Pendidikan Indonesia Darurat Game Online

Oleh: Patrisius Istiarto Djiwandono

May 6, 2024 - 09:07
Pendidikan Indonesia Darurat Game Online

Popularitas game online sudah menjadi keniscayaan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Teknologi digital yang makin canggih menghadirkan suasana permainan yang makin realistis bagi para pemain. Ini diperkuat lagi dengan berbagai plot game, ganjaran, dan jejaring yang membuatnya makin memikat.

Rasanya tak berlebihan untuk mengatakan bahwa bagi generasi Z game online adalah sarapan kedua mereka. Namun semua yang masif dan intens itu bukannya tanpa kerugian. Artikel singkat ini memaparkan resiko yang bakal dihadapi oleh generasi yang tingkat minatnya terhadap game online sudah bisa dikategorikan sebagai kecanduan.

Kita punya waktu 24 jam. Secara kasar, waktu itu bisa terbagi menjadi 8 jam untuk tidur, 8 jam untuk studi dan kegiatan sosial, dan 8 jam untuk pengembangan diri. Jika seseorang menghabiskan minimal 4 jam untuk bermain game online, hanya ada waktu sedikit yang tersisa untuk membaca, berolahraga, atau bersosialisasi.  Maka tidak mengherankan kenapa skor  kemampuan membaca anak-anak Indonesia di PISA selalu terpuruk dari tahun ke tahun.

Sebabnya relatif jelas: anak Indonesia menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain game online daripada mengasah kemampuan membacanya. Jika waktu bermain game online itu bisa dikurangi secara signifikan, pasti ada jam yang lebih banyak untuk mengasah kemampuan membaca.

Makin miris membayangkan suatu waktu  di masa depan ketika generasi pemain game online ini menjadi pemimpin dan pendidik. Mereka mungkin akan mengatakan kepada anak buah atau para muridnya “maaf, saya tidak pernah membaca hal-hal mendalam tentang topik tersebut, namun saya jago dalam game online.” Bukankah ini menjadi suatu hal yang menggelikan namun memprihatinkan?

Beberapa studi di luar negeri menyatakan bahwa game online memberikan kepada pemainnya tiga manfaat, yakni otonomi, keterhubungan dengan orang lain, dan kompetensi atau kecakapan. Otonomi membuat mereka bebas menentukan strategi permainannya; keterhubungan dengan yang lain dicapai ketika mereka bermain sebagai tim, bahkan dengan pemain lain di luar negeri; kecakapan mereka raih ketika bisa mengalahkan lawan atau memenangkan permainan. Semua ini memberikan mereka ganjaran berupa derasnya hormon dopamin yang memicu kepuasan. Pada gilirannya ini akan semakin meningkatkan kecanduan.

Beberapa studi lain menemukan bahwa pemain yang kecanduan game online adalah mereka yang kebutuhan psikologisnya kurang terpenuhi dan kurang mendapat dukungan sosial dari sekitarnya. Jika ini benar, maka menjadi kewajiban bersama untuk mengupayakan dukungan psikologis dan sosial dari semua anggota masyarakat, terutama keluarga, dan lembaga pendidikan.

Tak kurang banyaknya studi yang membuktikan dampak negatif kecanduan game online. Kesehatan mental, kecemasan, depresi, komunikasi yang buruk dengan anggota keluarga, dan ritme tidur yang kacau sering disebut sebagai dampak negatif tersebut.

Studi terbaru yang dilakukan dua tahun silam menemukan bahwa tidak ada hubungan antara game online dengan kemampuan kognitif. Namun, studi itu juga membuktikan bahwa game online tidak mendorong peningkatan kemampuan kognitif. Sederhananya, tidak bisa dikatakan bahwa game online akan membuat para pemainnya menjadi lebih unggul dalam bidang akademik.

Kalangan yang sangat menyukai game online barangkali akan berargumen bahwa game online juga mempunyai dampak positif. Kelincahan motorik, kemampuan berpikir cepat, bahkan penguasaan bahasa Inggris sering disebut-sebut sebagai dampak positif itu.  Namun dalam konteks ini ada baiknya kita menyadari agenda penting apa yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini.

Pemanasan global, ancaman kecerdasan buatan terhadap kemanusiaan, daya dukung lingkungan hidup, dan semua agenda yang terangkum dalam Sustainable Development Goals menjadi pusat perhatian negara-negara beradab. Dalam lingkup lebih spesifik di Indonesia, darurat literasi alias minimnya kebiasaan dan kemampuan membaca bisa dikatakan urgen.

Kita bisa menanyakan: sejauh mana kemampuan game online bisa menyumbang pada solusi untuk agenda-agenda sangat penting ini? Jika ternyata jawabannya adalah tidak ada, maka sungguh perlu semua pihak, baik para pendidik, pemimpin, dan generasi muda mulai berbenah diri. Harus ada langkah kongkret untuk mengurangi kecanduan terhadap game online dan mulai mengerjakan hal-hal yang lebih urgen demi tercapainya kesejahteraan umat manusia di jaman sulit ini.

Baru-baru ini, Kementerian Komunikasi dan Informasi menyatakan akan menutup situs game online. Sayangnya, rencana ini langsung disambut dengan protes seru oleh para penggemar game online. Mereka berkilah bahwa game online masih lebih bermanfaat daripada judi online. Demikianlah, mereka dengan cerdik—kalau tidak bisa dikatakan licik—menggeser fokus permasalahannya ke judi online dengan harapan pemerintah tidak lagi mengusik sumber kenikmatan mereka.

Inti dari paparan penulis di atas adalah kecemasan tentang makin maraknya game online di kalangan generasi penerus bangsa. Jika dimainkan dalam kurun waktu yang terbatas barangkali akan memberikan lebih banyak manfaat daripada mudarat. Namun yang terasa adalah meningkatnya intensitas game online yang kemudian mengorbankan hal-hal lebih esensial seperti membaca dan mengembangkan diri.

Jika tidak ada langkah kongkret atau minimal kesadaran pribadi dari para pemain ini, yang notabene adalah mayoritas generasi muda, maka game online benar-benar menjadi satu lagi kondisi darurat di Indonesia.

 

Prof. Dr.  Patrisius Istiarto Djiwandono adalah dosen tetap di Prodi Sastra Inggris, Universitas Ma Chung, Malang.

Editor: Wadji