Saling Serang Menkeu Sri Mulyani dengan Menperin di Kasus PHK Massal Pabrik Tekstil

Menurut Sri Mulyani, terpuruknya industri tekstil dalam negeri disebabkan kelebihan kapasitas serta praktik politik dumping negara lain. Alhasil barang-barang impor dengan harga murah membanjiri pasar dalam negeri.

Jun 22, 2024 - 08:16
Saling Serang Menkeu Sri Mulyani dengan Menperin di Kasus PHK Massal Pabrik Tekstil

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dan Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta kompak mengkritik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kritik dari keduanya itu dilontarkan terkait pernyataan Sri Mulyani soal penyebab PHK di industri tekstil.

Pernyataan tersebut disampaikan saat Sri Mulyani rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Dalam rapat tersebut Sri Mulyani merespons pernyataan Anggota Komite IV DPD perwakilan Jawa Tengah Casytha Kathmandu soal maraknya penutupan pabrik tekstil yang memicu PHK.

Menurut Sri Mulyani, terpuruknya industri tekstil dalam negeri disebabkan kelebihan kapasitas serta praktik politik dumping negara lain. Alhasil barang-barang impor dengan harga murah membanjiri pasar dalam negeri.

"Karena di dunia terjadi excess (kelebihan) kapasitas, terjadi banyak sekali dumping dan kita juga harus hati-hati terhadap kebutuhan kita melindungi ekonomi kita di dalam negeri," ujar Sri Mulyani dalam rapat yang diselenggarakan pada Selasa (11/6/2024).

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang sepakat dumping menyebabkan industri tekstil dalam negeri terpuruk, serta mengapresiasi kebijakan Kementerian Keuangan selama ini mendukung industri tekstil dan produk tekstil (TPT)

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian juga berupaya melindungi industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius akibat lonjakan produk impor menggunakan instrumen trade remedies, melalui Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD)

"Keberhasilan upaya tersebut harus dilakukan secara komprehensif, tidak cukup oleh Kementerian Perindustrian sendiri karena kewenangannya tidak hanya di Kementerian Perindustrian saja," tegas Menperin.

Namun terdapat BMTP Kain yang masa berlakunya telah berakhir pada 8 November 2022 dan hingga saat ini belum terbit perpanjangannya. Meski perpanjangan BMTP Kain telah disetujui, namun hingga saat ini belum terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi dasar pelaksanaannya.

Menurut Agus di sinilah inkonsistensi pernyataan Sri Mulyani. Di satu sisi Sri Mulyani menyalahkan praktik dumping yang dilakukan negara produsen TPT. Di sisi lain, Sri Mulyani tak kunjung kunjung membuat kebijakan untuk pengamanan pasar TPT di dalam negeri.

Menperin menilai inkonsistensi inilah restriksi perdagangan inilah penyebab meningkatnya PHK di sektor tekstil, termasuk kebijakan menghapus larangan dan pembatasan (lartas) bagi produk TPT hilir berupa pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi.

"Padahal, pemberlakuan lartas melalui pemberian Pertimbangan Teknis untuk impor merupakan salah satu langkah strategis untuk mengendalikan masuknya produk-produk yang merupakan pesaing dari produk-produk dalam negeri di pasar domestik, mengingat kebijakan-kebijakan pengendalian terhadap impor produk hilir tersebut lamban ditetapkan oleh kementerian terkait, terutama Kementerian Keuangan," terang Agus Gumiwang.

Pengalihan Isu

Sementara Redma Gita Wirawasta menilai pernyataan Sri Mulyani hanya upaya pengalihan isu dan untuk menutupi kegagalannya dalam membersihkan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Kalangan pertekstilan nasional menuding kinerja buruk dari DitJen Bea Cukai adalah salah satu penyebab utama badai PHK dan penutupan sejumlah perusahaan dalam 2 tahun terakhir.

"Kita bisa lihat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau di pelabuhan" jelas Redma dalam keterangannya, dikutip Jumat (21/6/2024).

Menurut Redma, dari data trade map ada gap impor yang tidak tercatat dari China terus meningkat US$ 2,7 miliar di tahun 2021 menjadi US$ 2,9 miliar di tahun 2022. Jumlahnya diperkirakan mencapai US$ 4 miliar di tahun 2023.

Ia lantas menuding tindakan oleh Bea Cukai bersama para relasi mafia impornya membuat penumpukan kontainer di pelabuhan, hingga memaksa pemerintah melakukan relaksasi impor melalui Permendag 8 2024.(han)