Keluguan Berpolitik: Relasi Pasti dan Tak Pasti

Bagaimana merelasikan tiga problem: pemilihan umum, persatuan, dan kasih sayang? Satu pertanyaan ini diajukan Umi Salamah (US) di Nusadaily.com (23/01/2024). Relasi ketiganya, sayangnya direspon secara samar dengan aneka petuah dalam drama, yang membuat "garuk-garuk kepala".

Feb 10, 2024 - 07:43
Keluguan Berpolitik: Relasi Pasti dan Tak Pasti

Oleh: Andri Fransiskus Gultom 

Bagaimana merelasikan tiga problem: pemilihan umum, persatuan, dan kasih sayang? Satu pertanyaan ini diajukan Umi Salamah (US) di Nusadaily.com (23/01/2024). Relasi ketiganya, sayangnya direspon secara samar dengan aneka petuah dalam drama, yang membuat "garuk-garuk kepala".

Ada problem mendasar yang kurang dipahami US tatkala melihat dan membaca politik dan berpolitik elektoral di era kekinian, khususnya pemilu. Problem bermula dari data pemicu konflik dari Lemhanas, entah bagaimana bisa direspon US dengan petuah,  "…sebaiknya semua aparat, pejabat, akademisi, dan tokoh masyarakat bersikap netral dan bersatu mengajak masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan."

Apakah petuah ini adalah retorika dari seorang pemimpin besar atau seorang bijak yang baru keluar dari gua pertapaan? Saya kira, bukan. Petuah-petuah itu tidak cukup untuk dijadikan dasar untuk berpikir dan bertindak dalam politik dan berpolitik. Kebingungan tersebut, bila tak didetailkan, dapat menyandera siapa saja. Hal ini karena berpolitik bukanlah suatu yang naif, yang berdasar pada petuah-petuah. Upaya melihat dan membaca politik dan berpolitik kekinian bukanlah lagi berdasarkan yang ideal, melainkan dalam situasi yang tak pasti (possibility).

Politik dan berpolitik adalah dua entitas yang berbeda. Politik idealnya tentang nilai-nilai yang dipancang dalam ideologi, tata relasi warga dengan pengelola negara, yang bertujuan terjadinya kemaslahatan (common good). Sedangkan, berpolitik adalah tindakan dalam urusan-urusan publik yang berada dalam tegangan yang bertaut dengan kepentingan, kekuasaan dan situasi yang tak pasti.

 

Tiga prasyarat

Untuk memperjelas duduk persoalan, akan sangat membantu untuk melihat dan membaca relasi pemilu dengan tiga prasyarat atau ketentuan dasar:

Prasyarat: Pemilu sebagai wujud politik elektoral didasarkan pada kontestasi untuk memilih pemimpin dan mencari sebanyak-banyaknya suara.

Prasyarat 2: Implikasinya, kontestan dan pemilih berada dalam arena ketidaksepakatan, resiko konflik vis a vis, dan ketidakpastian.

Prasyarat 3: Masa pemilu, pemilih menjadi bagian (tapi bukan bagian).

Ketiga prasyarat ini menjadi penegasan bahwa persatuan dan kasih sayang ála Valentinus bukan semangat dasar dalam pemilu. Pemilu baik itu dalam paradigma politik dan berpolitik hampir selalu ada ketegangan, kompetisi, dan kemungkinan. Bila ditarik lebih mendasar lagi, pemilu merupakan setting instrumen elektoral untuk meraih kekuasaan melalui suara (vote) yang implisit di dalamnya ada sentimen, konflik, yang nantinya berakhir pada merosotnya persatuan. Ini menjadi diktum yang dasarnya bermula dari ketiga persyaratan di atas.

Bila diungkit satu problem dalam satu kecurigaan yakni, adakah relasi korelatif antara persatuan, kasih sayang dalam pemilu? US dengan lugu binti ke-naifannya menyatakan ada relasi diantara ketiganya. Ia menulis dengan sangat yakin (tepatnya seolah-olah yakin) demikian,

“Itulah sebabnya momentum valentine day harus diisi dengan spirit kasih sayang untuk mencintai Indonesia dengan semangat persatuan. Dengan begitu momentum Pemilihan presiden menjadi momentum untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.”

