Meletakkan Kebudayaan sebagai Hulu Pembangunan
Penganugerahan Sabda Budaya digelar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) dalam rangka dies natalis ke-14 (Sabtu, 23/9). Sabda Budaya sudah kali kelima digelar sebagai bentuk apresiasi penghargaan kepada seniman-seniman di Jawa Timur. Tema yang diusung "Sasmitaning Praja, Janma Ning Pandhita Memayu Hayuning Bawana".
NUSADAILY.COM-MALANG- Penganugerahan Sabda Budaya digelar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) dalam rangka dies natalis ke-14 (Sabtu, 23/9). Sabda Budaya sudah kali kelima digelar sebagai bentuk apresiasi penghargaan kepada seniman-seniman di Jawa Timur. Tema yang diusung "Sasmitaning Praja, Janma Ning Pandhita Memayu Hayuning Bawana".
Dekan FIB UB, Hamamah menuturkan, ada makna mendalam yang terkandung dalam tema itu. Ia menjabarkan, sasmitaning praja mengajarkan untuk menjunjung tinggi martabat dan kehormatan. Berikutnya, janma ning pandito menekankan pentingnya pendidikan mengembangkan potensi diri sebagai pondasi yang kuat dalam memajukan diri maupun kolektif. Sementara, memayu hayuning bawana mengajak menjaga keharmonisan dan kesejahteraan lingkungan.
"Ini pesan penting dalam era ketidakpastian dan perubahan yang begitu cepat. Menekankan untuk menjaga keseimbangan di era kemajuan teknologi dan pelestarian lingkungan maupun budaya," ujar Hamamah.
Dalam kegiatan, FIB UB juga meluncurkan majalah FIBMagz. Media itu mendokumentasikan rekam jejak perjalanan FIB sejak UB masih berstatus badan layanan umum (BLU) hingga bertransformasi menjadi perguruan tinggi negeri-badan hukum (PTN-BH).
Ia menuturkan, dies natalis ke-14 FIB UB akan menggelar beberapa rangkaian acara. Yakni International Conference yang bakal dihelat pada Oktober nanti. Serta menyelenggarakan kompetisi film pendek Majestic Arjuna Chronicles: Exploring Mount Arjuna Through Short Documentaries. Kompetisi film pendek bekerja sama dengan PT Sands Talk Indonesia (OPPO). "Nantinya pada saat poduksi pengambilan gambar memakai kamera handphone OPPO," imbuh dia.
Dewan Kurator memiliki beberapa kriteria dalam menentukan sosok penerima anugerah Sabda Budaya. Penilaian didasarkan pada aspek kesejerahan dan konsisten, warisan sosial budaya dan dampak yang diberikan. Anugerah Sabda Budaya dibagi dalam empat tangkai meliputi seni rupa, seni sastra, seni tradisi dan insentif seni budaya.
Di bidang seni rupa, penghargaan diberikan kepada komikus, mendiang Teguh Santosa. Bisa dikatakan, Teguh Santoso merupakan komikus berkaliber internasional. Karyanya tembus hingga negeri Paman Sam. Sehingga proses kreatif pria kelahiran Gondanglegi, Kabupaten Malang itu cukup memberi pengaruh bagi komik Tanah Air.
Anugerah Sabda Budaya berikutnya dinobatkan kepada Munawaroh Masyari atau yang lebih dikenal Muna Masyari. Perempuan asal Kabupaten Pamekasan, Madura itu sehari-hari bekerja sebagai penjahit. Ia membangun narasi melalui karya sastranya mendobrak secara simbolis akar tradisi yang mengungkungnya.
Suwito HS atau akrab disapa Cak Wito juga dipilih sebagai sosok yang layak mendapat Anugerah Sabda Budaya. Ia bersama pelawak kawakan, Cak Kartolo mendedikasikan hidupnya dalam seni pertunjukkan ludruk. Cak Wito dinilai sebagai ruh kesenian ludruk di tengah kehidupan masyarakat urban.
Berikutnya, pada tangkai insentif seni budaya, Anugerah Sabda Budaya diberikan kepada Padepokan Seni Kirun. Karena dinilai menaruh perhatian penuh dalam mengembangkan dan menjaga nilai-nilai budaya humanisme melalui seni tradisi.
Ketua Dewan Kurator Joko Saryono menuturkan, Anugerah Sabda Budaya suatu manifestasi kuat FIB UB dalam menjaga dan merawat kemanusiaan. "Sabda budaya menjadi dampar kencana, kesadaran kosmis civitas akademika UB untuk mendudukkan duta-duta yang bekerja bagi kemanusiaan," imbuh Joko.
Ia mengatakan, ujung arung ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kelangsungan dan keselamatan perikemanusiaan. Perguruan tinggi yang hanya merangkul sains dan teknologi masih berada pada level syariat eksistensial. Karena iptek dan teknologi masih condong pada kebudayaan material. Alangkah eloknya jika menciptakan suatu lompatan besar agar beranjak pada aras makrifat eksistensial sebagai upaya pembelaan atas kemanusiaan.
"Hari ini bukan saja keselamatan bumi, alam semesta, tetapi keselamatan manusia itu sendiri. Apa arti universitas tanpa keberpihakan terhadap perikemanusiaan," pungkasnya.
Melalui saluran daring, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud Ristek, Hilmar Farid membawakan suatu orasi budaya. Ia menegaskan, di era kontemporer, kebudayaan ditempatkan pada hulu pembangunan. Langkah ini tentu berbeda dibandingkan literatur pada era sebelumnya. Paradigma pada masa tahun 70-80an, cenderung menganggap budaya tradisi sebagai hambatan menuju masyarakat modern. Sehingga didorong agar terjadi transformasi sosial melalui berbagai saluran untuk menggeser digantikan kebudayaan modern.
Lahirnya peradaban modern bukan tanpa konsekuensi. Permasalahan paling menonjol dam dirasakan bersama yakni isu krisis iklim yang begitu masif. Kondisi ini bukan tercipta dari proses alamiah. Masa geologis yang timbul kini dibentuk oleh semakin kuatnya pemahaman antroposentrisme. Perilaku manusia dalam mengeksploitasi didorong transformasi sosial yang cepat di era era perkembangan teknologi.
Di satu sisi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menginterpretasikan suatu puncak kemajuan. Di satu sisi menimbulkan disrupsi sosial di berbagai aspek kehidupan. Hingga memunculkan persoalan baru yakni disparitas antara mereka yang menguasai teknologi dan mereka yang tidak memiliki akses pada teknologi.
"Tumpukan masalah ini, membawa kita pada satu pertanyaan. Apakah modernisasi jalan yang harus ditempuh bagi negara seperti Indonesia. Saya berharap FIB UB memberikan sumbangsih pemikiran, rumusan konseptual merancang kebijakan yang lebih menempatkan kebudayan di hulunya pembangunan," papar Hilmar.(*)