Beda Sikap Puan dengan Jokowi soal RUU PPRT, Jokowi Segera, Puan Enggan

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan DPR enggan terburu-buru membahas bakal beleid tersebut. Alasannya, dia ingin produk yang dihasilkan berkualitas. "Sejak awal periode sekarang ini kami mengedepankan untuk bisa melaksanakan pembahasan undang-undang itu secara berkualitas, tidak terburu-buru, namun berkualitas daripada kuantitas," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, Kamis, 19 Januari 2023.

Jan 20, 2023 - 02:08
Beda Sikap Puan dengan Jokowi soal RUU PPRT, Jokowi Segera, Puan Enggan

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera disahkan. Namun, DPR memiliki sikap berbeda.
 
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan DPR enggan terburu-buru membahas bakal beleid tersebut. Alasannya, dia ingin produk yang dihasilkan berkualitas. 

"Sejak awal periode sekarang ini kami mengedepankan untuk bisa melaksanakan pembahasan undang-undang itu secara berkualitas, tidak terburu-buru, namun berkualitas daripada kuantitas," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 19 Januari 2023.

Ada beberapa hal yang harus dipastikan sebelum dilakukan pembahasan. Pertama, substansi RUU PPRT.
 
Dia ingin RUU PPRT tak hanya mengakomodasi kepentingan asisten rumah tangga di dalam negeri. Tapi juga harus melindungi pekerja migran Indonesia (PMI).

"Bagaimana kemudian undang-undang ini menjadi satu payung hukum yang baik, bukan hanya buat PRT, tapi juga untuk PMI ke depan," ungkap Puan mengutip Medcom.id.

Selain itu, aspek pelibatan masyarakat harus dipastikan dalam pembahasan RUU PPRT. Menurut dia, masukan dari masyarakat sangat bermanfaat dalam penyusunan aturan.

"Kami selalu mengedepankan untuk bisa membuka ruang masukan dari elemen elemn yang ada di luar publik," sebut dia.

Terkait pengesahan RUU PPRT sebagai usul inisiatif DPR, Puan enggan memastikan hal itu kapan akan dilakukan. Sebab, pihaknya ingin melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Badan Legislassi (Baleg) sebagai penyusun draf dan naskah akademik RUU PPRT.

"Saya juga harus mendapatkan laporan dulu dari komisi terkait dan Baleg, sebenarnya substansi yang nanti akan dibahas seperti apa," ujar dia.

Jokowi Ingin Percepat Pengasahan RUU PPRT

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Sebab itu, ia meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melobi DPR untuk segera membahas RUU yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2023 itu.

"Untuk mempercepat penetapan UU PPRT ini, saya perintahkan kepada menteri hukum dan ham dan menteri ketenagakerjaan untuk segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dan dengan semua stakeholder," kata Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (18/6).

Ini adalah kali pertama Jokowi meminta RUU PPRT dipercepat pengesahannya, mengingat RUU ini sendiri sudah 'mangkrak' selama kurang lebih 19 tahun.

Mantan wali kota Solo itu menegaskan komitmen pemerintah melindungi pekerja rumah tangga. Ia mengklaim ada sekitar 4 juta orang pekerja rumah tangga di seluruh Tanah Air.

"Saya berharap UU PPRT bisa segera ditetapkan dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja rumah tangga dan kepada pemberi kerja serta kepada penyalur kerja," ucapnya.

Jika melihat sejarah pembahanan RUU PPRT, rancangan beleid ini sudah bolak balik keluar masuk dari daftar prolegnas DPR sejak 2004 silam.

Pada 2020, RUU tersebut bahkan selesai pembahasan di Badan Legislasi dan tinggal masuk ke Badan Musyawarah (Bamus).

Kala itu, pemerintah dan DPR juga sepakat membawa draf itu ke tingkat paripurna. Meski demikian, rencana itu tak berlanjut. Tiba-tiba RUU PPRT batal dibawa ke paripurna.

Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan RUU PPRT akan mengatur soal pemberian jaminan sosial (jamsos) bagi pekerja rumah tangga.

"Itu (jamsos) juga termasuk yang diatur dalam UU PPRT ini. Perlindungan dan jamsos kesehatan maupun ketenagakerjaan," katanya.

