Nilai-nilai Religius dalam Sastra

Beberapa penulis, peneliti dan penikmat sastra berkomentar bahwa ketika kita membicarakan sastra dengan agama, percaya ada keterkaitan antara pengaruh agama dengan penulisnya yang tidak lepas dari nilai-niai dan norma-norma dari ajaran yang dianutnya. Ciri-ciri karya sastra yang berkaitan dengan agama adalah isinya berhubungan dengan agama, dan yang paling penting penulisnya ahli dalam agama.

Dec 28, 2022 - 00:35
Nilai-nilai Religius dalam Sastra
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Siti Aida Azia, M.Pd

 

Beberapa penulis, peneliti dan penikmat sastra berkomentar bahwa ketika kita membicarakan sastra dengan agama, percaya  ada keterkaitan antara pengaruh agama dengan penulisnya yang tidak lepas dari nilai-niai dan norma-norma dari  ajaran yang dianutnya. Ciri-ciri karya sastra yang berkaitan dengan agama adalah isinya berhubungan dengan agama, dan yang paling penting  penulisnya ahli dalam agama.

            Hamka dalam karya novelnya, penceritaannya bersifat didaktik, bertujuan untuk mendidik pembaca berdasarkan sudut pandangnya. Rerata kritikus mengungkapkan bahwa novel-novel Hamka lebih mengedepankan ajaran tentang dasar-dasar Islam. Lahirnya karya sastra dalam Islam merupakan penyebaran karya sastra  yang menjadi bagian penting dalam upaya pencerahan nurani masyarakat.

            Hal senada diungkapkan oleh Mangunwijaya, bahwa karya sastra yang baik adalah karya memberikan kesan kepada pembacanya untuk berbuat  lebih baik. Sastra sebagai media akan dapat mencapai kesuksesan jika di dalamnya mengandung suatu kebenaran. Sastra yang dianggap baik adalah sastra yang selalu mengajak pembaca memahami nilai-nilai yang baik dalam karya sastra.

             Novel Daun pun Berdzikir karya Taufiqurrahman Al-Azizy merupakan sebuah novel religius yang sangat inspiratif yang akan menuntun pembaca menemukan cinta berlandaskan kecintaan kepada Sang Maha Kuasa. Hanya berbekal cinta kepada-Nya, hidup akan bahagia. Pembaca akan tetap teguh dan tegar menatap dunia dengan optimis walau cobaan terus menghantam.

Novel tersebut bercerita tentang seorang anak (Haydar) yang ditinggalkan oleh ayahnya untuk selama-lamanya. Ayahnya meninggal ketika Haydar  merantau. Seorang pemuda yang taat beragama dan rajin bekerja. Ia ke kota untuk mencari kerja, kembali ke desa karena mendengar kabar ayahnya telah berpulang ke rahmatullah. Sampai di desa Gagatan, hanya nisan ayahnya yang dapat dilihatnya.

Ayahnya telah dimakamkan oleh masyarakat setempat sebagaimana kebiasaan mereka untuk lebih cepat menguburkan jenazah. Pemuda ini sedih sekali. Ia menyesal telah pergi ke kota. Akhirnya Haydar sering termenung dan tidak berbicara selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Masyarakat di desa Gagatan menyebut Haydar orang gila. Masyarakat terkadang melihat  Haydar berbicara sendiri di makam ayahnya, di rumahnya atau di mana saja ia berada selalu berbicara sendiri.  Sebutan orang gila sering pula dilontarkan oleh mahasiswa dari kota yang tinggal di desa Gagatan untuk meneliti. Mereka itu adalah Bram, Rohman, Asep, Nana,  dan Lidya.

Setelah beberapa minggu mereka di desa,  Asep dan Lidya bertemu dengan Haydar dan mencari kebenaran pernyataan masyarakat bahwa Haydar adalah pemuda gila. Kesimpulan Asep dan Lidya bahwa Haydar adalah pemuda yang baik, sabar, rendah hati (tawadhu), gemar menolong, berbakti kepada kedua orang tua, taat beragama (rajin shalat, membaca Al Quran, dan bersedekah) serta rajin bekerja. Tidak sama dengan teman mahasiswanya Bram yang tidak taat beragama (syirik, takabur, berburuk sangka, dan suka mencela orang lain) serta bertindak sewenang-wenang kepada orang lain.

Setelah Haydar ikhlas menerima kepergian ayahnya ia berubah menjadi pemuda yang rajin. Ia kembali bekerja di ladang milik ayah Nayla, sahabatnya. Bahkan ia dengan ikhlas memberi pelajaran Asep dan Lidya tentang perintah dan larangan Allah, termasuk melaksanakan shalat lima waktu.

