Wacana Tambah Kementerian Prabowo dan Ancaman Beban Negara

"Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar," jelasnya kepada wartawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (6/5).

May 8, 2024 - 14:13
Wacana Tambah Kementerian Prabowo dan Ancaman Beban Negara

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Beberapa waktu terakhir, Prabowo selaku presiden terpilih disebut-sebut bakal menambah jumlah kementerian dari yang semula hanya 34 menjadi 40 kementerian.

Kabar tersebut tidak dibantah oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman.

Ia menilai penambahan kementerian merupakan hal yang wajar lantaran Indonesia sebagai negara yang besar butuh bantuan dari banyak pihak.

"Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar," jelasnya kepada wartawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (6/5).

Wacana penambahan jumlah kementerian pada masa pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai sarat kepentingan politis dan hanya akan membebani keuangan negara.

Sementara itu, Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming mengatakan saat ini masih merumuskan komposisi dan jumlah kabinet yang akan datang dengan pelbagai pihak.

Ia pun tidak membantah ihwal potensi bertambahnya jumlah kementerian pada pemerintahan mendatang. Gibran menyebut salah satu kementerian yang sedang digagas yakni kementerian khusus untuk mengurus program makan siang gratis.

"Masih dibahas, masih digodok dulu. Tunggu saja ya. Kemarin sempat dibahas itu (kementerian khusus makan siang gratis)," ujarnya.

"Karena melibatkan anggaran yang besar, distribusinya juga tidak mudah, logistiknya juga tidak mudah, monitoringnya juga tidak mudah. Ini makanya harus menjadi atensi khusus," imbuhnya.

Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai wacana penambahan kursi menteri yang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran sangat bernuansa politis.

Lewat penambahan kursi menteri itu, Prabowo-Gibran dinilai sedang mencoba menyiapkan 'imbalan' terhadap pihak-pihak yang akan mendukung jalannya pemerintahan mereka, termasuk kepada partai politik yang sebelumnya sempat menjadi lawan bertarung pada Pilpres 2024.

Selain itu, Arifki memandang penambahan kementerian juga dilakukan untuk mengakomodasi orang-orang kepercayaan Presiden Joko Widodo.

"Dari segi politik, ini terkesan sebagai pesan bahwa tidak akan mengurangi jatah dari anggota Koalisi Indonesia Maju," ujarnya seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (8/5).

"Jumlah kementerian dari 34 kursi menjadi 40 kursi ini secara tidak langsung juga turut mengakomodir orang-orang Jokowi di pemerintahan Prabowo-Gibran," tuturnya.

Ia mengatakan tidak menutup kemungkinan penambahan kursi merupakan cara Prabowo-Gibran untuk memfasilitasi keinginan yang muncul di publik, seperti isu pembentukan Kementerian Perpajakan yang sempat menjadi perbincangan di media sosial.

Oleh sebab itu, Arifki menilai tim Prabowo-Gibran perlu memaparkan secara jelas alasan penambahan kursi itu kepada publik. Hal itu menurutnya penting untuk menepis dugaan bentuk akomodasi politik atau bagi-bagi kue semata.

"Agenda politik atau agenda bangsa, dua pesan ini yang sekarang beredar di publik. Tentu perlu penjelasan juga oleh tim Prabowo-Gibran kepada publik apabila benar ada penambahan dari 34 menjadi 40 kementerian," tuturnya.

Di sisi lain, Pengamat Politik dari Universitas Andalas Asrinaldi mengatakan kebutuhan akan penambahan kementerian memang bergantung kepada visi-misi dari Presiden terpilih.

Hanya saja, Asrinaldi menilai tetap diperlukan evaluasi secara komprehensif terlebih dahulu oleh Prabowo-Gibran terhadap kementerian yang sudah ada. Apakah kursi-kursi yang sudah bisa bekerja secara efektif untuk menjalankan program-program mereka atau tidak.