Menanggapi rencana pemerintah soal RUU PPRT, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini menuturkan ada banyak hal yang harus diatur dalam beleid tersebut.

Hal yang paling utama diatur adalah soal pengakuan dan perlindungan terhadap PRT. Menurutnya, pengakuan itu termasuk memberi keadilan pada PRT.

Selain itu, lingkup pekerjaan PRT juga harus diatur agar kedua belah pihak yakni pekerja dan pemberi kerja mengetahui batasan.

"Lingkup pekerjaan PRT itu apa saja? Jadi (misalnya) mencuci, menyikat rumah, mengasuh anak, merawat lansia," kata Lita.

Ia juga mengatakan RUU PPRT perlu mengatur hak dan antara PRT dan pemberi kerja alias majikan. Untuk PRT, hak yang dimaksud seperti libur mingguan, jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, cuti tahunan, hingga besaran upah yang disepakati.

Lalu, hak menjalankan ibadah dan hak mendapat tunjangan hari raya (THR). Adapun kewajiban PRT adalah melakukan pekerjaan rumah tangga sesuai dengan kesepakatan.

Sementara itu, hak untuk majikan bisa mencakup mendapat hasil kerja dari PRT sesuai dengan kesepakatan hingga hak mendapat identitas PRT yang valid.

Menurut Lita, majikan sangat berhak mengetahui identitas dan latar belakang dari ART. Hal ini diperlukan agar kedua belah pihak bisa bekerja sama dengan baik tanpa ada kecurigaan.

"Kedua belah pihak harus mendapatkan juga informasi yang valid, mengenai identitas, baik PRT ataupun pemberi kerja. Kemudian situasi kerjanya serta situasi asal latar belakang dari PRT," ujarnya.

Sedangkan, kewajiban majikan meliputi memberi upah sesuai kesepakatan, memberikan libur kepada PRT, cuti, hingga tunjangan.

Lebih lanjut, Lita menuturkan RUU PPRT juga harus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penyalur kerja.
Menurutnya, ketentuan terkait kesepakatan dengan penyalur harus jelas dan ada dokumen resmi. Penyalur juga tidak boleh memberikan keterangan palsu.

Tak hanya itu, pemerintah juga harus mengatur agar penyalur tidak memotong upah PRT. Kemudian, penyalur juga harus memberikan data yang valid dari para PRT.

Lita juga mengingatkan agar pemerintah mengatur alur pengawasan PRT. Hal itu bisa dilakukan dengan melibatkan Disnaker hingga RT/RW atau kelurahan.

Menurutnya, PRT harus didaftarkan kepada pihak RT/RW tempat ia bekerja. Kemudian, RT/RW melapor pada kelurahan.

Dengan begitu, baik keluarga PRT maupun masyarakat sekitar rumah majikan juga bisa memantau. Jika hal ini dilakukan, kekerasan pun bisa terhindarkan.

Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan pengakuan atas pekerjaan PRT sebagai profesi sangat penting.

"Selain akan berpengaruh kepada nominal pendapatan PRT yang akan disesuaikan dengan aturan pendapatan yang ada, harga diri dan harkat martabat PRT juga akan sangat terangkat, mengingat profesi PRT selama ini cenderung dipandang sebelah mata oleh banyak orang," kata Ronny.

Ia juga mengatakan pemerintah harus serius dalam memberikan perlindungan kepada PRT dalam RUU tersebut. Pasalnya, perlindungan hukum PRT juga sangat krusial mengingat pekerjaan di ranah domestik sangat rawan atas kekerasan dan pelecehan, tapi sangat sulit terekspos karena berbagai faktor.

Menurut Ronny, dengan aturan yang jelas soal perlindungan PRT, maka institusi untuk penegakannya pun harus segera dibuat. Hal ini dilakukan agar jelas jalur pengaduan dan penyelesaiannya.

"Jaminan perlindungan ini akan melengkapi pasal-pasal pengakuan pada profesi PRT," imbuhnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengatur ketentuan soal upah minimal, model kontrak kerja, aturan jam kerja, dan memperjelas aturan yang masih rancu.

"Begitu pula soal pasal-pasal 'just in case' seperti terjadi pelecehan, kekerasan, atau wanprestasi pembayaran gaji, atau pula wanprestasi dalam menjalankan tugas PRT, harus pula dibuat terang benderang," ucap Ronny.(sir/han)