Riuh Pengakuan Agus Rahardjo Dimarahi Jokowi soal e-KTP yang Libatkan Setnov

Agus mengungkapkan pernah dipanggil dan diminta Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto (Setnov).

Dec 2, 2023 - 09:35
Riuh Pengakuan  Agus Rahardjo Dimarahi Jokowi soal e-KTP yang Libatkan Setnov

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membenarkan pengakuan Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo yang pernah dimarahi Presiden RI Joko Widodo terkait permintaan penghentian penyidikan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.

"Ya, Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan," ujar Alex saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Jumat (1/12).

Alex mengungkapkan permintaan Jokowi tersebut ditolak karena Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah diteken pimpinan KPK.

"Ditolak karena Sprindik sudah terbit dan KPK tidak bisa menghentikan penyidikan. KPK juga sudah mengumumkan tersangka," kata Alex.

Sebelumnya, Agus mengungkapkan pernah dipanggil dan diminta Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto (Setnov).

Setnov kala itu menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, partai politik yang pada 2016 bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Sebelum mengungkapkan kesaksiannya, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa ada hal yang harus dijelaskan.

"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno [Menteri Sekretariat Negara]. Jadi, saya heran 'biasanya manggil [pimpinan KPK] berlima ini kok sendirian'. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12).

"Itu di sana begitu saya masuk Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," sambung Agus.

Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan Sprindik sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut.

"Saya bicara (ke Presiden) apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan], enggak mungkin saya memberhentikan itu," terang Agus.

Pengakuan tersebut dibantah oleh pihak istana.

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengaku telah mengecek pertemuan dimaksud, namun tidak ada dalam agenda presiden.

"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," kata Ari melalui keterangan tertulis.

Ari enggan menjawab ihwal Jokowi meminta kasus e-KTP dihentikan. Ia meminta publik untuk melihat fakta di mana Setnov tetap diproses hukum.

Lebih lanjut, Ari turut mengomentari perihal pembahasan revisi UU KPK yang disinggung oleh Agus. Ia menjelaskan inisiator revisi tersebut adalah DPR bukan pemerintah.

Agus Rahardjo Sempat Mau Mundur Usai Dimarahi Jokowi

Diberitakan sebelumnya, Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan mengaku sempat mendengar kabar rencana Agus Rahardjo untuk mundur dari jabatannya di KPK saat itu, karena ada dugaan intervensi dalam kasus korupsi e-KTP.

Novel menyebut rencana mundur dari jabatan Ketua KPK itu hendak dilakukan Agus usai diduga diminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk berhenti mengusut perkara yang menjerat Setya Novanto (kala itu Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar).

"Iya saya emang pernah dengar cerita itu, saya saat itu ada di Singapura, sedang berobat. Dan, seingat saya malah Pak Agus mau mengundurkan diri itu," ujarnya kepada wartawan di markas Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (1/12).

"Jadi untuk bertahan dalam komitmen perkara SN (Setya Novanto) tetap dijalankan, itu Pak Agus pernah mau mengundurkan diri," imbuhnya.

Di sisi lain, Novel menyebut kondisi tersebut juga semakin membuktikan bahwa revisi UU KPK yang dilakukan setelah penanganan kasus E-KTP memang sengaja dilakukan untuk melemahkan lembaga antirasuah.

"Sekarang semakin jelas. Apa yang banyak dikatakan orang, termasuk saya, bahwa Undang-Undang KPK, revisi UU KPK yang Nomor 19 itu adalah untuk melemahkan KPK," tuturnya.

Agus Raharjo merupakan Ketua KPK periode 2015-2019. Di bawah kepemimpinannya kala itu, KPK mengusut kasus besar e-KTP yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dan banyak politikus elite lain.

Pengakuan Agus soal amarah Jokowi yang disebut meminta agar kasus itu dihentikan disampaikan dalam acara wawancara di Kompas TV. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

"Itu di sana begitu saya masuk Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," kata Agus dalam acara tersebut.

Agus meyakini kejadian itu berimbas pada revisi UU KPK pada 2019. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah. Di antaranya KPK kini di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3 atau penghentian kasus.

Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengaku telah mengecek pertemuan dimaksud, namun tidak ada dalam agenda presiden kal aitu.

"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," kata Ari melalui keterangan tertulis.

Tanggapan Ketua Komisi III dan Mahfud Md

Menko Polhukam Mahfud MD hingga pimpinan Komisi III DPR merespons pernyataan Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo soal dugaan upaya intervensi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam kasus e-KTP hingga revisi UU KPK.

Mahfud mengatakan hukum tidak boleh di intervensi oleh siapapun, termasuk seorang presiden. Karena hukum harus berdiri secara independen.

"Kalau mau bicara boleh, tentu itu tidak boleh. Lembaga penegak hukum itu tentu tidak boleh di intervensi oleh siapapun," ujar Mahfud kepada awak media di Kabupaten Pandeglang, Banten, Jumat, (1/12).

Namun, Mahfud mengaku tidak tahu persis kebenaran yang diucapkan Agus saat hadir dalam acara di Kompas TV. Dalam wawancara itu Agus mengaku ada dugaan upaya dari Presiden Jokowi untuk menyetop pengusutan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto pada 17 Juli 2017.

Saat itu, Setnov menjabat sebagai Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum (Ketum) Golkar, salah satu parpol pendukung pemerintahan Jokowi.

"Tapi apakah itu benar atau tidak, bahwa presiden mengintervensi Pak Agus, itu Pak Agus yang tahu, kalau kita tidak ada yang tahu dan baru dengar sekarang," ujar Mahfud yang kini menjadi Cawapres nomor urut 3 pendamping Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo tersebut.

Dia pun menyerahkan semuanya ke masyarakat. Apakah akan mempercayainya atau tidak. Lantaran dirinya tidak mengetahui secara pasti kejadian tersebut.

Kala itu, Agus Rahardjo sebagai pimpinan KPK dipanggil sendiri. Masuk ke ruangan untuk presiden pun melalui jalur masjid. Sedangkan dalam pertemuan itu hanya ada dia, Presiden, serta Pratikno selalu Menteri Sekretaris Negara.

"Dan pengakuan dia juga tidak diketahui orang lain, dan terpaksa bilang. Biar masyarakat menilai bagaimana, tapi memang kita tidak boleh mengintervensi penegakan hukum," kata Mahfud.

Mahfud berjanji akan memperkuat KPK dan lembaga penegakan hukum lainnya, jika dia bersama Ganjar Pranowo terpilih memimpin Indonesia. Selain itu, negara juga akan memberi dana yang cukup untuk penegakkan hukum, sehingga penegak hukum bisa bekerja secara profesional.

Namun dia bersama Ganjar belum sampai membahas untuk merevisi undang-undang KPK, untuk kembali memperkuat lembaga anti rasuah itu.(han)