"Apakah ada kementerian yang harus dipisahkan, tergantung kepada presiden terpilih itu sendiri. Tapi dengan adanya 34 kementerian, rasanya sudah mengakomodir semua kepentingan dan urusan negara," tuturnya.

Asrinaldi khawatir apabila penambahan kementerian dilakukan tanpa ada urgensi yang jelas dan semata-mata untuk akomodasi politik hanya akan membuat jalannya pemerintahan menjadi tidak efektif dan efisien.

Belum lagi, kata dia, potensi terjadinya tumpang tindih tugas dan kewenangan antarkementerian. Pasalnya ia mengatakan hal tersebut juga telah menjadi persoalan tersendiri pada era pemerintahan Presiden Jokowi.

"Kalau ditambah ada kementerian lain justru dikhawatirkan bakal menjadi overlap, sedangkan hari ini saja ada urusan-urusan yang kita anggap membingungkan," jelasnya.

Asrinaldi mengatakan dengan penambahan jumlah kementerian pada pemerintahan Prabowo-Gibran secara otomatis juga akan meningkatkan anggaran dan beban keuangan negara.

Padahal dengan kondisi yang sudah ada saat ini, Asrinaldi memandang anggaran negara yang dialokasikan untuk 34 kementerian sudah terlampau banyak. Mengingat, kata dia, masing-masing kementerian juga memiliki program kerjanya sendiri.

"Mau tidak mau kalau bertambah 6 kementerian lagi, tentu akan berimplikasi pada pembiayaan di tingkat pusat maupun daerah, karena daerah dalam konteks otonomi hari ini sangat bergantung pada pusat," ujarnya.

"Ini juga perlu dipertanyakan. Mestinya Pak Prabowo menyelenggarakan pemerintahan secara efektif dan efisien. Tidak hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan kepada koalisi yang bertambah gemuk," sambungnya.

Pendapat senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro. Ia mengatakan dampak pembengkakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi efek samping yang tidak dapat dihindari dari rencana penambahan kementerian.

Selain anggaran, Agung mengatakan kementerian yang baru dibentuk itu nantinya juga tidak serta-merta langsung bisa bekerja secara efektif lantaran masih memerlukan fase transisi.

Ia meyakini di tahun-tahun pertama pemerintah Prabowo-Gibran, kementerian-kementerian yang baru dibentuk tersebut belum dapat bekerja secara maksimal lantaran masih fokus mengurus administrasi dan birokrasi yang ada.

"Jika akhirnya menambah kementerian, maka eksesnya ke pembiayaan yang memakan APBN. Pemborosan anggaran maupun soal waktu untuk mandiri, karena diperlukan fase transisi sebelum sepenuhnya kementerian baru ini berjalan," jelasnya.

Karenanya, apabila penambahan kursi dilakukan hanya untuk akomodasi politik semata, Agung menyarankan agar Prabowo tidak menyamaratakan bobot kementerian yang sudah ada.

Misalnya, kata dia, posisi menteri koordinator ataupun menteri strategis tidak lagi dihitung sebagai satu kursi jatah partai politik, sehingga dapat menambah ruang gerak bagi Prabowo untuk mengakomodasi semua pihak.

"Misalnya Golkar 5 kursi, maka saat mengambil Menko Perekonomian yang berbobot 2 kursi, tinggal tersisa 3 kursi kementerian, sehingga bisa menghemat 1 jatah kursi dari Golkar untuk pihak lainnya," tuturnya.

Di sisi lain, Agung juga mewanti-wanti agar pemerintahan Prabowo-Gibran tetap memberikan porsi yang seimbang terhadap pihak profesional dalam kabinet.

Ia khawatir apabila kabinet Prabowo-Gibran mayoritas diisi dari partai politik malah justru akan kontraproduktif dengan program-program besar yang telah dicanangkan dalam Pilpres kemarin.

"Jika terlalu banyak kalangan partai menjadi menteri, maka kalangan wamen sebaiknya di isi dari nonparpol atau sebaliknya. Sehingga arahan membentuk Zaken Kabinet tetap bisa terwujud dalam skema win-win solution," pungkasnya.(han)