Sastra Naga Antara Simbol, Mitos, Dan Imajinasi

Cerita rakyat Nusantara kaya akan versi rupa objek cerita. Begitu juga transformasinya dalam produk karya sastra modern.Salah satu aspek yang menarik dalam perbandingan sastra adalah sosok naga.

Mar 11, 2023 - 18:33
Sastra Naga Antara Simbol, Mitos, Dan Imajinasi
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Gatot Sarmidi, M.Pd.

Cerita rakyat Nusantara kaya akan versi rupa objek cerita. Begitu juga transformasinya dalam produk karya sastra modern.Salah satu aspek yang menarik dalam perbandingan sastra adalah sosok naga.Sebenarnya sosok naga identik dengan cerita yang mengandung unsur ular atau mamalia yang bisa terbang.Berbeda tradisi dalam menghadirkan sosok naga sebagai binatang imajinatif dan mitologis dalam cerita-cerita rakyat yang pernah berkembang di belahan dunia. Gambaran naga di dalam cerita yang berkembang di Eropa berbeda dengan yang berkembang di Asia. Begitu juga, gambaran naga di dalam cerita-cerita rakyat yang ada di Jawa dan di Bali.

Sebagai sebuah perbandingan hadirnya sosok naga dalam cerita yang ada di Jawa dan Bali. Cerita naga tersebar dalam tradisi dongeng dan representasinya dapat hadir secara verbal maupun nonverbal. Cerita dan ikon naga memperkenalkan gambaran imajinatif yang dipercaya dan diyakini ada.Representasi naga hadir secara estetis dalam berbagai bentuk yang ada di candi, pura, atau perangkat gamelan. Begitu juga dalam berbagai ukiran. Di Jawa sosok naga ada di candi Panampihan, candi Penataran, candi Kidal, dan patirtan Jalatunda. Biasanya, naga hadir dalam cerita pengadukan samudra untuk mencari air keabadian (samudramanthana). Cerita naga hadir pula dalam cerita pemindahan gunung Mahameru sebagaimana diceritakan dalam Tantupagelaran.

Dalam sastra, sosok naga dalam berbagai cerita. Salah satu cerita naga hadir dalam cerita wayang, misalnya dikenal dengan beberapa tokoh yang merepresentasikan sosok naga baik tokoh itu memang naga atau tokoh tertentu yang bertiwikrama menjadi naga, misalnya naga Antaboga, Naga Gini, dan Naga Tatsaka. Naga Anantaboga memiliki anak bernama Nagagini dan atas perkawinannya dengan Brata Sena, ia mempunyai anak bernama Antareja. Sedangkan dalam cerita rakyat dikenal juga dalam beberapa legenda dan mitos di Jawa dan Bali, yakni Naga Baruklinting, Naga Banda dan Naga Basuki.

Sang Hyang Antaboga merupakan tokoh pewayangan berkarakter naga. Dalam konteks cerita pewayangan, Antaboga merupakan simbol penguasa bumi. Sementara itu, simbol penguasa langit dihadirkan tokoh antropoanimal berupa garuda. Tokoh Antaboga dikisahkan sangat sakti. Tokoh bisa dikisahkan dapat menjelma menjadi wujud manusia. Hyang Antaboga merupakan  Dewa yang beristana di Saptapratala, artinya ia ada di tujuh lapis bumi. Gambaran naga Antaboba bermata kedondong, berhidung dan bermulut serba lengkap, bermahkotakan topong, berjambang dengan garuda membelakangi, berjenggot, berbaju, berselendang, bersepatu, dan berpakaian Dewa lengkap.

Dalam cerita rakyat di Jawa, sosok naga biasanya digambarkan sebagai pelindung atau pengayom. Sosok naga di Jawa  sering ditemukan dalam pahatan yang ada di gerbang, pintu masuk, atau undakan tangga dengan maksud melindungi bangunan. Naga Jawa juga ditemui di beberapa relief candi. Naga di candi ini dinamakan Naga Taksaka yang bertugas menjaga candi. Umumnya ular naga dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga: mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik ataupun bentuk makara dengan naga yang menganga dengan seekor singa di dalam mulutnya. Naga Taksaka dikenal dalam pewayangan. Naga Taksaka dalam cerita Mahabharata sebagai naga yang membunuh Parikesit.

Dalam cerita pewayangan, naga Taksaka tinggal di kahyangan. Beberapa naga muncul dalam cerita pewayangan, di antaranya naga Ananta dan naga Basuki. Parikesit adalah seorang maharaja asal kerajaan Hastinapura. Pada saat pergi berburu, Parikesi kehilangan jejak buruannya. Pada saat itu ia masuk ke sebuah pertapaan tempat tinggal brahmana. Di tempat pertapaan itu, Parikesit  bertanya kepada seorang pertapa. Dia adalah Samiti. Petapa itu  sedang duduk bermeditasi.  Karena hanya Sumiti yang bisa ditemui dan karena sedang bertapa Sumiti diam membisu pada saat Parikesit bertanya. Karena Parikesit marah, sang raja mengambil bangkai ular dengan panahnya dan mengalungkannya di leher petapa. Mengetahui perbuatan Parikesit, Sang Srenggi, merasa marah. Atas penjelasan Sang Kresa yang mengetahui kejadian yang telah terjadi, Sang Srenggi mengutuk Raja Parikesit agar dia mati digigit ular tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Samiti kecewa pada anaknya yang telah mengutuk Raja Parikesit. Akhirnya,  ia pergi menemui raja tentang perihal kutukan tersebut, tetapi Raja Parikesit malu dan lebih memilih melindungi diri dari kutukan. Kemudian Sang Srenggi mengutus naga Taksaka untuk membunuh Sang Raja.

