Hybrida Palsu antara Manusia dan ChatGPT

Aug 20, 2023 - 21:36
Hybrida Palsu antara Manusia dan ChatGPT

Dengungan ihwal wacana ChatGPT menjadi wartawan tampaknya rapuh. Kerapuhan itu didasari pada dua proposisi.

Proposisi pertama   : ChatGPT adalah mesin tanpa organ

Proposisi kedua       : Hybrida palsu manusia dan mesin

 

Mesin tanpa Organ

Tulisan ini, agar lebih hidup, dan tak sekedar menjadi seperti ChatGPT, maka akan sedikit merelativisir tulisan dari Suhartono yang berjudul "Masa Depan Jurnalisme: Apakah ChatGPT Bisa Menjadi Wartawan? (nusadaily.com, 16 Agustus 2023). Ada beberapa proposisi yang rapuh dan kurang disadari olehnya. Untuk itulah, tulisan ini menjadi ajang dialektis, dan (pembaca) tidak perlu tergoda dan terburu-buru mencarinya lewat prompt generator. Tulisan ini mengajak pembaca dan ilmuwan (hard science atau sosial humaniora) untuk tidak sekedar angguk-angguk koyo iyo iyo o, melainkan untuk menggeleng alias menidak pada sodoran opini yang dibuat sekedar ada, atau ala kadarnya. Mari, kita menikmati tulisan ini! Bila ada tanggapan balik, syaraf-syaraf synapsis dalam otak saya akan meresponnya.

 

Tulisan ini (kemudian) mendengung lagi tatkala Suhartono sibuk berandai-andai ihwal peran ChatGPT sebagai wartawan manusia (yang disebut terakhir ini adalah istilah repetitif buatan Suhartono, dan saya mengikutinya saja, supaya dia tak merasa canggung). Pikirannya tampak dibuai oleh alam bawah sadar yang tak dapat diandalkan menjadi pisau psikoanalisis untuk slicing (mengiris) problem ChatGPT dalam detail-detail kompleksitasnya. Ia bertanya secara eksplisit (dalam tulisannya), bagaimana jika ChatGPT benar-benar menjadi seorang wartawan?

 

Pertanyaan tersebut tak perlu ditanyakan Suhartono, dalam arti sebenarnya? Mengapa? Karena, pertanyaan itu selain retoris, juga pro tempore. Tak perlu dipertanyakan maksudnya, (perlu) ada pertanyaan sebelum pertanyaan, yaitu apa chatGPT merupakan persona atau non-persona? Pre-text dari pertanyaan itu tak ditanyakan Suhartono padahal dari situ kita bisa memahami problem dasar ihwal persona non grata, bahwa ChatGPT ingin tapi tak diinginkan. ChatGPT, de facto, bukan persona, ia, ringkasnya, adalah mesin algoritma kompleks dalam percakapan berbasis teks mirip manusia. Tapi, bukan manusia! Ia adalah mesin tanpa organ.

 

ChatGPT tak mungkin hadir dan menyaksikan kerapuhan wajah para buruh dalam demonstrasi, kegetiran tukang tambal tak bekerja, yang terpaksa menabur paku di bawah debu, dan kecamuk kesal para mahasiswa baru yang tak mampu akibat Perguruan Tinggi Negeri menjadi ber-BH. Di sini presensia mendaulat wartawan untuk memiliki rasa-merasa dan melihat wajah dari apa yang akan diwartakannya. Bila tak memiliki kemampuan qualia (istilah ini akan jelaskan di bagian akhir tulisan), maka wartawan terpaku secara pejal sebagai mesin tanpa organ. Padahal, wartawan manusia, bisa menjadi tubuh tanpa organ, yang menurut Deleuze & Guattari, dalam Capitalisme et Schiophrénie 1: L'Anti-Oedipe (1972),  bukan tubuh yang tidak memiliki organ, tapi tubuh tanpa organisasi, tubuh yang lepas dari situasi yang secara sosial saling berhubungan. Ringkasnya, tubuh tanpa organ menjadi tubuh kreatif yang hadir, mampu keluar dari batasan-batasan kaku, untuk membentuk kembali diri dan tugasnya dengan cara baru. Poin ini yang mestinya dihidupi pada tubuh dan pikiran para wartawan.

 

Proposisi "mesin tanpa organ" inilah yang diabaikan Suhartono di awal tulisannya. Bila proposisi tersebut dipikirkan terlebih dahulu, maka ChatGPT tak mungkin menjadi wartawan. Implikasi lebih jauhnya, masa depan jurnalisme tak perlu dikhawatirkan (penjelasannya nanti saat proposisi kedua semakin menukik, pembaca dimohon sabar). Kekhawatiran yang dibuat-buat alias diskenariokan tidak hanya membuat pembaca cemas, dirinya sendiri juga  menjadi was-was. Maka, "ngapain Suhartono mengajukan pertanyaan itu (sekedar sebagai pertanyaan)?" hanya dengan alasan, "kemampuan ChatGPT dalam menghasilkan konten dan merangkai kata yang banyak dapat diandalkan." Alasan seperti ini juga dialami puluhan tahun silam, saat Google menjadi diskursus gigantik, dan merasa bisa mengganti manusia.

 

Poin penting yang saya ajukan, bahwa kurang adekuatnya argumen, "untuk mengganti wartawan manusia" hanya dengan dasar: (1) menghasilkan konten, dan (2) merangkai kata. Bila ini dijadikan dasar argumen, maka, 15.488 mahasiswa baru Universitas Brawijaya yang memecahkan rekor MURI dengan menulis esai tentang kepemudaan (baca malangterkini.com), adalah wartawan. Mereka, dengan bantuan ChatGPT, Bing AI, Google Bard, dan Perplexity AI, tanpa diragukan, menghasilkan konten, dan merangkai kata dengan cepat. Apakah situasi ini tak sempat singgah dalam pikirannya?

