal ini tidak terlepas dari tuntutan guru sebagai pendidik yang dirasa memberatkan. Guru banyak dibebani pekerjaan administratif.  

Kompetensi guru yang mencakup empat aspek, yakni pedagogik, profesi, kepribadian, dan sosial harus berjalan seimbang. Belum lagi era Industry 4.0 serta era Society 5.0 yang berpengaruh terhadap pembelajaran Abad 21. Guru pun harus memahami berbagai situasi dan kondisi ini untuk diimplementasikan dalam pembelajaran, agar  pengetahuan siswa menjadi berkembang. Untuk itu, peran-peran guru semakin kompleks, seperti sebagai  fasilitator, motivator, mediator, insiator atau guru memilki peran mendidik, melatih, membimbing, mengajar, mengarahkan, menilai, dan yang lain agar mampu dicontoh, diteladani, dipercayai, dan disenangi siswa saat mengajar.

Pendidikan yang Humanis

Pendidikan saat ini menempatkan guru bukan sebagai orang yang tahu segalanya atau dianggap sebagai sumber belajar, “teacher centered learning”. Paradigma tersebut sudah berubah menjadi “student centered learning”, yakni menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Pembelajaran berpusat pada siswa, apa dan bagaimana siswa belajar, luaran apa saja yang dikuasai siswa serta menciptakan hal-hal baru yang bermanfaat dan menyenangkan bagi siswa.

Pendidikan humanis berorientasi pada pengembangan diri individu, menggali potensi diri anak bukan hanya pada aspek kognitif semata namun aspek afektif, budaya dan seni serta psikomotoriknya. Untuk itu, nilai-nilai kemanusiaan pada diri individu ditumbuhkan, dikembangkan dan diimplementasikan. Abraham Maslow, tokoh Psikologi Humanistik, mengarahkan bahwa dalam pembelajaran guru diharapkan mampu menciptakan situasi dan suasana yang membuat siswa berhasrat untuk belajar, senang belajar, belajar tanpa ancaman, belajar berangkat dari inisiatif individu serta dalam belajar terjadi perubahan.

Dalam pembelajaran yang menekankan teori humanistis, nilai-nilai penting yang menjadi dasar daaan penting diperhatikan guru mencakup kebebasan, rasa aman, kreativitas, kemandirian, aktualisasi diri, kerja sama, percaya diri, moral, dan pertanggungjawaban atas pilihan. Dengan pemahaman dasar nilai-nilai yang penting dikembangkan ini maka seoarang guru dapat membuat desain pembelajaran yang membangun kebersamaan, tanggung jawab, percaya diri, aktualisasi diri pada siswa. Pesiapan guru mulai dari modul ajar, materi, strategi, media, kegiatan dan evaluasi keseluruhannya dalam upaya menciptakan aspek kemanusiaan.

Pandangan di atas tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam pendidikan yang berupaya membentuk Profil Pelajar Pancasila. Konsep yang sinergis dengan kurikulum Merdeka Belajar ini bertujuan untuk menanamkan enam karakter, yakni berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.

Pelajar atau peserta didik memiliki karakter mulia yang diimplementasikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Individu yang menerapkan akhlak mulia di lingkungan sekolah, maka fenomena bullying atau perundungan tidak akan terjadi lagi. Demikian halnya dengan sikap intoleransi di lingkungan sekolah. Tidak ada lagi sikap yang membada-bedakan dan diskriminasi dari aspek agama, suku, ras, kedudukan dan status sosial, gender dan yang lainnya. Lingkungan sekolah akan terasa nyaman, aman, menyenangkan dan prestasi belajar akan semakin meningkat.

Peran Orang Tua

Orang tua dan keluarga merupakan lingkungan pertama anak. Mereka tumbuh dan besar berdasarkan nilai-nilai yang ditumbuhkan, dikembangkan dan dikuatkan dalam keluarga. Untuk itu, pendidikan dan pemahaman orang tua terhadap tumbuh kembang anak sangat penting. Tri pusat pembelajaran pada diri anak berangkat dari keluarga, lingkungan masyarakat, dan sekolah. Masing-masing memiliki peran penting dalam membangun karakter anak.

Sosok orang tua menjadi cermin bagi tumbuh kembang anak. Untuk itu, orang tua hendaknya tidak menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada sekolah. Orang tua turut mengawal, mendampingi dan mendukung proses belajar anak selama di sekolah. Orang tua penting membangun komunikasi dan interaksi dengan sekolah sebagai bentuk kontrol pada anak.

Sekali lagi kasus kekerasan pada pendidik, penting menjadi bahan evaluasi pada pemerintah, dinas pendidikan, pihak sekolah, guru, lingkungan masyarakat serta orang tua. Misalnya,   sekolah menerapkan sistem pembelajaran yang humanis,  tidak membuat sanksi secara fisik yang menimbulkan traumatis pada diri siswa.

Komunikasi dan interaksi sekolah dengan orang tua semakin diefektifkan dalam menjaga dan mengawal anak didik menjadi pribadi-pribadi yang beriman kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia. Masyarakat turut mendukung keamanan dan kenyamanan lingkungan dan menciptakan kerjasama dengan institusi pendidikan dalam mengawal para siswa untuk belajar. Misalnya mengawasi tempat-tempat yang memicu kerumunan dan menyebabkan kerusuhan dan kericuhaan.  (****)

 

Dr. Daroe Iswatiningsih, M.Si. adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang.