Benarkah Profesor itu Pintar?

Oleh: Andri Fransiskus Gultom

May 6, 2024 - 09:37
Benarkah Profesor itu Pintar?

Profesor bisa jadi merupakan suatu keraguan. Keraguan itu terwakili oleh satu pertanyaan yang menjadi judul di atas. Tulisan ini dibuat dalam upaya merespon fenomena merebak dan jamaknya pelantikan profesor. Ada yang normal menjadi profesor dan ada juga yang terasa ganjil (meragukan) menjadi profesor. Fenomena sosial seperti: lompat jabatan profesor, profesor termuda, profesor riset, profesor injury time, profesor kehormatan, profesor abal-abal, dan profesor doktor koruptor. Deretan gelar ganjil dalam situasi tersebut menggoreskan tanda tanya, yang saya rasa perlu dielaborasi dalam tulisan.

Saya dengan secara amat sengaja melemparkan satu pertanyaan itu bagi yang “belum, sedang proses, atau telah” menjadi profesor. Penggunaan istilah “sengaja” mudah-mudahan diposisikan dalam milieu akademik dengan harapan terjadi percakapan yang relatif baru, yang nantinya bisa membentuk komunitas epistemik.

Universitas dengan komunitas di dalamnya, secara terang-terangan membentuk struktur sosial di mana ada sekat-sekat pembeda, yang membentuk piramida bernama senat akademik. Senat akademik berperan untuk menyusun kebijakan, memberikan pertimbangan, dan melakukan pengawasan di bidang akademik. Penghuni piramida tersebut adalah para profesor (guru besar), rektor, dekan, atau “yang dianggap pintar”. Frase yang terakhir inilah menjadi duduk permasalahan, yang akan saya elaborasi dengan kecurigaan epistemik.

 

Yang dianggap Pintar

Otoritas akademik kerap kali memberi kepercayaan (trust) pada mereka yang bergelar profesor. Walaupun, kemudian dikenal ada “profesor non-job” atau guru besar yang tidak memiliki jabatan di kampus atau bisa jadi jabatan profesornya “tidak dianggap” karena menjadi “batu sandungan” di bidang akademik. Mereka yang dianggap pintar dalam hal ini menunjuk subjek: profesor, secara ideal-proposional, oleh karena Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai rujukan dasarnya. Dasar argumen umumnya, demikian:

(1) Pendidikan profesor yang tinggi (doktor) dan dianggap memiliki pengetahuan mendalam di bidang tertentu. Argumen ini dianggap menunjukkan kecerdasan mereka.

(2) Penelitian. Profesor  dianggap sering melakukan penelitian yang memerlukan analisis kritis dan pemecahan masalah. Kemampuan ini menandakan kecerdasan mereka.

(3) Pengalaman. Profesor memiliki pengalaman mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa dan mahasiswi. Pengalaman ini memperkaya pengetahuan dan wawasan mereka.

(4) Kontribusi: Profesor berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat melalui penelitian, publikasi, dan pengajaran. Ini bisa menunjukkan adanya kepintaran mereka dalam berbagai aspek.

Keempat ideal-proposisi di atas secara umum, dapat dikatakan bahwa profesor memiliki kepintaran berdasarkan pendidikan, penelitian, pengalaman, dan kontribusi mereka. Tentu saja, ada variasi di antara individu-profesor dan komunitas-profesor (yang disebut: Majelis Guru Besar), tetapi anggapan sementara: “mereka cenderung pintar” dan kepintaran mereka tidak otomatis melekat secara permanen dan universal.  

Michèle Lamont (2009) dalam buku “How professors think: inside the curious world of academic judgment” menegaskan bahwa para profesor memiliki cara berpikir yang telah membiasakan diri mereka dalam lingkungan akademis seperti melakukan peer review, panel, budaya yang disiplin, deliberasi, melaksakan kerja lintas ilmu (interdisipliner), menghargai keberagaman, dan sebagainya, dan sejenisnya. Lamont menjelaskan bahwa keunggulan akademis dari profesor dihasilkan dan didefinisikan dalam banyak hal dan oleh berbagai aktor. Hal tersebut mungkin terlihat berbeda jika diamati melalui lensa peer review editorial, buku yang dibaca generasi siswa, artikel terkini yang diterbitkan oleh jurnal terkemuka, pemilihan di akademi nasional, atau penunjukan di lembaga elit. Untuk menjadi profesor di universitas di Amerika juga memiliki program yang rumit proses perekrutan, promosi, dan memungkinkan terjadinya pemecatan.

 

Mencurigai Yang Merasa Pintar

Saya suka dengan istilah “mencurigai” terutama ketika melihat profesor, de facto, bisa terjebak pada: (1) administrator-fungsional; (2) oportunis pendukung penguasa; (3) bertengger di atas angin; (3) mode intelektual palsu. Kecurigaan itu tentu bukan sekedar asumsi belaka. Keempat fakta di atas memang menjauhkan harapan civitas akademik dan warga untuk menempatkan bahwa mereka yang dibekali pikiran, rasa, dan tindakan semestinya bisa menjadikan sesuatu yang bernilai, dan bermartabat.

