Menjelajah Putiba Kota, Mimpi, Dan Kardus Bekas

Menjelajah puisi bagai menjelajah lautan. Genre putiba sebagai akronim puisi tiga bait mencuat dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebelum genre putiba menjadi formal dikenal sebagai sebuah genre baru yang hadir bersamaan dengan putibar atau puisi tiga baris. Puisi berpola tiga bait hanya dikenal sebagai salah satu dari genre puisi bebas.

Jan 12, 2024 - 06:30
Menjelajah Putiba Kota, Mimpi, Dan Kardus Bekas

Oleh: Gatot Sarmidi

 

Menjelajah puisi bagai menjelajah lautan. Genre putiba sebagai akronim puisi tiga bait mencuat dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebelum genre putiba menjadi formal dikenal sebagai sebuah genre baru yang hadir bersamaan dengan putibar atau puisi tiga baris. Puisi berpola tiga bait hanya dikenal sebagai salah satu dari genre puisi bebas.

Semula genre putiba hadir dalam sastra digital. Genre ini menjadi bagian dari kreativitas kelompok sastrawan yang terlibat dalam penulisan kreatif di Paguyuban Sastra Tiga Indonesia (PASTI).  Nama Tengsoe Tjahjono tidak asing sebagai penggagas dan penyemangat eksistensi dari berkesinambungan kelompok PASTI. Beberapa karya putiba hadir sebagai bentuk karya bersama dalam antologi, juga karya digital yang ditulis  serta digemari oleh sastrawan dalam paguyuban ini seperti dalam ruang facebook atau whatsapp. Juga karya model yang ditulis oleh penggagasnya sebagaimana puisi-puisi dalam kumpulan puisi Pelajaran Menggambar Bentuk  (2023) karya Tengsoe Tjahjono.

Karya sastra dari PASTI berpola tiga. Karya-karya itu menjadi trend baru yang digemari oleh penulis sekaligus apresiator dalam karya-karya berpola tiga, di antaranya pentigraf atau cerpen tiga paragraf, dan tatika atau cerita tiga kata, putiba, dan putibar. Contoh terbitan putibar sebagai hasil terbitan bersama dalam antologi yang disengkuyung oleh para penulis Desa Tatika Indonesia (2023) dalam Kitab Cerita Tiga Kalimat Suwung. Selanjutnya beberapa karya putiba hadir dalam bunga rampai puisi para penyair Indonesia Pertanyaan tentang Tanggal Lahir, narasi 65 tahun waktu dan usia Tengsoe Tjahjono. Sementara, kitab puisi tiga bait Kota, Mimpi, dan Kardus Bekas (2023) merupakan salah satu buku sebagai bagian dari karya para penulis sastra yang tergabung dalam PASTI.

Aku, Alam, dan Kota merupakan tema dari kitab puisi tiga bait Kota, Mimpi, dan Kardus Bekas. Puisi-puisi yang tergabung dalam kitab puisi ini ditulis oleh 72 penulis puisi.  Jika kumpulan puisi Pelajaran Menggambar Bentuk  merepresentasikan produktivitas penggagas putiba, kitab puisi tiga bait Kota, Mimpi, dan Kardus Bekas merupakan rentetan karya yang menjadikan pola karya tiga bait itu memiliki segi estetika puisi yang memudahkan berkreasi bagi banyak orang. Dari prolog kumpulan puisi Pelajaran Menggambar Bentuk  ini, Prof. Effendi Kadarisman, Ph.D. seorang pakar etnopuitika berawal dari pertanyaan kritisnya, ia mengemukakan bahwa yang penting puisi memiliki magnet atau daya pancar. Lim Kim Hui dari Jurusan Melayu-Indonesia, Hankuk University Foreign Studies, Seoul menganggap respon pembaca itu penting. Alasannya, puisi seperti musik orchestra, pembaca membawa pengalaman hidup dan pengetahuannya ke dalam teks sehingga setiap pembaca membuat puisi yang berbeda.

