Semangat Peningkatan Mutu Pendidikan Tinggi dalam Permendikbudristek No 53 tahun 2023

Oleh: Prof. Daniel Ginting

Jun 27, 2024 - 14:55
Semangat Peningkatan Mutu Pendidikan Tinggi dalam Permendikbudristek No 53 tahun 2023

Sejak dikeluarkannya Permendibudristek No 53/2023, Pendidikan tinggi di Indonesia diajak untuk segera melakukan aksi perubahan sistem penjaminan mutu. Beberapa peraturan terdahulu dinyatakan tidak lagi berlaku setelah kemunculan peraturan baru ini: Peraturan  Menteri  Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 62 Tahun 2016 tentang  Sistem  Penjaminan  Mutu  Pendidikan  Tinggi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun  2020  tentang  Akreditasi  Program  Studi  dan Perguruan  Tinggi,  dan Peraturan  Menteri  Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 56 Tahun 2022 tentang Standar  Pendidikan  Guru.

 

Pada Permendibudristek No 53/2023, beberapa hal yang diatur termasuk Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti, Pasal 4-63, SPMI dan SPME (Akreditasi) (Pasal 65-98). SN Dikti merupakan satuan kriteria minimum yang harus dipenuhi oleh pendidikan tinggi seperti standar nasional pendidikan, standar penelitian dan standar pengabdian kepada Masyarakat. Lebih lanjut, standar pendidikan nasional pendidikan terdiri atas standar luaran yang kemudian disebut standar kompetensi lulusan, standar proses, dan standar masukan. Standar proses pendidikan terdiri dari standar proses pembelajaran, standar penilaian, dan standar pengelolaan; standar masukan pendidikan meliputi standar isi, standar dosen dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, dan standar pembiayaan.

 

Pergururuan tinggi melalui SPMI-nya didorong untuk memiliki semangat peningkatan mutu secara terencana dan berkelanjutan: tidak saja mampu memenuhi namun juga melampaui standar nasional pendidikan tinggi (SN Dikti). Pelampauan dengan demikian berarti pendidikan tinggi ditantang untuk meningkatkan standar mutunya setidaknya setara dengan mutu pendidikan tinggi di luar negeri. Diharapkan pendidikan tinggi di Indonesia mampu bersaing secara global dengan pendidikan tinggi di luar negeri.

 

Oleh karena itulah, pendidikan tinggi harus menaikkan standar penjaminan mutunya dengan mulai membiasakan dengan standar penjaminan mutu pendidikan tinggi yang lebih tinggi, misalnya standar-standar yang dijadikan kriteria penilaian oleh lembaga akreditasi internasional. Permendikbud 53/2023 menegaskan bahwa program studi yang memiliki status terakreditasi oleh lembaga akreditasi internasional dianggap: memiliki status terakreditasi secara internasional; dan memenuhi persyaratan akreditasi. Program studi tersebut tidak perlu diakreditasi ulang oleh LAM selama status akreditasi dari lembaga internasional tersebut masih berlaku. Standar dari lembaga akreditasi internasional memang “demanding” dan untuk memenuhinya perlu kerja keras dan dukungan semua pihak pada sebuah pendidikan tinggi.

 

Sudah barang pasti pendidikan tinggi yang memiliki status terakreditasi secara internasional dengan demikian memiliki reputasi perguruan tinggi di kancah global. Status ini memperkuat citra institusi di mata pemangku kepentingan baik skala nasional maupun internasional. Program studi yang terakreditasi internasional lebih menarik bagi calon mahasiswa, terutama mereka yang mencari pendidikan dengan standar global. Selain itu, lulusan dari program studi ini umumnya lebih mudah diakui kredensialnya oleh institusi dan perusahaan di berbagai negara, yang dapat meningkatkan prospek kerja dan mobilitas karir mereka.

