Menteri Ekstremis Yahudi Israel Meradang

Dua menteri sayap kanan Israel mengecam laporan rencana perdamaian yang diatur oleh Amerika Serikat (AS) dengan sekutu Arab untuk gencatan senjata di Gaza. Gencatan ini menjadi dasar bagi negara Palestina.

Feb 16, 2024 - 05:15
Menteri Ekstremis Yahudi Israel Meradang

NUSADAILY.COM – GAZA - Dua menteri sayap kanan Israel mengecam laporan rencana perdamaian yang diatur oleh Amerika Serikat (AS) dengan sekutu Arab untuk gencatan senjata di Gaza. Gencatan ini menjadi dasar bagi negara Palestina.

 

The Washington Post sebagaimana dilansir dari medcom.id melaporkan bahwa pemerintahan Presiden AS Joe Biden dan sekelompok kecil negara Arab sedang menyusun rencana komprehensif untuk perdamaian jangka panjang antara Israel dan Palestina.

 

Hal ini mencakup batas waktu yang pasti untuk pembentukan negara Palestina, kata laporan itu.

“Gencatan senjata awal, yang diperkirakan akan berlangsung setidaknya enam minggu, akan memberikan waktu untuk mempublikasikan rencana tersebut, merekrut dukungan tambahan dan mengambil langkah awal menuju penerapannya, termasuk pembentukan pemerintahan sementara Palestina,” kata laporan itu yang mengutip pernyataan AS yang tidak disebutkan namanya dan pejabat Arab, seperti dikutip AFP, Kamis 15 Februari 2024.

 

“Para perencana berharap kesepakatan yang mencakup pembebasan sandera dapat dicapai sebelum 10 Maret, ketika bulan puasa Ramadan diperkirakan akan dimulai,” sebut laporan itu.

 

Namun usulan tersebut dikecam oleh Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, keduanya merupakan pemukim ekstrem kanan yang tinggal di Tepi Barat yang diduduki.

 

“Kami sama sekali tidak akan menyetujui rencana ini, yang sebenarnya mengatakan bahwa warga Palestina berhak mendapatkan imbalan atas pembantaian mengerikan yang mereka lakukan,” tulis Smotrich di platform media sosial X, merujuk pada serangan Hamas pada 7 Oktober.

 

“Negara Palestina merupakan ancaman nyata terhadap Negara Israel sebagaimana dibuktikan pada 7 Oktober,” ucap Smotrich.

 

Permukiman Israel di wilayah Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem timur yang dianeksasi dipandang sebagai penghalang utama bagi kesepakatan damai.

 

"1.400 orang dibunuh dan dunia ingin memberi mereka negara. Itu tidak akan terjadi," tulis Ben Gvir di X.

 

“Pembentukan negara Palestina berarti berdirinya negara Hamas,” ungkapnya.

Gencatan senjata di Gaza

Serangkaian perjanjian sebelumnya yang diharapkan menghasilkan solusi permanen atas konflik tersebut -- Perjanjian Oslo tahun 1990-an -- membentuk Otoritas Palestina yang memiliki kekuasaan terbatas di Tepi Barat.

 

Israel melarang aktivitas politik warga Palestina di Yerusalem timur. Sementara Gaza selama bertahun-tahun dikuasai oleh kelompok militan Hamas yang memisahkan diri dari Otoritas Palestina.

 

Kemarahan para menteri sayap kanan Israel terjadi ketika mediator dari Amerika Serikat, Qatar dan Mesir bertemu di Kairo minggu ini untuk menengahi kesepakatan yang akan menghentikan pertempuran di Gaza.

 

Hamas telah mengajukan proposal untuk gencatan senjata awal selama berminggu-minggu, di mana tahanan akan ditukar, sambil menguraikan aspek-aspek lain termasuk lebih banyak bantuan dan penarikan pasukan Israel.

 

Media Israel melaporkan delegasi negaranya diperintahkan untuk tidak kembali ke perundingan di Kairo sampai Hamas melunakkan pendiriannya.

 

“Saya bersikeras agar Hamas membatalkan tuntutan khayalan mereka, dan ketika mereka membatalkan tuntutan ini, kita dapat melanjutkan,” kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Rabu tanpa mengomentari laporan tersebut.

 

Keluarga sandera yang berkampanye untuk pembebasan para tawanan mengungkapkan kemarahan mereka setelah komentar Netanyahu.

 

"Ini adalah keputusan memalukan yang setara dengan hukuman mati dan pengorbanan yang disengaja terhadap sandera yang mendekam di terowongan Hamas," kata kelompok kampanye Forum Sandera dan Keluarga Hilang pada Rabu malam.

 

Sekitar 250 orang diculik ke Jalur Gaza oleh militan selama serangan 7 Oktober, kata para pejabat Israel. Sekitar 130 orang masih ditawan, termasuk 29 orang yang diyakini tewas.

 

Serangan tersebut mengakibatkan kematian sekitar 1.160 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka Israel.

 

Respons militer balasan Israel di Gaza sejauh ini telah menewaskan 28.576 orang, kebanyakan dari mereka adalah wanita, anak-anak dan remaja, menurut kementerian kesehatan wilayah tersebut.(*)