Pertemuan

Oleh: Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi

Jun 28, 2024 - 10:25
Pertemuan

Tidak hentinya saya mengagumi segala sesuatu yang saya temui; rumput, perdu, semak, kopi, jambu batu, dan pepohonan besar yang kokoh menjulang berhias tanaman menjalar dan tanaman paku di kulit tuanya. Pun langit biru dengan awan putihnya yang terlihat diam meskipun mereka bergerak, bukit-bukit kecil ramping menjulang dengan lembah curamnya, kelokan sungai yang timbul tenggelam dari sapuan tatapan mata tapi gemuruh suara arus terdengar tanpa putus.

 

Penduduk lokal yang beraktivitas tidak luput dari perhatian saya. Yang menarik dicatat adalah effort mereka saat ada pemotor lewat. Dari gerak geriknya, mereka menyempatkan diri menoleh dengan ekspresi ‘hello’ sambil siap dengan sunggingan dan anggukan kecil. Heeiii …. Momen yang indah, saya membatin, merespon senyum dan anggukan kecil dan klakson. Mereka teriak ‘ngggiihhh’. Keramahan mereka itu tiada duanya, membuat saya nyaman senyaman-nyamannya di wilayah mereka. Bahasa tubuh yang full hospitality. Aha, ini kebiasaaan ketika kita mendatangi sebuah desa terpencil. Sapa siapapun! Monggo .. senyum dan salut dengan anggukan kecil. Adab yang akan saya beritahukan pada anak-anak saya dan mahasiswa saya.

 

Hospitality ini konkrit saya alami keltika saya diajak mampir ke warung. Warung itu persis terletak di sebelah patok batas wilayah Madiun-Ponorogo. Warung kayu, kecil, sangat sederhana, dan banner ‘Warung Mak Tum”. Dua ikat durian teronggok di ‘etalase’ dan menarik minat suami saya untuk andhok (mampir menikmati) barang sebentar.

 

Setelah pesan ‘anget-anget’, secangkir kopi dan mie gelas, kami berkenalan dengan Mak Tum dan suaminya, dilanjutkan dengan cerita riwayat keberadaan warung. Senda gurau dan kepo a la penduduk desa tentang kami, pelanggan barunya, gayeng bener! Terasa lepas, bebas dari atribut, warga biasa tanpa embel-embel dosen supaya tidak ‘menjarak’.

 

Posisi tidak saling tau siapa masing-masing dari kami yang ada di warung itu ‘jebol’ saat ada pelanggan baru mendekati warung karena ingin bertanya arah. Percakapan di luar pintu warung terjadi beberapa menit dan kami menyilakan masuk warung untuk melanjutkan percakapan. Tidak etis membiarkan tamu berada di luar dalam kondisi berdiri sementara permbicaraan tidak selesai dalam waktu singkat.

 

Dari bentuk tubuhnya dan motor yang dipakai, kami yakin beliau adalah prajurit TNI dari Yonif Para Raider 501 Bajra Yudha. Setengah memaksa kami berhasil menyilakan duduk si bapak tentara. Tradisi pertemuan dengan orang baru berjalan dengan menelusur siapa dia dan untuk apa dia di hutan itu. Pola yang sama yang menimpa kami saat pertama masuk warung tadi. Gayeng lagi!

 

Ternyata bapak tentara ini adalah pelatih, terlihat dari tulisan yang tertera pada kaos di bagian punggungnya. Meskipun posisi pelatih, bapak tentara ini masih sangat muda, berumur 23 tahun, seorang siswa berprestasi yang mendaftarkan diri menjadi tentara saat lepas SMA di sebuah kota di Kalimantan. Latihannya berat dan sudah memiliki pengalaman dikirim ke berbagai tempat di Indonesia. Terakhir sebelum di Madiun, bapak tentara berdinas di Blitar, Jawa Timur. Cerita pengalaman seru seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia selalu heroik. Asyik!

 

Pertanyaan terlontar dari saya apakah beliau pernah berkunjung ke Markas Komando Divisi Infanteri 2/KOSTRAD di Singosari Malang, sebab Blitar dan Malang bertetangga dekat. Pertanyaan berikutnya, apakah beliau pernah masuk ke gedung pertemuannya dan apakah beliau mengenal nama gedung tersebut. Iiiihhh … kenapa saya bernafsu dengan memberondong pertanyaan bertubi? Belakangan baru menyadarinya dan saya merasa malu. Hehehe …

 

Gedung itu bernama Sandojo (baca: Sandoyo). Adrenalin saya meninggi, kepo apakah bapak tentara ini punya pengetahuan tentang siapa sosok Sandojo. Aarrgghh … ternyata beliau menjawab tidak paham. Saya tersenyum (agak kecewa) dan saya bilang, “Kalau mau tau siapa Sandojo, tanya sama dia. Bapak ini adalah anak pertama Sandojo, Anumerta Serma Sandojo.” Saya menunjuk bapak-bapak setengah baya yang duduk di seberang bangku.

 

Suasana mandeg beberapa detik. Bapak tentara memandangi saya dan bapak setengah baya bergantian, terlihat sorot matanya bingung mencerna kata-kata saya. Si bapak setengah baya tersenyum dipaksakan, setengah menghardik saya setengah terharu. “Iya, benar, bapak ini putra pertama Sandojo, nama gedung itu”, saya mengulangi dan meyakinkan bapak tentara. Bahwa bapak setengah baya yang sederhana ini adalah putra veteran Seroja, sebuah nama operasi pembasmi pemberontakan Fretilin di Timor Timur tahun 1975.  

