Hmm… Partai Gelora Adang PKS Masuk Koalisi Prabowo-Gibran

Ia juga mengatakan PKS sempat mengeluarkan narasi dan cap pengkhianat kepada Prabowo lantaran bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin usai Pilpres 2019.

Apr 30, 2024 - 09:23
Hmm… Partai Gelora Adang PKS Masuk Koalisi Prabowo-Gibran

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menolak Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bergabung ke koalisi pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih  Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada periode 2024-2029 nanti.

Menurut Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfuz Sidik, PKS kerap mengeluarkan narasi yang mengadu domba dan membelah masyarakat.

Mahfuz mencontohkan PKS selama masa kampanye Pilpres 2024 melakukan serangan negatif kepada Gibran serta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Ia juga mengatakan PKS sempat mengeluarkan narasi dan cap pengkhianat kepada Prabowo lantaran bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin usai Pilpres 2019.

Hubungan Partai Gelora dan PKS tidak baik dengan sejarah panjang yang melibatkan orang-orang di dalamnya. SElain Mahfuz, banyak pula petinggi Partai Gelora seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah yang dulunya merupakan kader PKS.

Konflik tersebut bisa dinilai menjadi alasan lain Gelora menolak PKS bergabung ke dalam koalisi Prabowo-Gibran. Meskipun begitu, Prabowo disebut tetap membutuhkan PKS untuk bergabung ke dalam koalisi.

Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro berpendapat Prabowo dan PKS sama-sama saling membutuhkan. Agung menilai kerja sama politik tersebut tidak akan sulit melihat hubungan baik antara Prabowo dengan PKS.

Pada Pemilu 2014 dan 2019, PKS berada di barisan pendukung Prabowo.

"Secara institusional relasi PKS dengan Gerindra baik karena pernah berkoalisi dalam 2 kali pilpres mengusung Prabowo-Hatta dan Prabowo-Sandi, sehingga terbuka peluang berkoalisi antara PKS-Gerindra karena relasinya saling membutuhkan," ujar Agung kepada CNNIndonesia.com, Senin (29/4).

Di sisi lain, menurut Agung, Prabowo membutuhkan tambahan satu partai politik setelah NasDem dan PKB menyatakan bergabung dengan koalisi pemerintahannya.

"Sementara di sisi PKS, kepentingannya untuk 'mengembalikan' sumber daya (resources) yang selama ini telah dikeluarkan selama 10 tahun di masa Presiden Jokowi sehingga berikutnya bisa melewati periode 2024-2029 dengan baik, sebelum bertarung kembali untuk periode 2029-2034," imbuhnya.

Agung memahami penolakan Gelora terhadap PKS karena menimbang irisan masa lalu yang tak tuntas diselesaikan dan kepentingan politik yang berkelindan dengan basis konstituen.

Agung juga menyadari apabila PKS masuk ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran, maka sumber daya yang diterima akan sama dengan Gelora.

"Hal ini disebabkan PKS punya kursi di DPR, sementara Gelora tidak. Walaupun harus diakui, Gelora memiliki nilai plus karena paling awal mendukung Prabowo-Gibran dibanding PKS yang berlawanan," ucap dia.

"Keunggulan masing-masing inilah yang kelak mungkin menjadi keputusan Prabowo sehingga tercipta win-win solution yang mampu mengakomodasi nalar PKS dan Gelora," sambungnya.

Prabowo butuh basis massa PKS.

Agung menambahkan kesolidan internal PKS diperlukan Prabowo dalam menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan.

Selain loyal dan militan, basis massa PKS sudah teruji taat dan istikamah dengan titah majelis syura sehingga akan efektif dalam mengonsolidasikan kekuatan.

"Prabowo paham betul perihal ini, karena selama 2 periode pilpres telah berkerja sama dengan PKS. Artinya, dibanding partai-partai lain, basis pengorganisasian PKS lebih jelas," ucap Agung.

Pendapat berbeda disampaikan Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago. Menurutnya, Prabowo tidak membutuhkan PKS karena sudah mendapat dukungan dari NasDem dan PKB.

"Saya rasa dengan NasDem dan PKB yang sudah masuk koalisi tidak terlalu penting bagi Prabowo untuk merangkul PKS karena memang dengan adanya kekuatan politik yang dimiliki koalisi di parlemen sudah menguntungkan bagi Prabowo," kata Arifki.

Hanya saja, lanjut dia, Prabowo mempunyai dua alasan kuat untuk mengajak PKS. Yakni politik balas budi karena telah didukung di dua pilpres sebelumnya dan meninggalkan PDI Perjuangan (PDIP) sendirian di luar pemerintahan.

"Puasa politik PKS yang panjang tentu menginginkan berbuka secara politik. Ini menjadi hal menarik kita lihat untuk peluang-peluang dari PKS. Tapi, dinamika yang akan kita lihat itu adalah bagaimana Gelora merespons dan apakah diterima dengan baik karena bargaining Gelora akan lemah," imbuhnya.

Arifki berpendapat Prabowo harus terukur dalam memutuskan apakah menerima PKS atau menolaknya sebagaimana keinginan Gelora. Terlebih, di sisi lain, PDIP sebagai partai besar belum menentukan sikap politik apakah menjadi koalisi atau oposisi.

Arifki menilai PKS bisa saja dijadikan 'tameng' untuk dihadapkan dengan PDIP.

"Saya rasa poin menarik yang kita lihat dari PKS ini adalah tentu Prabowo butuh kekuatan secara grassroot yang mirip PDIP. Artinya, ketika PDIP di luar kekuasaan, tentu bagi Prabowo ingin melihat PKS secara loyalitas mungkin apakah bertentangan dengan PDIP nantinya, ini kan butuh kekuatan politik akar rumput," katanya.(sir)