Jebakan pertama, profesor menjadi administrator-fungsional. Situasi ini didasarkan pada ambisi untuk menapaki tangga menuju jabatan fungsional tertinggi (profesor) dengan mengurus sederet syarat administrasi. Segala hal yang masuk akal dan tidak masuk akal diupayakan demi mendapatnya. Artikel penelitian di jurnal internasional bereputasi menjadi ambisi gelap mata, bagi yang ingin cepat menjadi profesor. Pendekatan “tak tahu malu” ke Pimpinan dan Senat Akademik, komunikasi dengan “puja-puji palsu” bagi reviewer, lobi banyak jam mengajar “yang tak wajar dan kurang ajar”, dan akhirnya terjebak dalam industri gelap penerbitan: paper mills. Semua demi frase ekspektasi: “profesor menghasilkan honor besar”.  

Kecurigaan saya bekerja dengan memberi tiga pertanyaan yaitu: di mana letak kepintaran bila jabatan profesor yang diraihnya dengan deretan ambisi dan praksis palsu tersebut? Lantas, bagaimana cara berpikir profesor administrator-fungsional yang keahliannya justru didapat dari kerja makelar manufaktur (syarat-syarat untuk Tri Darma dibuatkan oleh bantuan pihak ketiga)? Apakah manusia dengan pikiran teknis seperti itu layak menjadi profesor? Ketiga pertanyaan ini sifatnya retoris, yang menjadi diskursus etis praktis. Yang terakhir ditulis, saya harapkan bahwa para profesor bisa membawa perubahan gagasan menjadi tindakan etis dan signifikan bagi universitas, masyarakat, dan negara.

Jebakan kedua, ketercapaian ekspektasi dengan menjadi profesor yaitu memiliki akses pada penguasa politik. Hal ini dikarenakan gelar profesor, sebagaimana yang ditulis Pierre Bourdieu (1990), bertaut dengan modalitas atau kapital simbolik yang berupa pengakuan sosial secara institusional. Sebagian yang bergelar profesor “nekat” memasuki rimba politik tanpa modal keteguhan moral. Imbasnya, figur “serigala berbulu domba” menempel pada diri agar kapital simbolik ditambah tiga kapital lainnya (ekonomi, budaya, dan sosial) bisa bergabung penuh, dan melengkapi profesor sekedar menjadi oportunis pendukung penguasa.

Jebakan ketiga, profesor secara akademik hanya “bertengger di atas angin”. Gagasan-gagasan hanya disampaikan sebagai orasi dan kurang bisa menjawab persoalan-persoalan sosial aktual. Bertengger di atas angin, menandakan adanya kenyamanan bagi para profesor, mengambil posisi status quo, dan yang penting hidup terpenuhi dengan sekedar mengajar dan belajar. Situasi nyaman tersebut, bagi sebagian profesor tidak berlaku, karena ada dorongan untuk bertindak oleh karena adanya problem moral kebangsaan yang mencederai pikiran, hati nurani mereka. Implikasinya, para profesor menyerukan “pentingnya moral” saat otoritas kekuasaan lepas kendali.

Jebakan keempat, penyandang gelar profesor memahami bahwa yang penting adalah mengajarkan apa yang telah dipahami dari beragam sumber bacaan, dan kelihatan pintar. Situasi tersebut kerap dimengerti sebagai mode intelektual palsu, yang menjadi sekedar gaya-gayaan. Profesor sebagai pikiran epistemik dan actus mengerdil, yang sekedar estetik samar dalam rupa tampilan toga kebesaran dalam upacara-upacara akademik (wisuda, penganugerahan gelar kehormatan, dan pengukuhan Guru Besar).

Bila keempat jebakan tersebut mendominasi universitas, maka sulit dibayangkan Indonesia bisa menjadi maju secara kualitatif baik dalam riset-riset akademik. Insan-insan akademis atau homo academicus diminta untuk memiliki kejujuran akademik (academic honesty) dengan tidak berambisi durjana dengan “melakukan jalan pintas menuju ke profesor”. Setelah menjadi profesor, lalu malas atau jarang  terlibat dalam beragam diskursus sosial-kebangsaan.  

 

Menyambung Titik-titik Keilmuan

Lantas, benarkah profesor itu pintar? Jawaban dari pertanyaan ini, bagi saya, dan tidak tunggal. Profesor itu pintar, oleh karena ada syarat bahwa kepintaran seorang subyek dalam jabatan profesor dijangkarkan dalam satu titik spesialis dari semesta keilmuan. Artinya, seorang profesor bisa jadi adalah seorang pintar dalam titik keilmuannya. Tentu, dalam posisi tersebut, “profesor menjadi tidak pintar”, oleh karena ia jangan merasa jumawa, melakukan academic misconduct (kecurangan akademik), dan merasa tahu segalanya.

Kepintaran yang saya maksud, lebih pada bilamana seseorang bisa melakukan “connecting the dots” (menyambung-hubungkan titik-titik) keilmuan spesialis untuk menjadi pola, desain, atau bahkan gambar yang indah. Kepintaran yang menggusur keraguan bisa jadi dilakukan dengan adanya peristiwa: bertemunya banyak subjek (the others) dengan beragam gagasan dan berbagai latar keilmuan, terwujudnya academik honesty, memiliki kerendahan hati untuk saling mendengar penjelasan dalam ruang diskursus, adanya penemuan-penemuan baru,  dan terjadinya praksis etika sosial untuk membangun bangsa lebih baik. Bila titik-titik itu menyambung satu sama lain dan terjadi secara repetitif, maka kemungkinan kepintaran ada pada mereka yang menyandang gelar profesor.

 

Andri Fransiskus Gultom adalah Pendiri Institut Filsafat Pancasila.

Editor: Wadji