Menelisik Potensi Penyimpangan dan Alat Kepentingan Politik di Balik UU Desa

Panjang masa jabatan ini dan perubahan alokasi dana desa dinilai berpotensi menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Masyarakat pun perlu melakukan pengawasan ketat agar tak ada penyelewengan yang dilakukan kepala desa.

May 9, 2024 - 11:29
Menelisik Potensi Penyimpangan dan Alat Kepentingan Politik di Balik UU Desa

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Undang-undang (UU) Desa hasil revisi resmi diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam UU yang baru dengan nomor 3 tahun 2024 itu, masa jabatan kepala desa jadi delapan tahun dan bisa dipilih paling banyak untuk dua periode.

Selain itu, juga ada perubahan soal sumber-sumber pendapatan desa.

Jika sebelumnya alokasi dana desa minimal sebesar 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK), kinijadi paling sedikit 10 persen dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota dalam APBD.

Panjang masa jabatan ini dan perubahan alokasi dana desa dinilai berpotensi menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Masyarakat pun perlu melakukan pengawasan ketat agar tak ada penyelewengan yang dilakukan kepala desa.

"Kalau tidak terawasi oleh masyarakat dengan baik, ini bisa menimbulkan praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme," kata Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro saat diwawancara, Kamis (2/5).

Menurut Agung, selama ini KPK, BPK, hingga Kementerian Keuangan kerap menemukan kasus penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi atau hal lain yang tidak memiliki nilai urgensi.

Selain itu, lanjut dia, pengesahan UU Desa sarat kepentingan politik. Apalagi, UU Desa disahkan pada momen jelang Pilkada 2024.

Kepala desa punya basis massa yang kuat, sehingga sangat mungkin digunakan untuk kepentingan politik praktis.

"Saya melihatnya demikian ya, titik tekannya ke politik lebih kuat. Secara elektoral, suka atau tidak, masa jabatan kepala desa yang 16 tahun ini memang punya potensi untuk diarahkan kepada kepentingan politik praktis dalam konteks pemilu, sehingga memang akan menguntungkan kekuatan-kekuatan politik besar," ucapnya.

Bertalian dengan itu, Agung menilai UU Desa ini juga jadi balas budi politik Jokowi atas kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Di UU Desa yang baru, kepala desa bakal dapat uang pensiun, tunjangan jaminan sosial kesehatan, dan ketenagakerjaan

"Bisa dianggap balas budi penguasa terhadap para kepala karena sudah berhasil dalam tanda petik memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, bisa dibaca demikian juga," kata dia.

Terpisah, Pengamat Kebijakan Publik PH&H Public Policy Interest Group Agus Pambagio juga menyebut UU Desa disahkan demi kepentingan politik, bukan untuk kepentingan masyarakat desa.

Agus menilai pengesahan UU Desa merupakan bentuk balas budi atas terpilihnya pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.

"Patut diduga begitu (balas budi politik). Saya tidak bisa memastikan, karena tidak ada bukti, tetapi patut diduga begitu," kata dia.

Agus pun menyoroti masa jabatan kepala desa yang mencapai 16 tahun dalam dua periode. Padahal, jabatan publik lainnya, seperti kepala daerah hingga presiden, maksimal hanya 10 tahun. Ia berpendapat perubahan panjang masa jabatan ini merusak demokrasi.

"Kenapa 16 tahun? Kenapa enggak 10 tahun? Kenapa enggak 15 tahun yang kelipatan lima? Kita enggak tahu. Jadi ini memang anggota dewan itu merusak demokrasi republik kita yang sudah susah payah kita bangun pasca orde baru," ujarnya.(han)