 

Mengapa tidak tersembul gagasan bahwa ChatGPT bisa dimengerti sebagai “teknologi  pembingkaian” dalam upaya menghasilkan aneka karya. ChatGPT, dalam bingkai ini, bekerja tanpa kesadaran. Esai ditulis secepat kilat, tanpa ada unsur estetis yang berkelindan dalam kata, kalimat, dan alinea. “Wartawan manusia”, bagi Suhartono “terletak pada empati dan pengetahuan mendalam ihwal kemanusiaan.”  Tetapi, bagi saya, tidak hanya itu, dalam diri wartawan manusia, yang jauh lebih penting terletak pada journalism honesty. Yang disebut terakhir ini, mengantisipasi keluguan, keliaran, dan fenomena “wartawan bodrek” (gadungan) dan jurnalis harga pas tancap gas dalam meliput dan melakukan peran "watchdoc" pada kebijakan-kebijakan publik. Journalism honesty menjadi norma dasar dalam upaya para jurnalis pada truth seeking. Norma dasar ini, tidak diserahkan pada ChatGPT (yang baginya adalah wartawan, dan alibi ini sudah rapuh), melainkan untuk menegasi keyakinan lugu bahwa wartawan itu netral dan tidak memihak dalam meliput berita.

 

Bias antroposentris

Problem mendasar yang saya ajukan, pasca rentetan eksplanasi di atas, persis menjangkar pada adanya situasi “tidak seukur” (incommensurability) antara ChatGPT dan wartawan. ChatGPT adalah mesin, dan wartawan adalah manusia. Situasi yang hampir tidak mungkin menyejajarkan dan menyatukan mesin dan manusia. Di sinilah, persis terjadi bias antroposentris, pada tulisan Suhartono. Ia belum memproblematisir keduanya dalam relasi yang justru timpang.

 

Apakah manusia bisa menjadi mesin, dan sebaliknya? Pertanyaan tersebut menjadi pintu masuk pada proposisi kedua dalam tulisan ini, yaitu: “hybrida palsu manusia dan mesin algoritma.” Hybrida palsu itu mirip dengan intelektual karbitan, yang dengan rasa bangga, merasa innocence, melempar tulisannya yang itu-itu saja, terus-menerus tanpa mengerti academic honesty. Menyebalkan!

 

Peristiwa menyatunya manusia menjadi mesin, hanya bisa bila pikiran, jiwa, rasa, dan hidup itu dilemparkan dari tubuh. Manusia menjadi tubuh tanpa organ. Hidup baginya hanya sekedar hidup, dan tak bisa menikmati dan merayakan hidup sebagai kenikmatan. Ia adalah tubuh tanpa kepala, tubuh tanpa hati, dan tubuh tanpa perasaan. Ia hidup, tapi tidak mengalami humanitas. Namun, derajat bisa turun menjadi animalitas, dan menjadi sekedar sebagai mesin. Dari sini, manusia bila hanya memiliki kemampuan phone, yang akan berbunyi dengan merintih, melolong bila rasa sakit dan perih menderanya. Manusia sebagai mesin, yang hanya akan bergerak, dan berguna bila diberi perintah oleh pemakainya. Manusia bermartabat dengan logos yaitu kemampuan berkata-kata, berpikir, berimajinasi, dan bermimpi.

 

Kebersatuan antara manusia dan mesin, adalah wujud hybrida palsu. Percampuran palsu antara mesin yang akan berfungsi bila ada manusia. Tak ada relasi saling tertarik di antara keduanya. Sophia dan Xenobot, sebagai contoh, adalah mesin robot humanoid yang diproduksi mempermudah aktivitas hidup manusia, namun tidak memiliki kepekaan emosional dalam bertatap wajah dengan manusia.

 

Hal ini oleh karena, ada yang disebut oleh Martha Nussbaum sebagai the fragility of goodness dari manusia. Manusia disebut manusia persis karena ia berada dalam kerapuhannya, pada tubir kegelisahan, luka, kesedihan, kelemahan, dan tragedi yang menderanya. Untuk itu, manusia yang menjadi mesin, adalah bukan manusia, tetapi sekedar robot tanpa ada kerapuhan pada dirinya. Pintu awal mengenal manusia adalah melalui wajah, bukan kerangka mesinnya. Dari wajahlah, segala kerapuhan merekah!

 

Pertanyaan akhir, apakah mesin ChatGPT bisa bermimpi? Tentu tidak, ia (sebagai benda) hanya memproduksi kata-kata, dan berhenti bila user tidak menggunakannya. Relasi antara manusia dan mesin, tampaknya hanya ada dalam relasi instrumentalis saja. Wartawan dengan human interest menggunakan ChatGPT sekedar sebagai tools (bukan chatGPT sebagai wartawan). Dari gagasan ini, wartawan manusia bisa tiba pada problem qualia, “apa rasanya merasakan sesuatu.” Kita butuh sense of humanity (bukan sixth sense dari peramal masa depan), agar batin sejalan dengan akal budi. Bila menulis reportase, feature, prosa, dan etnografi namun tak merasakan apa-apa, maka, wartawan manusia dikerdilkan hanya dalam data set belaka. Masa depan jurnalisme, pada akhirnya berada pada manusia masa kini yang bergerak perlahan dengan melibatkan mesin-mesin teknologis beserta kehadiran langsung, wajah, dan kerapuhannya. (****)

 

 

Andri Fransiskus Gultom, Dosen Filsafat di Universitas PGRI Kanjuruhan Malang