Ketika 2 Raksasa Eropa Batal Investasi Smelter Nikel Rp42 T di RI, Apa Pelajaran yang Bisa Dipetik?

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan membeberkan keputusan BASF dan Eramet untuk membatalkan investasinya adalah keputusan bisnis yang diperoleh setelah melakukan berbagai evaluasi.

Jun 28, 2024 - 08:11
Ketika 2 Raksasa Eropa Batal Investasi Smelter Nikel Rp42 T di RI, Apa Pelajaran yang Bisa Dipetik?
Ilustrasi Smelter Nikel

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Dua perusahaan raksasa asal Eropa, BASF dan Eramet, rencananya bakal berinvestasi pada Proyek Sonic Bay di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.

BASF dan Eramet sudah mengantongi legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN) untuk menggarap proyek tersebut.

Namun keduanya tetiba membatalkan rencana investasi proyek pemurnian (smelter) nikel senilai US$2,4 miliar atau setara Rp42,66 triliun (asumsi kurs Rp15.408 per dolar AS).

Proyek ini merupakan pembangunan pabrik pemurnian nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP).

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan membeberkan keputusan BASF dan Eramet untuk membatalkan investasinya adalah keputusan bisnis yang diperoleh setelah melakukan berbagai evaluasi.

Ia mengklaim keputusan BASF dan Eramet tidak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor hilirisasi di Indonesia.

"Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini," ujar Nurul melalui keterangan resmi, Kamis (27/6).

Keputusan BASF dan Eramet untuk tidak meneruskan rencana investasi didasarkan pada pertimbangan akan perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan.

Hal ini khususnya pada pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik.

Ujungnya, BASF memutuskan tak ada lagi kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaraan listrik.

Seperti diketahui, BASF merupakan perusahaan kimia terbesar di dunia asal Jerman. Perusahaan ini tengah berekspansi ke seluruh dunia, terutama ke Asia. Pada 2002-2005, mereka menginvestasikan 5,6 miliar euro Eropa atau Rp98,30 triliun (asumsi kurs Rp17.554 per euro Eropa).

Sementara Eramet adalah perusahaan pertambangan dan metalurgi multinasional Prancis. Perusahaan itu memproduksi logam non-ferrous dan turunannya, nikel dan paduan superalloy, dan baja khusus berkinerja tinggi.

Lantas apa sebenarnya alasan dibalik hengkangnya kedua raksasa tersebut dari proyek smelter di Maluku Utara?

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat hengkangnya BASF dan Eramet mengindikasikan beberapa faktor. Menurutnya, hal ini harus jadi pelajaran penting bagi Indonesia.

Faktor pertama, dalam pernyataan BASF, perusahaan tidak lagi melihat urgensi membangun fasilitas pengolahan nikel.

Menurut Bhima, itu bisa jadi terkait dengan cadangan nikel Indonesia untuk bahan baku kendaraan listrik yang semakin terbatas.

Faktor lainnya, banyak alternatif bahan baku baterai kendaraan listrik selain nikel, seperti lithium ferro-phosphate (LFP).

"Ada lagi juga masalah soal ketidakpastian terkait dengan pen-supply bijih nikel nanti ke pabrik yang ada, sehingga mereka memilih untuk lebih membeli dari intermediary atau pun dari pihak ketiga. Nah ini tentu posisi yang menguntungkan China karena mereka akan membeli dari China alih-alih membangun pabrik di Indonesia," ujar Bhima, Kamis (27/6).

Kemudian, lanjutnya, indikasi lainnya juga terkait dengan aturan di negara-negara maju seperti Uni Eropa yang mengeluarkan due diligence di mana mereka akan melihat aliran rantai pasok.

Pasalnya, selama ini yang menjadi kelemahan nikel di Indonesia adalah traceability atau ketertelusurannya yang memang masih buruk.

Artinya, jelas Bhima, hal ini akan membuat pihak Uni Eropa kesulitan untuk melacak asal usul bijih nikel Indonesia karena masih kurangnya pendataan.

"Kemudian juga kekhawatiran ketika di-trace atau pun dilihat asal usulnya, ternyata juga tidak sesuai dengan standarisasi lingkungan, standarisasi keselamatan pekerja, maupun juga standarisasi terkait dengan dampak terhadap masyarakat adat, misalnya. Karena itu kan lokasinya di Maluku, Halmahera," tuturnya lebih lanjut.

Bhima menegaskan pemerintah harus memperbaiki seluruh tata kelola dari hilirisasi nikel. Hengkanya dua raksasa Eropa dari proyek hilirisasi nikel harus menjadi momentum yang krusial agar pemerintah bisa menghindari hal-hal seperti kecelakaan kerja, apalagi yang mengakibatkan kerugian dan jiwa atau meninggalnya para pekerja.

Pemerintah juga dinilai perlu fokus mengatasi smelter yang berdampak pada pencemaran udara. Pasalnya, banyak smelter yang masih menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, hingga pencemaran air. Bhima mengatakan faktor-faktor tersebut adalah masalah yang mengemuka dan menjadi pertimbangan investor.

"Karena kalau mau mengejar investor yang lebih berkualitas seperti BASF dan Eramet, ini kan perusahaan yang cukup punya kapasitas dan punya kredibilitas sehingga mereka harus menjaga brand image-nya dengan menaati aturan-aturan soal sustainability atau keberlanjutan," imbuhnya.

"Jadi Indonesia tidak bisa lagi menyepelekan masalah-masalah soal isu keberlanjutan jika ingin menarik investasi untuk pengelolaan hilirisasi yang lebih berkualitas," pungkas Bhima.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menggarisbawahi pernyataan BASF bahwa mereka melihat opsi supply untuk baterai listrik sudah berubah. Artinya, alternatif bahan baku baterai listrilk sudah lebih banyak, tak lagi hanya dari nikel.

"Sehingga mereka mengkalkulasi, kalau mereka meneruskan proyek di Weda Bey di Maluku Utara ini mungkin ongkosnya menjadi lebih besar. Investasi yang dilakukan lebih besar. Sementara ke depan keuntungannya mungkin tidak seperti yang diharapkan," jelas dia.

"Ini yang menjadi pertanyaan juga dalam hal sustainability (keberlanjjutan) dari investasi nikel untuk menjadi baterai listrik atau kendaraan listrik, karena ada disrupsi dalam hal teknologi dan bahan baku yang menyaingi nikel," sambung Faisal.

Menurutnya, hal ini sudah melanda BASF. Dengan kondisi ini, berarti ke depan mereka akan mempertimbangkan atau menghitung kembali rencana proyek smelter di Maluku Utara untuk mengantisipasi dari kondisi global terhadap kebijakan smelter nikel.

"Jadi perlu ada penyesuaian, pengkondisian. Bagaimana sebaiknya supaya kita tidak terlambat mengantisipasinya," imbuh Faisal.(han)