Saya mengutip tulisan ini, bukan untuk mendapatkan impact factor dalam konteks riset. Karena tulisan yang diproduksi dari alur pikirannya tidak cukup adekuat untuk melihat dan membaca politik dan berpolitik. Pikirannya diselubungi oleh ketidaktahuan (veil of ignorance), oleh karena memahami politik dan berpolitik sekedar sebagai upaya untuk “berdamai-damai” dan “'milih ora milih sing penting kumpul.”

Entah darimana dan bagaimana spirit kasih sayang itu datang saat situasi politik sedang bersitegang? US tidak menjelaskan itu. Spirit itu, baginya, datang bak roh juru selamat yang melayang-layang, menghinggapi para kontestan beserta relawannya dan melalui petuah ajaib, sim salabim, prok-prok-prok: terjadinya persatuan dan kedamaian. Logika menjadi silang selimpat. Kusut tak keruan! Ringkasnya, terjadi selubung ketidaktahuan.

Selubung ketidaktahuan itu merembet lebih jauh lagi, tatkala US tak memiliki tools dan significant datum untuk mendeteksi situasi kepolitikan, politisi dan para pendukungnya, serta pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk menciptakan keadilan dalam pemilu. US tak mampu me-rontgen situasi politik dan berpolitik. Ia tak tahu tapi seolah tahu!

Untuk itu, relasi korelatif antara persatuan, kasih sayang dalam pemilu versi US tidak disajikan dengan tools dan data, maka berimplikasi pada sesuatu yang biasa-biasa, samar-samar, kabar kabur, dan melempar nalar perlahan menuju myopia. Istilah terakhir maksudnya, gagasan dalam tulisannya dibaca secara dekat terlihat jelas, namun kabur secara logis. Imbasnya, ia melempar suatu gagasan (sengaja dicoret, karena bukan gagasan) yang dibungkus dalam nasehat, himbauan, petuah yang amat kurang daya getar dan pesannya. Mengapa bisa terjadi demikian? Pertanyaan ini seandainya boleh, dititip pada US, saat pikirannya memiliki waktu hening.

 

Hilangnya Kehangatan

Duduk perkara, apakah pemilu itu menyatukan atau memisahkan? Pertanyaan ini tidak dielaborasi US. Saya akan memberi daya getar dan pesan eksplisit ihwal pertanyaan tersebut dengan merujuk pada apa yang telah dituliskan Benjamin Reilly tentang “Electoral Systems and Conflict in Divided Societies.” Ia menegaskan bahwa pemilu memang membelah dan memecah belah warga. Dalam situasi atau peristiwa pemilu, yang terjadi justru menjauhkan dari persatuan juncto kasih sayang. Ia mulai dengan pertanyaan, “sistem pemilu seperti apa yang dapat membantu demokrasi bertahan, negara-negara yang terpecah belah karena perbedaan ras, agama, bahasa, atau etnis?” (Reilly, 1999: 156).

Reilly menulis bahwa para politisi dalam situasi “masyarakat yang terpecah-belah” seringkali “memainkan kartu etnis” pada saat pemilu, dengan menggunakan daya tarik komunal dalam kampanye untuk memobilisasi pemilih dengan retorika dan beragam imbalan. Dalam keadaan seperti ini, politik dapat dengan cepat berubah menjadi sentrifugal, karena pusat politik tersebut dipecah belah oleh kekuatan-kekuatan ekstremis (dalam politik) dan sistem “pemenang mengambil semuanya” menjadi penentu. Dengan demikian, politik dan berpolitik dalam situasi berada dalam keterbelahan dan bukan persatuan. Imbasnya, terjadi kegagalan demokrasi.

Situasi itu dalam real kepolitikan hari-hari ini terjadi di Indonesia. Dalam suatu percakapan antara Rhenald Kasali dengan Mahfud MD (Menkopolhukam) termuat situasi keterbelahan dalam kabinet.

