Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie: Guru yang Memperjumpakan Kebhinnekaan

Ada banyak bukti jejak keulamaan dan ketokohan Guru Tua—begitu semua murid dan para murid dari murid-muridnya menyapa Allah yarham Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie (selanjutnya saya sebut Guru Tua)—

Aug 1, 2023 - 15:05
Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie: Guru yang Memperjumpakan Kebhinnekaan

Oleh : Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra] 

        

Ada banyak bukti jejak keulamaan dan ketokohan Guru Tua—begitu semua murid dan para murid dari murid-muridnya menyapa Allah yarham Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie (selanjutnya saya sebut Guru Tua)—dalam memperjumpakan pribadi, komunitas, dan warga masyarakat ke dalam satu ruang bersama yang bernama Indonesia, sepanjang perjuangannya dalam mencerdaskan warga.

Kita mulai dari bukti historis tentang murid pertamanya Guru Tua, memang jumlahnya tak banyak hanya kisaran 17 orang saja. Mereka  berasal dari daerah-daerah seputaran Sulawesi Tengah. Guru Tua menyebut para anak didiknya  ini sebagai bākûratul khairāt ‘generasi mula-mula Alkhairaat.’ 

Para murid mula-mula ini memang berasal dari daerah yang secara kultural relatif sama dan hanya ada satu atau dua berasal dari luar Sulawesi Tengah. Dalam mendidik muridnya Guru Tua berhasil menanamkan semangat berjuang dalam menyiarkan Kebaikan (dengan K kapital). 

Selain itu mereka juga dididik menjadi guru yang  berani dan ikhlas untuk  pergi ke pelosok kampung di sejumlah wilayah Sulawesi. Sehingga kemudian para murid berikutnya terus bertambah, sehingga semakin luaslah bersebar dan bertebar ‘anak panah’ Alkhairaat itu ke berbagai pelosok kampung di luar Sulawesi Tengah, ke Sulawesi Utara, Maluku (Utara), Kalimantan, dan sejumlah wilayah lainnya.

Menariknya,dari jejak sejarah pengembangan Alkhairaat, Guru Tua mengirim murid-muridnya ke pelosok kampung tanpa “gaji.” Mungkin cuma sekadar uang saku hingga sampai di tujuan mengajar. Para murid mula-mula dan murid-murid generasi sesudahnya pergi ke daerah-daerah yang tidak hanya baru tetapi juga mungkin masih asing bagi mereka.

Guru Tua tidak saja menyiarkan Islam, tetapi juga telah menciptakan satu ruang mutlibudaya dalam model belajar halaqah. Para murid yang berasal dari kampung yang berbeda, dari teritori tradisional yang berbeda, berjumpa, berinteraksi, dan kemudian menjadi saudara dalam rumah besar yang bernama Alkhairaat. 

Para murid yang sebelumnya berasal dari berbagai kampung dengan interaksi sosial yang relatif terbatas, berjumpa dalam ruang belajar bersama. Dari ruang pengalaman itu, para murid tidak saja mendapatkan pengetahuan dan keterampilan mengajar, tetapi juga mengenal orang lain yang berasal dari latar budaya yang berbeda.

Setelah menjadi pandai dan dianggap sudah cukup cakap mengajar oleh Guru Tua, para murid mula-mula dan murid-murid generasi berikutnya ini kemudian dikirim ke berbagai kampung—bahkan ke kampung terjauh untuk ukuran saat itu—untuk mengajar. Mereka tidak diantar dengan gaji, tetapi dengan keberanian dan keikhlasan.

 Para guru ini bisa dibilang tak punya saudara seorang pun di kampung tempat mereka dikirim. Tetapi dari waktu ke waktu para guru ini telah berhasil memperkenalkan Alkhairaat ke banyak kampung di bagian timur Indonesia. Dari para guru mula-mula yang disebut sebagai bākûratul khairāt kemudian disusul oleh para guru generasi berikut, dalam kurun beberapa dekade, lahirlah generasi abnāul khairāat ‘anak-cucu’ Alkhairaat.

Di kemudian hari, dalam konteks keindonesiaan itulah cikal bakal tumbuhnya perkacapan-percakapan lintas warga yang berbeda genealogi, yang sebelumnya tak pernah saling jumpa. Ini tampaknya sesuatu yang biasa-biasa saja, tetapi bila kita letakkan ke dalam suatu masyarakat yang majemuk tetapi hidup berpisahan dan jarang berjumpa, perginya para guru ke pelosok-pelosok kampung, dikenal dan mengenal, adalah salah satu cara paling bermakna dalam memperkenalkan kebinekaan Indonesia. 

Dengan model pendidikan halaqah dengan para murid mula-mula sebagai bākûratul khairāt dan para guru generasi sesudahnya yang kemudian menganak-pinakkan abnaul khairaat di berbagai pelosok kampung adalah cara Guru Tua memperjumpakan orang-orang yang berbeda latar genealogi dan berbeda latar budaya.

Lini masa perjumpaan antara sesama guru di Palu kemudian perjumpaan para guru dengan para murid di berbagai pelosok kampung memberi pemahaman dan kesaaran baru tentang kebinekaan Indonesia. Di tangan Guru Tua dan dalam tradisi belajar Alkhairaat, perjumpaan lintas budaya antar warga Indonesia menjadi lebih mungkin dan luas cakupan wilayahnya pada masa-masa sulit ekonomi, sulit komunikasi dan transportasi. Etos, semangat, dan elan perjuangan Guru Tua yang melahirkan abnaul khairaat dari berbagai pelosok kampung dan kini mengalami mobilitas vertikal dalam beragam peran dalam pembangunan Indonesia, adalah satu bukti otentik ketokohan beliau dalam merekatkan keindonesiaan*

Penulis adalah Profesor Antropolinguistik Universitas Khairun Abnaul Khairaat    Ternate.