Dalam kumpuan putiba Kota, Mimpi, dan Kardus Bekas, Tengsoe Tjahjono sebagai kurator buku ini menyampaikan ada relasi tematis yang menjadi penyemangat para pemutiba. Selain relasi fisik, relasi lain seperti budaya, sosial, psikologi, dan ekonomi mendorong mereka untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan estetisnya menjadi putiba. Dengan begitu, pengalaman dan pengetahuan pemutiba akan menggiring pembaca putiba mengikuti persoalan sosial, budaya, dan psikologis orang-orang kota untuk melibatkan diri secara imajinatif dalam lirik-lirik puisi pola tiga bait.

 Sebagian besar puisi-puisi yang dimuat dalam Kota, Mimpi, dan Kardus Bekas,    mengungkapkan persoalan dan gambaran kehidupan kota. Pemutiba Husin Sutanto misalnya, menghadirkan puisi Tidak Ada Lagi Nenangga, dan Kota-kota Persinggahan. Dalam puisi Kota-kota Persinggahan pemutiba ini mengungkapkan kehidupannya yang berpindah-pindah tempat dengan situasi yang berbeda-beda. Perbedaan geografis membuat perbedaan keadaan alam yang mewarnai situasi batin baik secara psikologis maupun sosiologis. Hidup bepindah-pindah yang dialami penulis memberikan pengetahuan sederhana dalam puisi tentang kenangan yang indah dan trauma yang dirasakan pemutiba.

 

KOTA-KOTA PERSINGGAHAN

Jakarta, Semarang, Surabaya yang panas

atau Lawang, Bogor, Bandung yang dingin,

hanya kota-kota persinggahan sepintas,

walau kadang jiwa terjalin,

 

Walau banyak kenangan indah,

sekali waktu akan pindah,

untuk memulai yang baru,

tidak tenggelam dalam dulu.

 

Kadang kota menyimpan trauma,

namun itu juga tak berlama-lama,

 karena kota baru menunggu

dengan alam dan tantangan baru.

 

Bandung, 15 Agustus 2023

 

Berikut dalam puisi Sampah dan Kotaku yang ditulis oleh pemutiba Lucia Nucke Idayani, ini menghadirkan kota yang disisirnya secara personifikasi seakan-akan memiliki detak jantung, nafas, dan dapat diciumi keharumannya. Kota yang diumpamakan sebagai perempuan cantik bergaun dan anggun. Sebuah situasi paradoks dilunaskan penulis dalam putiba ini karena di balik keindahannya, kota ini meninggalkan suasana tidak mengenakkan karena pengap dan kotor.

 

SAMPAH DAN KOTAKU

Kusisir riuh jantung kotaku

Detakmu masih sama

Kuciumi harum nafasmu

 

Rusibak gaun anggunmu

Tetap cantik dan molek

Noda mencabik perih

 

Kumparan hitam menganga

Mengisap wangi tubuhmu

Meninggalkan nafas ngal pengap

 

(LNI-150823)

 

Masih ditemui banyak persoalan dari para pemutiba  dari berbagai kota di Indonesia yang menggulirkan puisi-puisinya dalam pola tiga bait di Kota, Mimpi, dan Kardus Bekas ini. Beberapa penyair yang hadir itu  Abi Utomo, Abi Wijanarko, Achmad Sochib, Agustina Puji astuti, Agustinus Indradi, Ah Hasmidi, Ahmad Zaini, Andi Jamaluddin, Angelin K Tahir, Anita Nugrahani, Aries Al Hakim, Blasius Perang,Budi Wiryawan, Christoforus Thena,Cicilia Sumarti, De Laras, Diah Puspitosari, Ecep Jaja Miharja, Effendi Kadarisman, Eka Budianta, Emmelia M, Endah Ayu Winarni,Endah Handayaningsih, Evy Christ, Farida Aini, Foeza Hutabarat, Frans Kenjam, Gatot Sarmidi, Hariyanto, Herry Abdi Gusti, Husin Sutanto, Iin Sukamto, Indriyadi Mawardi, Iskandar Noe, J. F. X. Hoery, Julia Utami, Khatijah, Lidwina Ika, Lidwina Lioe, Linda Jalil, Lindung Ratwiawan, Lucia Nucke Idayani, Mamuk Smpa, Maraatussoaliha,Muhammad Lefand, Muhammad Zarqoni, Nanang Suryadi, Netty Indarti, Qonitah Maulida, Riami, Rika Komara, Rinny Soegiyoharto, Rudi Artiko, Sang Senjakala, S A W Notohadihardjo, Shinta Harend, Siwi Dwi Saputro, Sri Umsi, Suci Lestari, Suhartatik, Tengsoe Tjahjono,Titik Suharyati, Tung Widut, Usdhof, Vena Agusta, Warsono Abi Azzam.

