Sastra, Argumen dan Pembelajaran Bahasa di Era Digital

Dalam pembelajaran bahasa, guru dapat menggunakan berbagai bahan ajar di kelas. Guru yang kreatif tentu saja tidak hanya akan berfokus kepada bagaimana menghabiskan buku ajar yang sudah dipilih di sekolah.

Feb 29, 2024 - 06:40
Sastra, Argumen dan Pembelajaran Bahasa di Era Digital
Rizka Safriyani, S.S., M.Pd

Oleh: Rizka Safriyani, S.S., M.Pd.

Dalam pembelajaran bahasa, guru dapat menggunakan berbagai bahan ajar di kelas. Guru yang kreatif tentu saja tidak hanya akan berfokus kepada bagaimana menghabiskan buku ajar yang sudah dipilih di sekolah. Namun guru juga akan berupaya menyediakan bahan ajar yang mampu memberikan inspirasi dan mengaktifkan siswa di kelas.

Semangat kurikulum merdeka yang menuntut adanya tes diagnostic di awal tahun pembelajaran, tentu dapat dijadikan momentum untuk memetakan kebutuhan siswa di kelas. Kalau pun sekolah belum memiliki anggaran khusus untuk melakukan tes IQ dan potensi akademik, guru masih bisa melakukan pemetaan mandiri dengan cara menggunakan instrumen survei sederhana termasuk juga memetakan genre bacaan yang disukai oleh para siswa. Ketika kita tahu hal-hal yang disukai siswa, maka materi akan lebih mudah tersampaikan dan mereka akan dengan senang hati untuk belajar.

Dalam sebuah diskusi ringan dengan mahasiswa putri, penulis sempat bertanya “Apakah kamu suka membaca novel romantis?” Beberapa dari siswa menjawab suka dan yang lain menjawab lebih suka genre horror. Mahasiswa putra lebih memilih genre misteri. Dari diskusi ini, kita sadari bahwa setiap orang punya preferensi dan ini menjadi potensi sastra untuk masuk sebagai sarana berargumentasi.   

Sastra dapat memberi inspirasi, menggairahkan, dan menimbulkan intrik. Keterlibatan serta inspirasi inilah yang diinginkan guru.  Sastra dapat berguna untuk memperluas kosa kata, genre dan pengetahuan linguistik secara umum.

Dalam sebuah sesi, penulis dan para siswa membahas sebuah puisi karya Robert Frost berjudul Fire and Ice. Di situ ada larik yang mengatakan bahwa beberapa orang percaya bahwa dunia akan berakhir dengan api, yang lain percaya bahwa dunia akan berakhir dengan es. Diskusi menjadi hangat ketika beberapa mahasiswa menyampaikan bahwa mereka percaya dunia akan berakhir dengan api karena banyaknya peperangan.

Selain itu, ada juga siswa yang memaknai dunia berakhir dengan penuh kebencian dan kemarahan. Mereka menghadirkan argumen-argumen faktual yang relevan. Di kubu lain, mahasiswa juga percaya bahwa es dimaknai keegoisan sehingga tidak ada lagi cinta dan perhatian. Semua orang bersikap dingin dan sibuk dengan dirinya sendiri.

Aktivitas ini membuat mahasiswa berani berpikir liar, berintepretasi luas tanpa takut salah berargumen. Tanpa mereka sadari, mereka mampu berbahasa sambil menyampaikan argumen yang sangat riuh disambut oleh teman-temannya.  Antusiasme akan muncul untuk membahas topik yang “relate” dengan siswa kita.

Salah satu aspek yang paling bermanfaat dalam penggunaan sastra dalam pembelajaran bahasa adalah antusiasme yang tulus dan bahkan semangat yang dapat ditimbulkannya. Penggunaan sastra juga dapat menghasilkan keuntungan bagi komunikatif pembelajaran bahasa yang tidak selalu ditawarkan oleh materi lain.

Anggapan bahwa sastra itu sulit sesungguhnya tidak sepenuhnya terbukti. Dengan bantuan teknologi, guru bisa menjadi penyusun bahan ajar yang handal. Dalam hitungan detik, guru bisa menggunakan website seperti www.readable.com untuk menentukan readability teks sastra yang digunakan.

Ketika kita tahu teks tersebut terlalu sulit, kita bisa menyisipkan sesi vocabulary practice. Apa yang dianjurkan dan dieksplorasi di sini lebih merupakan gambaran penggunaan teks sastra secara selektif. Pengalaman sebagai sumber informasi bisa digunakan dalam pendidikan bahasa. Hal ini mencerminkan pengajaran sastra hanya karena 'ada' atau secara samar-samar dianggap 'berguna', atau karena guru memiliki dunianya sendiri dan menikmatinya di masa lalu.

Guru dapat menggunakan CHAT GPT untuk membuat simplified version dari short story. Pembuatan simplified version bisa dilakukan dengan menyesuaikan karakteristik peserta didik. Apabila guru sudah terbiasa menyusun prompt yang benar, maka menyusun simplified version dari karya sastra sangat mudah untuk dilakukan.

Bahasa yang digunakan dalam karya sastra merupakan penggunaan bahasa yang secara unik mewakili bahasa yang lebih luas. Bahasa ini mampu memanfaatkan semua sumber daya bahasa untuk tujuan kreatif atau imajinatif dan secara teratur melakukannya. Hal ini juga merupakan penggunaan bahasa yang sering kali mendorong pembacanya untuk mempertimbangkan bentuk dan penggunaannya dengan sangat hati-hati.

Mengapa dia menggunakan kata itu? Apa sebenarnya maksudnya? Mengapa istilah itu diulangi secara tepat atau dengan variasi? Bahasa sastra adalah ‘asli’ dalam artian tersebut, jika dilibatkan – dan pada kenyataannya dirancang untuk mendorong keterlibatan siswa untuk beropini secara bebas dan bertanggung jawab.

“Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Mereka hidup di zaman mereka, bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian". Artinya, ilmu itu bersifat dinamis dan tidak tetap, keberadaannya menyesuaikan dengan kondisi sekarang dan kehidupan masa depan. Begitu juga dengan sastra.

Sastra yang dihadirkan di kelas hendaknya juga memiliki cakupan yang luas tidak selalu terfokus kepada sastra masa lalu. Perbandingan sastra klasik dan sastra modern akan menjadi sangat menarik karena mereka bisa berkelana melihat kehidupan masa lalu dan masa kini. Sastra populer seperti novel terbaru di Indonesia dan di luar negeri juga bisa mudah didapatkan. Bahkan channel video seperti  juga memiliki segudang cerita sastra yang dituturkan oleh penutur bahasa asing dan ter-update.

Di level pendidikan menengah,  jumlah capaian pembelajaran yang terkait dengan sastra pada Kurikulum Merdeka cukup terbatas. Namun, sebagai pengajar nampaknya potensi pengenalan sastra dan optimalisasi sastra di era digital seperti saat ini sangat terbuka. Siswa mungkin akan lebih suka berargumen di social media daripada secara langsung di kelas.

Pembelajaran sastra berbasis social media sangat bisa dilakukan. Argumen inilah yang diharapkan mampu melatih keterampilan berbahasa produktif utamanya dalam belajar bahasa asing. Tugas guru sebagai fasilitator nampaknya menjadi sangat penting dan diharapkan mampu membawa siswa mencapai tujuan pembelajaran yang diidamkan.

 

 

Rizka Safriyani, S.S., M.Pd., dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Artikel ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., dosen Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).