Di Jawa, sosok naga juga dihadirkan dalam  bentuk keris, misalnya keris Naga Runting, keris Naga Ransang, keris Naga Sasra. Dalam dunia sastra, simbol keris dan kemistisannya hadir dalam berbagai pertunjukan tradisional, misalnya sebuah pertunjukan ludruk dengan lakon Keris Naga Sastra Sabuk Inten. Begitu juga keris dengan sebutan nama naga ini juga hadir dalam berbagai cerita baik cerita komik bergambar atau cerita animasi. Sebagaimana wujud gaman atau pusaka berwujud keris tersebut dinamakan naga karena memang bentuk bilah keris yang melengkung menyerupai ekor naga. Di samping wujud keris, ada juga pusaka menyerupai naga yang berbentuk tombak. Misalnya, sebuah tombak yang bemama tombak Naga Baru Kelinting. Pemilik tombak Naga Baru Klinting ini ada dalam cerita Ki Ageng Mangir dengan tokoh utamanya  Ki Ageng Mangir Wanabaya. Ukiran naga juga sering ditemui di kepala kapal layar.

Tidak hanya di Jawa dan Bali, sosok naga juga hadir dalam cerita dan pertunjukan yang dipengaruhi oleh tradisi Tiongkok. Dalam tradisi itu, naga dianggap sebagai sosok yang bijaksana dan agung layaknya dewa dan dianggap sebagai  hewan mitologis yang menjadi simbol Shio. Di Sumatra pun mengenal legenda yang baerkaitan dengan naga.Misalnya, dalam budaya Minangkabau mengenal legenda tempat yang diciptakan oleh Sang Naga yakni cerita Ngarai Sianok. Sementara di Jawa, ada legenda Telaga Pasir, legenda Telaga Ngebel, legenda Rawa Pening, dan legenda Ranu Grati. Semua legenda itu berhubungan dengan kisah naga.

Dalam prosa fiksi Indonesia pun ada beberapa novel yang di dalamnya dikembangkan dengan gambaran imajinatif cerita naga. Gambaran tokoh naga tersebut ada yang asli sebagai tokoh baru yang imajinatif dalam novel, ada juga yang hasil transformasi dari teks sebelumnya. Contohnya, naga dalam sastra Indonesia dihadirkan dalam beberapa novel, di  antaranya pada novel Haricatra (2022) karya  Arya Lawa Manuaba, Haricatra  direncanakan menjadi trilogi, di antaranya novel fantasi remaja berjudul Haricatra, yang bercerita tentang naga puspa yang bisa menyembuhkan orang sakit. Novel keduanya novel Labuhan Kemang.Nukila Amal menghadirkan yang memiliki sisi penceritaan dengan menghadirkan naga, yakni pada  novelCala Ibi(2004). Novel lingkungan hidup Meiliana K. Tansri dengan judul Mempelai Naga(2010). Novel karya Kirito, Kaisar Naga Bela Diri.Novel yang berjudul Ada Naga di dalam Tubuhku karya Dava.novel Naga Hong Kong karya Naning Pranoto.

Selain dalam prosa fiksi, sosok naga juga ada dalam sinetron sebagai hasil ransformasi dari cerita sebelumnya. Contohnya, sinetron Anglingdarma sebagai filmisasi dari serat Anglingdarmo. Dalam serat tersebut, naga berarti ular yang besar sebagai makhluk mitologis. Dalam cerita Anglingdarma ia memanah ekor Naga Gini sehingga terluka, pada saat itu ia menemui Naga Gini berselingkuh dengan ular tampar. Naga Gini sebenarnya istri dari seorang gurunya yang tinggal dikerajaan Yawastina. Demi kebaikan, Angling Dharma membunuh ular jantan tersebut. Nagagini melaporkan kejadian palsu dengan keadaan terluka kepada Nagaraja untuk membalaskan kematian temannya yang telah dibunuh oleh Angling Dharma. Nagaraja itu bernama Naga Bergola. Ternyata, Naga Gini membuat laporan palsu kepada suaminya. Naga Bergola mengetahui ketika ia menyusup ke Malapati dan mengetahui dari pembicaraan Anglingdarma kepada setyawati istrinya.

Cerita naga juga dalam sinetron Tutur Tinular dengan tokoh Arya Kamandanu dengan pedangnya yang disebut dengan pedang Nagapuspa. Ia adalah putra Mpu Hanggareksa, ahli pembuat senjata dari kerajaan Singhasari.Kamandanu adalah anak kedua.Kakaknya bernama Arya Dwipangga. Ia tidak menyukai silat, tetapi ia seorang penyair karena menyukai  astra. Watak mereka berdua bertolak belakang, Jika Kamandanu terkesan lugu, polos, dan apa adanya, sebaliknya Dwipangga terkesan cerdas, terpelajar, dan pandai memikat hati dengan kemampuan bahasa yang indah. Kamandanu jatuh cinta dengan gadis desa Manguntur, Nari Ratih. Namun, hubungan asmara itu kandas karena kakaknya. Dwipangga merayu kekasi adiknya itu hingga terjadi hubungan terlarang di Candi Walandit yang membuat Ratih hamil. Kamandanu memutuskan untuk mendalami kanuragan hingga dirinya terpilih menjadi pendekar muda pilih tanding.Mpu Ranubaya memberikan pedang yang dirancangnya sendiri secara khusus untuknya.

 

 

Dr. Gatot Sarmidi, M.Pd adalah Dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan pengurus bidang sastra dalam Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd., dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Ketua 5 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)