Haydar dicintai oleh seorang gadis yang bernama Shopy, namun tidak mendapat restu dari ibunya karena perbedaan status sosial. Orang tua Shopy kaya raya sedangkan Haydar hanyalah anak seorang pekerja harian. Haydar berjanji pula kepada ibunya untuk menjauhi  Shopy. Akhirnya Haydar memilih Nayla sahabatnya untuk menjadi pendamping hidupnya kelak. Sementara,  cinta Bram tidak terbalas oleh Shopy. Cinta  yang tidak terbalas  dalam novel ini menjadi sesuatu yang indah dalam cerita.

Bram menjadi gila karena cintanya ditolak oleh Shopy dan akhirnya mengembara keluar kampung karena tidak sanggup menerima kenyataan. Lidya menjadi kecewa karena Bram tidak menaruh hati kepadanya walaupun ia telah membantu Bram semaksimal mungkin dalam penelitian di desa Gagatan.  Shopy akhirnya pasrah dan ikhlas melepas Haydar yang ternyata memilih Nayla sahabatnya. Asep akhirnya  jatuh cinta kepada Lidya.

  Identifikasi nilai relegius dalam novel tersebut, terdapat  akidah. Akidah adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap Allah sebagai Ratib dan Ilah serta beriman dengan nama-namanya dan segala sifat-sifatnya. Pun beriman akan adanya malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan beriman dengan takdir Allah (ada baik ada buruk) termasuk juga hal-hal yang datang dari Allah. 

Cinta kepada Allah adalah bagian dari akidah dalam novel Daun pun Berdzikir karya Taufiqurrahman Al-Azizy. Hal ini terbaca uraian bahwa, cinta antara Shopy dan Haydar bukanlah cinta seperti kebanyakan orang. Cinta keduanya adalah cinta persahabatan dan cinta kepada Allah swt. Haydar mengetahui cara memperlakukan Shopy sebagai seorang wanita shaleha dan bukan muhrimnya, tetapi di antara keduanya tetap bersahabat dan menjaga persahabatannya.

Haydar mengetahui batas-batas yang harus dijaga antara dirinya dengan Shopy meskipun orang lain mengatakan bahwa mereka saling menyayangi. Demikian pula dengan Shopy yang dipingit oleh ibunya. Dalam menghadapi cobaan ini, Shopy  tetap mencintai Allah dan tetap menyayangi Haydar.

Setiap masalah yang dihadapi  hanya berserah diri kepada Allah SWT. Shopy berdoa di setiap sujudnya. Ia tak henti-hentinya memohon  ampunan kepada Allah  atas apa yang telah terjadi. Dengan meneteskan air mata, ia berdoa agar diberi kekuatan dalam menghadapi segala tuduhan masyarakat  bahwa dirinya mencintai seorang pemuda miskin dan gila adalah perbuatan yang salah.

Percaya kepada Allah, juga bagian dari aqidah dalam novel Daun pun Berdzikir. Hal ini terlihat pada Bu Salamah. Wanita yang telah melahirkan Haydar yakin bahwa suatu saat Haydar akan berbicara kembali dan bertingkah laku seperti biasa. Dengan kepercayaan kepada Allah Bu Salamah tak ada henti-hentinya memohon pertolongan kepada Allah.

Demikian pula dengan Asep yang percaya pula bahwa Allah melihat segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia. Allah maha melihat segala sesuatu yang disembunyikan oleh hambanya.  Allah tidak pernah tidur, Allah melihat segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini.

Sama halnya dengan Shopy yakin, bahwa Allah melihat dan mengetahui rencana manusia, yang telah dikerjakan  baik yang belum dikerjakan, Shopy percaya akan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, ia percaya dan berharap bahwa Allah akan melepaskan penderitaannya kelak , meskipun ia tidak dapat melawan kemauan orang tuanya.

Peristiwa yang tidak disangka-sangka terjadi pada akhir cerita ketika semua tokoh telah berbahagia. Bram yang menerima kenyataan cintanya ditolak akhirnya pamit dari desa Gagatan dan memperbaiki semua tingkah lakunya yang menyimpang dari agama. Bram bertaubat dan meminta maaf kepada penduduk desa Gagatan termasuk Haydar dan Shopy.  Shopy akhirnya dapat menerima cinta Bram setelah Bram berubah dan kembali ke jalan Allah, melaksanakan shalat lima waktu.

Demikianlah gambaran singkat relegi dalam sastra, tertulis bahwa novel Daun pun Berdzikir karya Taufiqurrahman Al-Azizy, terurai relegi antara lain:  cinta kepada Allah,  percaya atau yakin kepada Allah,  percaya janji Allah, sabar, tolong menolong, dan berbakti kepada kedua orang tua.

Dengan begitu,  dapat dikatakan bahwa , sesuatu kejadian atau peristiwa dalam karya sastra termasuk novel  Daun pun Berdzikir karya Taufiqurrahman Al-Azizy terwujud berdasarkan imajinasi pengarangnya. Kendati dalam penulisannya bukan berarti tidak menggunakan data. Semoga bermanfaat bagi pembaca...

 

Dr. Siti Aida Aziz, M.Pd adalah dosen Universitas Muhammadiyah Makassar dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Tulisan ini disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum, dosen Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).