MATH BELIEF AVAILING DAN NON-AVAILING

Oleh: Dr. Rahaju, M.Pd.

Apr 4, 2024 - 12:10
MATH BELIEF AVAILING DAN NON-AVAILING

Math belief sudah pernah dibahas sebelumnya, yaitu terkait ruang lingkupnya. Sekedar mengingatkan kembali, math belief adalah keyakinan, persepsi, atau pandangan seseorang terhadap matematika. Lalu apa macam dan dampak math belief terhadap proses belajar matematika selanjutnya?

Berdasarkan dampaknya terhadap proses belajar matematika, math belief dibedakan menjadi dua, yaitu math belief availing dan non-availing. Math belief availing adalah keyakinan yang menguntungkan. Keyakinan ini akan membantu atau mendukung proses belajar matematika. Keyakinan bahwa pengetahuan matematika berguna untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari merupakan contoh math belief availing.

Keyakinan pentingnya atau manfaat matematika akan memotivasi seseorang menjadi lebih giat dan antusias mempelajari matematika. Siswa bersemangat mempelajari operasi penjumlahan dan pengurangan karena pengetahuan tersebut bermanfaat untuk melakukan transaksi jual beli. Sebagai, contoh: Ani membeli sebuah coklat seharga Rp 2.500,00. Ia membayar dengan uang Rp 5.000,00. Berapa uang kembalian yang akan diterima Ani?

Masalah yang dihadapi Ani atau masalah serupa merupakan masalah yang dihadapi siswa. Oleh karena itu, siswa merasa berkepentingan untuk menguasai konsep tersebut. Hal ini akan meningkatkan minat belajar siswa.

Keyakinan bahwa belajar matematika itu seru dan penuh tantangan juga merupakan math belief availing. Dengan keyakinan tersebut, siswa merasa senang belajar matematika. Siswa akan terus berupaya menemukan penyelesaian masalah matematika.

Math belief non-availing adalah keyakinan yang tidak berpengaruh terhadap proses belajar selanjutnya. Math belief non-availing tidak memberikan dukungan terhadap belajar matematika. Bahkan, math belief non-availing justru menjadi penghambat belajar matematika.

Keyakinan bahwa matematika adalah pelajaran yang membosankan, abstrak, tidak menarik, dan sulit adalah contoh math belief non-avaling. Anggapan tersebut mengarahkan siswa untuk menolak sebelum mempelajari matematika. Sebelum membaca soal, siswa sudah menyerah, tidak yakin dirinya mampu menyelesaikan soal tersebut.

Masalah matematika berikut diberikan kepada siswa sekolah dasar. “Adi mendapat tugas membuat kolase. Ia mendapatkan biji jagung sebanyak 14 kg. Kemudian biji jagung digunakan untuk membuat kolase sebanyak 7 kg. Berapa kg sisa biji jagung yang dimiliki Adi?”

Sebenarnya, masalah tersebut untuk melatih siswa menyelesaikan masalah operasi pengurangan. Masalah disajikan dalam bentuk soal cerita dengan harapan menunjukkan pentingnya matematika. Model matematika untuk soal tersebut adalah 14 – 7 = ….

Sekilas, masalah yang dihadapi Adi adalah masalah yang wajar. Akan tetapi, kalau dicermati lebih mendalam akan timbul pertanyaan, berapa besar kolase yang dibuat Adi, sehingga menghabiskan 7 kg biji jagung? Berapa lama waktu yang diperlukan Adi untuk membuat kolase? Mampukah Adi, seorang siswa sekolah dasar, membuat kolase tersebut?

Masalah tentang Adi dibuat oleh seseorang yang mempunyai math belief non-availing. Ia memandang matematika hanyalah ilmu hitungan atau komputasi. Masalah matematika diselesaikan dengan menggunakan hitungan saja. Ia tidak menyadari bahwa matematika adalah ilmu bernalar.

Keyakinan bahwa matematika merupakan hafalan juga merupakan math belief non-availing. Siswa dengan keyakinan bahwa matematika adalah hafalan sangat mengandalkan kemampuan menghafal. Ia akan kesulitan menyelesaikan 3 ´ 2 = … jika lupa atau tidak hafal.

Berbeda dengan siswa dengan math belief availing. Ia dapat mengasosiasikan soal tersebut dengan aturan minum obat “3 ´ 2 tablet sehari”. Dengan aturan tersebut, obat diminum 2 tablet di pagi hari, 2 tablet di siang hari, dan 2 tablet di sore hari. Dengan demikian, 3 ´ 2 = 2  + 2  + 2 = 6. Mungkin butuh waktu lebih lama, tetapi siswa dengan math belief avaling dapat menyelesaikan soal tersebut.

Math belief non-availing lainnya adalah memandang matematika sebagai rumus dan prosedur. Keyakinan ini mengarahkan siswa untuk menghafal rumus serta prosedur penyelesaian suatu masalah.  Oleh karena itu, tidak heran jika di dinding-dinding kelas dipasang poster kumpulan rumus matematika seperti rumus luas bangun datar atau volume bangun ruang.

Keyakinan bahwa matematika adalah prosedur akan melahirkan keyakinan bahwa guru adalah satu-satunya sumber kebenaran dalam penyelesaian masalah. Semua penyelesaian masalah selalu mencontoh yang dilakukan guru. Dengan demikian, beban belajar matematika menjadi lebih berat karena harus menghafal rumus dan prosedur atau tahapan penyelesaiannya. Semakin berat beban belajar matematika, siswa semakin enggan belajar matematika.

Math belief non-availing banyak dialami siswa pada berbagai jenjang. Bahkan mahasiswa dan guru  juga memiliki math belief non-availing. Sebagai contoh: mahasiswa tidak yakin bahwa masalah matematika dapat diselesaikan dengan logika dan akal sehat. Guru memberikan masalah matematika yang tidak logis.

Guru yang mempunyai math belief non-availing dapat menyebabkan terbentuknya math belief non-availing pada siswa. Sebagai contoh, guru memberikan masalah yang tidak logis, tetapi dapat diselesaikan dengan rumus. Secara tidak langsung, siswa akan menganggap bahwa penyelesaian masalah matematika adalah proses mekanis yang mengandalkan rumus.

Math belief non-availing yang satu akan membentuk math belief non-availing yang lainnya. Semakin lama menjadi tumpukan math belief non-availing. Hal ini mengakibatkan belajar matematika terasa kering, tidak mengembangkan kreativitas siswa. Akibat lebih lanjut adalah siswa tidak menyukai matematika. Oleh karena itu, penting mengenali math belief non-availing.

Kesadaran dan pengetahuan akan math belief non-availing berguna untuk penangganan belajar matematika sejak awal.  Penanggan satu math belief non-availing diharapkan mencegah terbentuknya math belief non-availing lainnya. Selain itu, mencegah penularan math belief dari guru kepada siswanya. 

 

Penulis: Dr. Rahaju, M.Pd., dosen Prodi Pendidikan Matematika Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.

Penyunting: Dr. Sulistyani, M.Pd., dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri dan anggota PISHI.