 

Terlihat bapak tentara seperti ‘connected’ dengan bapak setengah baya itu. Berikutnya, mengalirlah rangkaian pertanyaan dan jawaban yang cukup panjang tentang ‘sejarah’ Seroja dan Sandojo. Memori yang masih tersisa tentang seorang bapak dan seorang anak tentara, maklumlah bapak setengah baya menjadi yatim di usianya yang ke 7 tahun.

 

Sandojo gugur karena berondongan peluru pemberontak saat meluncur turun dari payung, konon cerita yang beredar seperti itu. Sekarang namanya diabadikan menjadi nama gedung dan nama jalan di Singosari. “Patungnya gede, Pak, depan gedung”, kata bapak tentara. Bapak setengah baya mengangguk dan mengernyit sedikit. Bagaimana bisa sosok fisiknya diilustrasikan dalam patung kalau foto saja tidak satupun ditemukan dalam arsip dokumen?! Ah, pasti imajinasi si seniman, bapak setengah baya melogika.

 

Kepulangan bapak tentara membawa kesan mendalam dan beliau menyimpan nomor kontak si putra sulung Sandojo. “Suatu saat boleh main, Pak?” tanyanya sembari memberi hormat dan jabat tangan eratnya mohon diri. “Silakan, Mas, pintu rumah kami terbuka. Bapak komandan setiap tahun juga rutin menengok kami.”

 

“Sepertinya memang pertemuan ini harus terjadi di sini, ya, Ma’am?” tiba-tiba teman serombongan menyela setelah peristiwa pamitan bapak tentara tadi. Ya, dia memanggil saya dengan sebutan Ma’am karena dia eks mahasiswa yang sekarang menjadi “anak lanang” saya. “Saya ini juga keluarga pahlawan. Saya cicit W.R. Soepratman”, katanya memberitahu. “Pencipta Indonesia Raya?” tanya bapak setengah baya menegaskan keraguannya. Dan, kembali lagi pola bermemori dengan silsilah terjadi. Gayeng lagi!

 

Sama juga dengan Mak Tum yang sedari tadi cuma bilang satu jenis reaksi “Ya, Awoh” (maksudnya, Ya Allah) dengan takjub tentang keberadaan asal usul tamu di warungnya siang itu. Ada prajurit pelatih tentara. Sosok pemuda itu mewakafkan jiwa raganya untuk menumpas OPM di Papua. Ada bapak setengah umur. Sosok sederhana ini adalah putra sulung panglima perang sekaligus sniper handal Batalyon Infanteri 501 Kostrad dengan puluhan penghargaan.

 

Ada Mas alumni yang tampil bersahaja dengan rambut gondrongnya berwarna walnut. Pemuda ini baru saja membuka jati diri leluhurnya yang menjadi rahasia tersembunyinya selama ini. Bahwa free willnya, kemampuan bermusik dan bersastra, dan kegelisahan terhadap lingkungannya berasal dari darah pejuang sekaligus ‘orang penting’ masa perjuangan Indonesia yang mengalir dalam dirinya.

 

Saya pikir Mak Tum tidak menyadari kalau dirinya dan sejarah berdirinya warung tengah hutan ini adalah pahlawan juga. Mak Tum dan ibunya merintis mendirikan warung itu sendiri. Benar-benar sendiri sejak zaman Soekarno. Benar-benar sendiri karena tidak satu pun tetangga di tempat itu.

 

Sampai sekarang. Mak Tum dan ibunya belajar dari pengalaman menjadi orang kecil yang harus bertahan hidup. Sebagai penduduk pelosok, mereka harus menempuh perjalanan ke pasar selama 2 hari jalan kaki menembus hutan, mencari jalan terdekat ke arah pasar.

 

Di perjalanan panjangnya itu, mereka butuh tempat istirahat sekedar meluruskan kaki, butuh makanan dan minuman mengisi tenaga untuk mencapai tujuan. Mereka melintas hutan tanpa penerangan demi sampai di pasar pagi hari, lalu harus balik melintas hutan tanpa lampu kembali menuju rumah. Jika dibutuhkan, mereka mesti menginap di tengah jalan d imana pun tempat.

 

Maka, warung itu didedikasikan untuk mereka para penduduk yang senasib dengan mereka. Menyediakan wedang, tempat hangat, dan makanan seadanya kepada mereka yang menjalani hidup melintas hutan. Para pedagang yang haus, ada sumber air di dekat warung yang siap minum.

 

 Para pengarit rumput dan peladang yang lelah, ada tempat mengaso barang sejenak di lincak depan warung. Para pelintas kemalaman, ada penerangan sebuah ublik, lampu minyak, teman istirahat melewati malam menunggu ufuk mengantar pagi. Mak Tum kini sudah ditinggal ibunya ‘pulang ke rumah’, tinggalah Mak Tum dengan suaminya yang semakin renta. Setia melakoni komitmen ‘menjadi teman’ pelintas hutan. Sampai sekarang.

 

“Besok kami kesini lagi, Mak Tum, mau beli madu hutannya,” kata saya setengah berteriak saat kami berpisah. Terdengar doa-doa panjang untuk kami, para pelanggan barunya. Kami bersahutan bilang amin … amin … amin … dan sudah amin keberapa kami lontarkan. Keramahan yang begitu hangat dan organik. Di warung tengah hutan perbatasan wilayah, ada sebuah pertemuan mewah. (****)

Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi adalah dosen Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas PGRI Madiun.

Editor: Wadji