Berikut puisi tidak sekadar keindahan kata.  Hal demikian juga terjadi dalam putiba. Contoh putiba Good Bye Sepeda? yang  tulis oleh Linda Djalil. Puisi bertema kota juga memiliki kritik sosial. Linda Jalil menghadirkan  putiba Good Bye Sepeda? merepresentasikan  pikiran dan sikap kritis terhadap kebijakan Pemerintah yang bersifat kontroversial. Puisi yang ditulis di Jakarta ini memberikan suara kritis yang berpihak pada orang-orang kota yang meinginkan hidup  sehat  dengan  cara bersepedah namun sarananya disulap dengan peraturan yang tidak memihak pada kebiasaan baik masyarakat untuk hidup sehat.  Kebijakan yang dipandang semena-mena diekspresikan dalam putiba dengan diksi dan ekspresi puitis yang manis.

 

GOOD BYE SEPEDA?

Bergerak maju

ratusan paha mengencang

sehat

menggenjot sepeda

menelusuri kampung hingga jalan raya

 

Noni sinyo nyonya tuan-tuan

tak ingat usia

warna warni

busana

segala merek sepeda

keringat menjalar bersorak-sorai

mata berbinar pertanda sehat senantiasa

 

Kini kalian

siap-siaplah berduka

area sepeda

tempat istirahatnya bajaj

mobil bagi si pemalas

tanpa keringat

sarana hijau disulap

peraturan untuk sehat disikat

semena-mena

good bye sepeda

kesehatan jiwa

dianggap tak penting

kota berjelaga tidaklah mengapa..

 

(Jakarta 1 Januari 2023)

 

Seperti pengarang lainnya, tidak semua  pemutiba merepresentasikan  kota. Contoh alam  menjadi  hal menarik untuk menulis putiba. Contohnya, Lidwina Lioe merepresentasikannya dalam putiba BAHASA MENTARI,  puisi yang memadukan perasaan estetis antara alam dan bahasa.

 

BAHASA MENTARI

Barangkali kita terlampau lena bercanda dengan mentari

ketika kita mereguk setiap semburat hingga tak menyisakan apa-apa

dan perlahan kehangatan menjalari setiap sudut rongga di dada kita

dan melahirkan tarikan melebar sepipi wajah kita

 

Barangkali kita masih tak nyana

 ketika mentari sesekali digayuti awan jelaga

meski sekejap mata meredup, terang kembali, meredup lagi... tapi juga cuma sekelebat saja

ahhhhh... apalah artinya Nyatanya bahasa mentari asing di benak kita

 

Ketika jingga benar-benar merambati senja yang kian menua

perlahan gelap malam siap memangsa

di mulut gelap baru kita terhenyak

bahwa hati kita tak cukup lapang

menyinarkan mentari di gelap malam

 

Sungailiat, penghujung Juli 2023

 

Penulis:

Dr. Gatot Sarmidi,M.Pd.,  Dosen FBS-Universitas PGRI Kanjuruhan Malang, Pengurus PISHI wakil bidang Sastra

Penyunting:

Dr. Sulistyani, M.Pd., Dosen FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Pengurus PISHI