Semangat 17 Agustus dan Euforia Lomba Permainan Tradisional di Sulawesi Selatan

Oleh: Dr. Sitti Aida Aziz, M.Pd**

Aug 20, 2023 - 21:51
Semangat 17 Agustus dan Euforia Lomba Permainan Tradisional di Sulawesi Selatan

Tanggal 17 Agustus menjadi tanggal bersejarah untuk seluruh rakyat Indonesia, pada tanggal tersebut tepatnya pada tahun 1945, 78 tahun lalu Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Situasi yang tentunya menjadi euforia khusus bagi seluruh bangsa Indonesia. Tidak mengherankan jika ruang medsos marak dengan beragam bentuk postingan event-event suasana perayaan kemerdekaan.

Sebenarnya subtansi peringatan ini bukan pada hiruk pikuknya suasana peringatan hari kemerdekaan Indonesia, namun lebih pada upaya membangun renungan yang diharapkan dapat meningkatkan rasa patriotisme dan nasionalisme, serta kebanggan sebagai sebuah bangsa. Mengisi dan menghargai perjuangan mereka dengan upaya berkelanjutan untuk memperbaiki kualitas berbangsa sebagai upaya mempertahankan NKRI. Lalu mengapa tulisan ini mengambil tema euforia lomba permainan tradisional dan peringatan kemerdekaan RI, sebelumnya kita mencoba melihat kilas balik sejarah perjuangan pahlawan kemerdekaan di Sulawesi-Selatan.

Sejumlah nama pahlawan asal Sulsel yang memiliki peran penting dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan terekam dalam sejarah, tercatat beberapa nama berikut. Pertama, Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke 16 yang keberaniannya sanggup menyiutkan nyali tentara Belanda, sehingga mendapat julukan De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda, yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Kedua, Ranggong Daeng Romo, pendiri Angkatan Muda Bajeng, yang kemudian menjadi Barisan Gerakan Muda Bajeng yang banyak memimpin pergerakan militer melawan kolonialisme Belanda. Ketiga, Andi Mappanyukki merupakan pahlawan nasional berusia belia asal Bone, yang memimpin perlawanan terhadap Belanda pada usia 16 tahun, sehingga dirinya mendapat gelar bangsawan sebagai “Datu Suppa (Letnan Tentara Kerajaan Gowa). Keempat, Pong Tiku seorang bangsawan Toraja, yang menjadi panglima perang melawan penjajah Belanda pada tahun 1906 di sekitar Palopo sampai Rantepao, dan perjuangannya berujung pada saat ia harus menjalani hukuman mati oleh Belanda pada 30 Juni 1907. Kelima, sejarah juga mencatat nama harum pejuang wanita Emmy Saelan (Salma Soehartini Saelan) seorang perawat yang tergabung dalam Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Perempuan muda yang juga mendapat tugas sebagai spionase dan pemasok peluru dan dan senjata pada para pejuang, yang akhirnya membuat dirinya harus tertangkap dan meregang nyawa di ujung senjata tentara Belanda.

Itulah beberapa nama pahlawan nasional yang tercatat dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi, apakah perjuangan mereka akan kita reduksi hanya dengan sekedar memberi warna pada kemeriahan lomba dan euforia perayaan kemerdekaan semata, sebaiknya tidak. Perlu sekali kita membuat sebuah event peringatan kemerdekaan RI ini melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat mengenang dan memberi penghargaan pada nilai-nilai perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Banyak yang dapat kita lakukan, semisal dengan mengisi kemerdekaan melalui penguatan karakter kebangsaan dan penanaman nilai-nilai budaya lokal. Dan yang dapat penulis cermati itu sudah dimulai dalam kesempatan euforia peringatan kemerdekaan yan ke-78 ini, yaitu hadirnya lomba-lomba yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal daerah, antara lain.

Pertama, lomba permainan tradisional Egrang, (longga-longga dalam bahasa Makassar). Caranya, berdiri dan berjalan menggunakan galah bambu dan harus mempertahankan keseimbangannya untuk berjalan. Berikutnya kedua, Magalle, permainan ini menggunakan alat yang terbuat dari tempurung kelapa kering yang dibelah dua dan diberi lubang pada bagian tengahnya. Kemudian lubang itu diikat dengan seutas tali tebal dengan panjang sekitar satu setengah meter. Para pemainnya menggunakan tempurung kelapa ini sebagai alas kaki saat berlomba lari .Cara bermainnya, tali dijepit di antara ibu jari kaki dan jari telunjuk kaki. Siapa yang lebih dulu mencapai garis finish tanpa terjatuh, maka dialah pemenangnya. Ketiga,

 

Lambasena adalah permainan melompati jalinan karet gelang yang saling sambung menyambung. Permainan ini biasanya dilakukan oleh anak perempuan, tiga sampai empat orang. Siapa yang melompat pertama ditentukan kesepakatan bersama dalam tim tersebut. Dua orang di antaranya harus memegang kedua ujung karet yang telah dirangkai untuk dilompati oleh pemain   pertama. Ketinggian karet yang harus dilompati memiliki tahapan-tahapan, mulai dari mata kaki hingga mencapai kepala pemegang karet. Jika semua pemain telah melewati semua tantangan melompat dengan ketinggian paling akhir, maka permainan akan diulang dari awal atau dihentikan (sesuai kesepakatan para pemain).

Digelarnya berbagai permainan tersebut sebenarnya memiliki pesan simbolik yang berakar pada nilai-nilai karakter kebangsaan berupa: rasa tanggung jawab, kejujuran, persatuan, toleransi, serta saling menghargai (patabe/sipaka-tau: Makasar). Lomba egrang, pemainnya ada tanggung jawab. Saat berjalan (egrang) sungguh pemainnya harus berhati-hati dan konsentrasi yang pasti, untuk berjalan menggunakan galah dan aturannya tidak bisa jatuh sampai ketujuan. Permainan magalle, menggunakan tempurung di kakinya untuk berlari, di samping ada tanggung jawab juga ada kejujuran. Karena saat lari kadang kaki terlepas dari tempurung. Sekalipun biasanya tidak terlihat oleh juri, tiba-tiba kaki pemain terlepas dari tempurung, spontan mundur dari arena perlombaan. Selanjutnya lambasena, ada tanggung jawab, kejujuran, juga ada kekompakan (persatuan), ada sipaka-tau (saling menghargai). Permaian tersebut berkelompok (tim). Dalam tim harus ada se-iya dan se-kata, tidak sendiri-sendiri. Mereka saling memahami, siapa yang pertama melompat, dan selanjutnya. Demikian euforia kemerdekaan di Sulawesi Selatan pada kali ini, semoga pada peringatan kemerdekaan di tahun-tahun mendatang peringatan kemerdekaan tidak lagi sekedar sorak gempita yang justru terkesan mereduksi makna kemerdekaan yang kita tahu didapatkan dengan mempertaruhkan air mata, darah, dan harkat kemanusiaan seluruh pejuang kemerdekaan dalam segala lapisan. Marilah kita isi kemerdekaan ini dengan cara yang bijak, dan bisa kita mulai dengan langkah yang bijak pula dalam mengisi euforia peringatan kemerdekaan. Semoga bukan sekedar euforia dan utopia.

  Penulis adalah Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Makassar sekaligus anggota Perkumpulan Ilmuwan      Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Penyuting Dr. Ida Sukowati, M.Hum., dosen LDDIKTI WIL-VII dan          anggota PISHI