Malu Bertanya Tersesat di Jalan, Rajin Bertanya Terseret ke Penjara

Oleh: Wadji

Jul 20, 2023 - 04:19
Malu Bertanya Tersesat di Jalan, Rajin Bertanya Terseret ke Penjara

Bertanya adalah salah satu bagian penting dalam keterampilan berbahasa, terutama bahasa lisan. Tidak semua orang mau dan mampu bertanya. Seorang jurnalis dituntut untuk mampu mengolah keterampilannya dalam bertanya, karena dengan bertanya mereka akan memperoleh banyak sumber berita.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ungkapan, “Malu bertanya sesat di jalan,” Ironinya, di negeri ini malah banyak orang terkena masalah hukum lantaran ia banyak bertanya. Setidaknya dialami oleh Anwari bin Yusuf Bintoro, seorang pengusaha internet yang berdomisili di Surabaya.

Mula pertama saya berkenalan dengan Anwari bin Yusuf Bintoro setelah putusan bandingnya di Pengadilan Tinggi Surabaya keluar. Ketika kali pertama saya bertemu dengan Anwari bin Yusuf Bintoro, kesan saya ia adalah orang yang sangat lucu, humoris dan enak diajak diskusi. Guyonannya bahkan lebih lucu dari sejumlah komedian di televisi. Orangnya santai, tetapi memiliki wawasan yang cukup luas.

Banyak kalimat yang selalu saya ingat dari Anwari bin Yusuf Bintoro pasca diskusi. Ketika diskusi tentang korupsi dan kriminalisasi, Anwari pernah menyatakan, “Tak ada kriminalisasi yang gratis.” Tentunya pernyataan ini makin menegaskan sinyalemen Menkopolhukam, Mahfud MD tentang industri hukum di negeri ini.

Secara kebetulan kami sama-sama mengidolakan Mahfud MD, pejabat yang gaya bicaranya blak-blakan dan berani berkata benar. Ini bukan berarti di negeri ini semua pejabat tidak berani berkata benar, tetapi mencari sosok seperti Mahfud MD rasanya makin sulit.

Mahfud MD, seperti dikutip VOA Indonesia (5/11/21) menyatakan, "Mari kita jaga ini semua, agar tidak menjadi proses baru untuk melakukan industri hukum. Nanti bisa dijadikan jual beli, ada cara begini, kita selesaikan, bayar sekian. Itu industri hukum namanya.”

Akhir Juni lalu Mahkamah Agung menolak kasasi Anwari bin Yusuf Bintoro. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya dalam Putusan Nomor 766/Pid.Sus/2022/PN Sby: (1) Menyatakan Terdakwa Anwari Bin Yusuf Bintoro terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mentransmisikan Informasi Elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik”; (2) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Anwari Bin Yusuf Bintoro oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana 3 (tiga) bulan kurungan.

Atas putusan Pengadilan Negeri Surabaya itu, Anwari bin Yusuf Bintoro mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Surabaya dalam Putusan Nomor 769/PID.SUS/2022/PT SBY menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 7 Juli 2022 Nomor 766/Pid.Sus/2022/PN Sby, yang dimohonkan banding tersebut.

Anwari bin Yusuf Bintoro didakwa melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik seperti termaktub dalam pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam ayat itu disebutkan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.”

Ancaman hukuman atas perbuatan itu tercantum dalam Pasal 45 ayat 3: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”

Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 disebutkan bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 disebutkan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut.

Pasal 310 ayat 1 berbunyi: Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Sekarang mari kita lihat apa yang dilakukan oleh Anwari bin Yusuf Bintoro, sehingga ia sampai dikenai pasal penghinaan dan/pencemaran nama baik. Pada mulanya Anwari bin Yusuf Bintoro mengirim ke sejumlah orang melalui whatsapp pribadi (bukan grup) sebuah pertanyaan untuk meminta klarifikasi tentang berita yang ia terima. Pertanyaan yang ia sampaikan itu disertai dengan asumsi.

Apa yang disebut dengan “diketahui umum” menurut SKB tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-undang ITE yang ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia?

Dalam SKB itu disebutkan bahwa kriteria “diketahui umum” bisa berupa unggahan pada akun sosial media dengan pengaturan bisa diakses publik, unggahan konten atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat grup terbuka di mana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, serta lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload (share) keluar, atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group).

Dalam SKB itu juga disebutkan bahwa bukan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok pertemanan akrab, grup kantor, grup kampus, atau institusi pendidikan.

Yang sangat menarik dari kasus Anwari bin Yusuf Bintoro adalah: Pertama, jika percakapan grup terbatas atau tertutup saja bukan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, mengapa percakapan Anwari bin Yusuf Bintoro yang melalui Whatsapp pribadi justru divonis bersalah melakukan pennghinaan dan/atau pencemaran nama baik?

Percakapan yang dilakukan Anwari bin Yusuf Bintoro dengan mitra tuturnya tidak memenuhi  persyaratan sebagai percakapan publik, karena terdakwa melakukan percakapan dengan masing-masing 1 (satu) orang, dan tidak kepada banyak orang dalam 1 (satu) ruang. Interaksi yang dilakukan oleh t Anwari bin Yusuf Bintoro adalah interaksi interpersonal, satu lawan satu, bukan satu lawan banyak.

Kedua, sebuah asumsi jelas tidak bisa disamakan dengan tuduhan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar; landasan berpikir karena dianggap benar. Sementara itu mengasumsikan berarti menduga; memperkirakan; memperhitungkan; meramalkan.

Karena masih dalam status dianggap benar, maka sebuah asumsi bisa saja salah. Berasumsi sangat berbeda dengan tuduhan, apalagi asumsi yang disampaikan oleh Anwari bin Yusuf Bintoro disertai dengan pertanyaan. Asumsi dalam kalimat pernyataan saja tak bisa dikategorikan sebagai tuduhan, apalagi dalam bentuk pertanyaan. Pertanyaan Anwari bin Yusuf Bintoro dalam hal ini hanyalah sekadar upaya memancing diskusi lebih lanjut sebagai pelengkap informasi yang ingin ia gali.

Ketiga, menurut Talmy Givon konteks dalam komunikasi dibedakan antara konteks generik dan konteks spesifik. Konteks generik adalah konteks yang bersifat umum yang keberadaan, ciri, maupun penyikapan terhadapnya telah disadari oleh anggota suatu masyarakat bahasa. Sementara konteks spesifik adalah konteks yang secara khusus memperoleh perhatian interlokutor karena memiliki hubungan dengan situasi peristiwa tuturan yang dilaksanakan.

Dalam perkara Anwari bin Yusuf Bintoro, cara menafsirkan tuturan yang diposting via WhatsApp pribadi dengan memakai alat telefon seluler ini harus dilihat dalam konteks spesifik. Asumsi yang dikemukakan oleh Anwari bin Yusuf Bintoro yang menyebut perihal jual-beli jabatan sesungguhnya dilatarbelakangi dan berlandaskan pada tuturan sebelumnya, yang sebagian besar dari konten tuturan itu merupakan fakta yang diakui oleh para saksi dalam persidangan pengadilan tingkat pertama.

Anwari adalah satu dari sekian banyak orang Indonesia yang karena pertanyaannya berbuah petaka. Masih adakah di masa yang akan datang orang-orang yang akan mengalami nasib seperti Anwari? Semoga pertanyaan saya tidak menimbulkan petaka.

 

Dr. Wadji, M.Pd. adalah Redaktur Ahli Nusadaily.com, Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI), relawan PAKU ITE, dan dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.