Mahfud mengungkapkan, “… suasananya biasanya enak pak kalau waktu-waktu itu ya. Meskipun saya tegas begitu di dalam setiap sidang kabinet itu tapi bergurau-gurau begitu. Ketemu salaman bergurau mau bubar bergurau gitu. Nah sekarang ini rapat kabinet ini tetap serius dan tetap terjadwal cuma gurauan-gurauan itu sudah hilang. Biasanya kan kalau dulu ketemu eh saling peluk cerita kita, berdiri sini yang sana ketawa di sana. Sekarang duduk dulu sebelum mulai itu, duduk, minum sendiri sudah gurau-gurau gak ada jadi ada yang hilang. Ya ada yang hilang, itu kehangatan di dalam pergaulan..”

Upaya untuk melihat dan membaca politik elektoral (pemilu) dalam kutipan di atas menegaskan, situasi persatuan-kesatuan dan kasih sayang baik implisit dan eksplisit tak terjadi di kabinet. Ada kepalsuan dalam relasi antar menteri. Kehangatan antar teman hilang di masa pemilu, dan akibat perbedaan pilihan. Di antara mereka, Dalam situasi formal dan non-formal, ada ketegangan, yaitu yang berbeda pilihan adalah lawan politik. Dari sinilah prasyarat kedua mendapat posisi untuk mengeksplanasi bahwa pemilu adalah arena ketidaksepakatan atau disensus (bukan konsensus).

 

Vivere Politico

Lantas, bagaimana upaya para pemilih untuk mengantisipasi situasi keterbelahan tersebut? Upaya itu bisa diuraikan, pertama politik kewargaan dihidupkan sebagai  subyek pemilih dalam jangkar pemikiran Machiavelli yaitu vivere libero, vivere civile, dan vivere politico. Artinya, politik yang hidup dengan nafas kebebasan, hidup beradab, dan berupa pikiran dan tindakan dalam republik. Dari sinilah, gaung vivere pericoloso dari Soekarno mendapatkan konteks yang relevan di masa kini.

Machiavelli, bila membaca The Prince, dipahami adalah figur yang membuang moral dalam politik, membuang kasih sayang, dan menghalalkan segala cara demi kestabilan negara. Namun, dalam buku Discourses on Livy, Machiavelli justru tampil sebagai seorang moralis republikan. Gagasan Machiavelli, menurut McCormick, menangani isu republik yang korup dengan melakukan penataan ulang prioritas antara gaya hidup bebas, tatanan sipil, dan pemerintahan politik dengan redistribusi ekonomi yang adil (Alessandro, 2015). Dalam situasi tersebut, dinasti politik yang dilakukan monarki harus ditolak karena hampir selalu berimplikasi pada berkurangnya kebebasan, keserakahan, dan berbahaya.

Di tahun politik yang penuh bahaya, diperlukan bukan hanya keberanian, namun kecerdikan melihat dan membaca politik dalam ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut, ditegaskan Machiavelli, dalam konteks tegangan antara virtu (pasti) dan fortuna (tak pasti). Situasi di masa pemilu, memungkinkan apa saja bisa terjadi (something else is possible). Yang dipastikan menang, justru kalah, dan sebaliknya. Yang kuat bisa menjadi lemah, dan sebaliknya. Tindakan politik membuat siapa saja yang ada di dalamnya menjadi bagian tapi bukan bagian (part of no parts). Ia seolah menjadi bagian dalam kesatuan, tetapi ia tidak menjadi bagian atau menyatu dalam kesatuan. Ia  (warga pemilih) adalah bukan dia, dan bukan mereka.

Situasi ini menawarkan kepada para warga untuk kembali pada gagasan republik untuk menempatkan urusan bersama, dan supremasi hukum di atas kepentingan cawe-cawe politik dinasti dan para perusak demokrasi. Upaya memilih pemimpin tidak lagi bermodal “asal percaya”, “sekedar petugas partai”, “bertugas mengurus administrasi”. De facto, terjadi pengingkaran pada janji awal dan melampaui tugas yang diberikan kepadanya. Pemimpin tak punya prinsip etis seperti ini, tak layak memimpin. Ia tak mampu, tapi seolah mampu. Pemilu menjadi ajang untuk mengantisipasi pemimpin yang bertopeng baik namun culas dan kerap memainkan drama yang (seolah) pasti, tetapi yang terjadi justru tak pasti.

 

 

 

Andri Fransiskus Gultom, Pendiri Institut Filsafat Pancasila

Editor: Wadji