 

Namun demikian, pemilihan lembaga akreditasi internasional harus disiasati dengan hati-hati. Ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi lembaga akreditasi internasional tersebut sebelum layak dipilih. Lembaga akreditasi internasional harus diakui melalui kesepakatan internasional atau melakukan akreditasi lintas negara dengan standar internasional. Pengakuan oleh menteri diberikan setelah lembaga tersebut memenuhi persyaratan dan kriteria yang telah ditetapkan oleh menteri. Selain itu, BAN-PT dapat mengajukan lembaga akreditasi internasional yang sudah memenuhi persyaratan dan kriteria tersebut agar diakui oleh menteri.

 

Isu lain yang menarik perhatian saya adalah tentang standar luaran yang selanjutnya disebut capaian pembelajaran lulusan (CPL). Dalam hal ini, ada nuansa penerapan pendekatan outcome-based education curriculum (OBE) sangat kuat pada penyiapan kurikulum Program Studi (PS). Dalam aturan baru ini, CPL diartikan sebagai kriteria minimal mengenai “kesatuan kompetensi” sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang menunjukkan capaian mahasiswa dari hasil pembelajarannya pada akhir program pendidikan tinggi.

 

Dengan demikian, CPL-CPL yang telah ditentukan oleh UPPS (Unit Pengelola Program Studi) harus bisa diakomodasi oleh bahan kajian dari mata kuliah-mata kuliah yang sesuai dengan kedalaman (depth) dan keluasannya (coverage) keilmuannya. Mata-mata kuliah pada PS dengan sendirinya mencakup membangun sikap, keterampilan dan pengetahuan kepada mahasiswa sebagaimana CPL itu pada dasarnya adalah satu kesatuan dari tiga unsur kompetensi.

 

Selanjutnya, keselarasan CPL juga harus dijamin dengan memperhatikan visi dan misi perguruan tinggi; kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI); perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; kebutuhan kompetensi kerja dari dunia kerja; ranah keilmuan program studi; kompetensi utama lulusan program studi; dan kurikulum program studi sejenis. UPPS memiliki tanggung jawab dalam merumuskan CPL tentunya setelah mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan baik dari dunia usaha, dunia industri dan dunia kerja. Kenyataannya, akreditasi lembaga internasional sangat peka dengan CPL ini dalam memberikan penilaiannya.

 

Terkait sistem penjaminan mutu eksternal (SPME), proses akreditasi akan dijalankan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). Proses ini melibatkan mekanisme asesmen oleh asesor yang ditugaskan oleh BAN-PT atau LAM, mencakup penilaian atas dokumen usulan akreditasi, data dan informasi dari PD Dikti, serta hasil asesmen lapangan untuk validasi fisik. Luaran akreditasi mencakup status terakreditasi atau tidak terakreditasi untuk perguruan tinggi oleh BAN-PT, serta status terakreditasi, terakreditasi unggul, atau tidak terakreditasi untuk program studi oleh LAM. Status terakreditasi menunjukkan bahwa perguruan tinggi atau program studi tersebut memenuhi atau melampaui SN Dikti.

 

Selanjutnya, kementerian menanggung biaya LAM untuk melakukan akreditasi bagi program studi baru dan akreditasi ulang bagi program studi dengan status akreditasi sementara, sesuai dengan standar biaya yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sementara itu, LAM menentukan biaya untuk akreditasi ulang bagi program studi yang mengajukan status akreditasi unggul atau yang diduga mengalami penurunan mutu.

 

Terdapat mekanisme akreditasi otomatis, yaitu perpanjangan status akreditasi yang dilakukan tanpa asesor melalui pemantauan dan evaluasi mutu program studi dan perguruan tinggi berdasarkan data dan informasi pada PD Dikti. Status akreditasi melalui mekanisme otomatis ini diberikan untuk masa berlaku selama 5 tahun untuk program studi dan 8 tahun untuk perguruan tinggi. Program studi dengan status terakreditasi atau  terakreditasi sementara dapat mengajukan Akreditasi ulang kepada LAM untuk mendapatkan status terakreditasi unggul. Status terakreditasi unggul diberikan untuk masa berlaku yang ditetapkan oleh LAM. Selain itu, akreditasi ulang dapat dijalankan bila terdapat dugaan penurunan mutu pada perguruan tinggi atau program studi dengan status terakreditasi sehingga perguruan tinggi atau program studi tidak lagi memenuhi SN Dikti, BAN-PT atau LAM.

 

Perguruan tinggi yang memiliki sumber daya terbatas sering kali menghadapi kesulitan dalam mencapai status akreditasi tertinggi. Keterbatasan ini dapat berupa anggaran yang minim, yang menghambat pengembangan fasilitas, teknologi, dan sumber daya pendidikan yang memadai. Selain itu, kekurangan dalam infrastruktur seperti laboratorium, perpustakaan, dan ruang belajar juga dapat menghambat kualitas pendidikan dan penelitian. Ketidakcukupan dana untuk mendukung proyek-proyek penelitian atau untuk meningkatkan kesejahteraan dosen dan staf juga merupakan hambatan besar. Oleh karena itu, perguruan tinggi dengan sumber daya yang terbatas mungkin kesulitan untuk memenuhi standar tinggi yang diperlukan untuk mendapatkan akreditasi tertinggi.

 

Selain itu, manajemen dan tata kelola yang efektif adalah kunci untuk mencapai dan mempertahankan status akreditasi tertinggi. Perguruan tinggi yang memiliki kelemahan dalam sistem penjaminan mutu internal sering kali gagal memenuhi standar akreditasi yang ketat. Manajemen yang tidak inovatif atau tidak efektif dapat menghambat pengembangan program akademik, penelitian, dan layanan kepada mahasiswa. Kepemimpinan yang kurang kompeten atau tidak responsif terhadap perubahan juga dapat mengurangi kemampuan institusi untuk beradaptasi dengan standar baru dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Tanpa tata kelola yang baik dan sistem manajemen yang efektif, perguruan tinggi akan sulit untuk mencapai tingkat akreditasi yang diinginkan.

 

Berikut adalah dukungan eksternal, terutama dari pemerintah dan industri, memainkan peran penting dalam pencapaian akreditasi tertinggi bagi perguruan tinggi. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung atau tidak konsisten dapat menjadi penghalang besar. Misalnya, kurangnya pendanaan atau bantuan teknis dari pemerintah dapat memperlambat proses peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, hubungan yang lemah dengan industri dan dunia kerja dapat mengurangi relevansi kurikulum serta peluang magang atau kerja bagi mahasiswa. Kolaborasi yang kuat dengan industri dan pemangku kepentingan lainnya dapat membantu perguruan tinggi memenuhi standar akreditasi melalui penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja dan inovasi penelitian yang relevan.

 

Terakhir adalah kesiapan dan kemampuan perguruan tinggi dalam memahami serta mengimplementasikan standar internasional juga menjadi faktor penentu dalam mencapai akreditasi tertinggi. Perguruan tinggi yang mengalami kesulitan dalam memahami persyaratan dan standar akreditasi internasional mungkin akan kesulitan dalam memenuhi kriteria tersebut. Selain itu, budaya akademik yang tidak mendukung inovasi, penelitian, dan pembelajaran berstandar tinggi dapat mempengaruhi performa institusi secara keseluruhan. Adaptasi terhadap standar internasional memerlukan perubahan paradigma dalam pendekatan pendidikan, penelitian, dan tata kelola, serta komitmen dari seluruh sivitas akademika untuk terus meningkatkan kualitas secara berkelanjutan.

 

Dalam menghadapi tantangan yang ditetapkan oleh Permendibudristek No 53/2023, perguruan tinggi di Indonesia dituntut untuk melakukan perubahan signifikan dalam sistem penjaminan mutu mereka. Upaya untuk mencapai dan melampaui standar nasional serta internasional memerlukan kerja keras, inovasi, dan dukungan dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat. Hanya dengan komitmen penuh terhadap peningkatan kualitas secara berkelanjutan, perguruan tinggi Indonesia dapat bersaing di kancah global dan memberikan pendidikan yang bermutu tinggi kepada mahasiswa. (****)

 

Prof. Daniel Ginting adalah guru besar Sastra Inggris Universitas Ma Chung.

Editor: Wadji