Strategi Menarik Minat Mahasiswa untuk Menyukai Sastra

Oleh: Lilis Lestari Wilujeng

Mar 12, 2024 - 17:44
Strategi Menarik Minat Mahasiswa untuk Menyukai Sastra

Sebagai dosen di bidang pengajaran sastra, saya merasakan bahwa memulai kelas-kelas sastra adalah sebuah tantangan tersendiri. Di kelas Pengantar Sastra Inggris, misalnya, saya harus memastikan bahwa mahasiswa punya pengetahuan dasar yang memadai untuk bisa masuk ke bidang yang lebih dalam lagi. Di semester-semester selanjutnya, mereka harus mengikuti serangkaian mata kuliah sastra yang lain.

 

Strategi yang biasanya saya lakukan di minggu-minggu pertama adalah memastikan bahwa mereka tertarik terlebih dahulu pada bidang kajian dan materi yang akan mereka pelajari di kelas tersebut selama satu semester. Tentu di awal perkuliahan kita perlu memunculkan pertanyaan-pertanyaan tertentu sebagai pemantik diskusi.

 

Sastra tentu bukan hanya kumpulan kata-kata di atas kertas. Karya sastra  bisa menjadi jendela menuju dunia imajinasi dan refleksi mendalam. Untuk memahami dan menikmati sastra, diperlukan pendekatan kreatif yang mampu mengundang minat dan rasa ingin tahu mahasiswa. Bagaimana kita dapat membuka pintu ke dunia sastra, mengaitkan tema-tema yang relevan dengan kehidupan mereka, dan menggunakan beragam cara untuk menikmati serta memahami kekuatan kata-kata?

 

Langkah pertama adalah mengundang mereka untuk menyebutkan karya-karya apa saja yang telah mereka baca. Mengapa karya-karya tersebut disebut karya sastra. Selanjutnya, kita masuk ke dalam definisi sederhana beserta batasan-batasannya. Mereka bisa menyebutkan berdasarkan pengertian mereka sendiri, atau membuka sumber tertentu sebagai acuan.

 

Aktivitas ini akan memicu pemikiran kritis mereka tentang apa yang disebut karya sastra. Dalam khasanah sastra Inggris, ada beberapa topik yang bisa dipakai sebagai pemantik rasa ingin tahu mahasiswa. Sebagai pengantar, kita sampaikan kepada mereka bahwa sastra adalah ekspresi manusia yang menggunakan bahasa verbal, dengan cara yang tidak biasa.

 

Dari hal tersebut, kita bisa memulai dengan menyebutkan anagram, sebuah permainan kata yang huruf-hurufnya bisa diacak sehingga akan memunculkan kata yang lain dengan jumlah huruf yang persis sama dengan kata asal. Misal, dormitory menjadi dirty room, atau astronomers menjadi no more stars. Hal ini pulalah yang dipakai oleh Dan Brown dalam novel Da Vinci Code yang sangat terkenal tersebut. Misteri cerita dimulai dengan keberadaan anagram yang harus dipecahkan oleh pelaku utama, dan menuntun cerita ke alur yang lebih rumit lagi. Untuk membuat mahasiswa lebih tertarik, mereka bisa menyusun kata-kata lain dari nama-nama mereka sendiri.

 

Selanjutnya, kita ajak mereka berpetualang dengan mengeksplorasi bentuk-bentuk puisi eksperimental seperti concrete poetry. Puisi jenis ini dikembangkan dengan menyusun kata-kata atau huruf menjadi bentuk-bentuk tertentu sebagai tema utama. Salah satu contoh yang saya pakai selama ini adalah sebuah puisi berjudul Africa dari buku Poetry for Pleasure (1991). Berpuluh kata yang menggambarkan keadaan Afrika disusun sedemikian rupa menjadi bentuk benua Afrika lengkap dengan pulau besar Madagaskar. Bisa kita bayangkan perjuangan sang kreator dalam mengatur beraneka ragam kata dengan variasi jumlah huruf yang secara konsisten menggunakan font dan ukuran tertentu, sehingga bisa membentuk benua Afrika lengkap dengan detil lekuknya.

 

Bentuk puisi yang lain adalah puisi akrostik. Di sini mahasiswa bisa mengembangkan puisinya sendiri dengan melihat contoh yang kita berikan, yaitu menentukan topik serta judul terlebih dahulu. Huruf-huruf dari judul tersebut lalu disusun ke bawah, dan masing-masing huruf dipakai sebagai awal dari setiap baris puisi. Sebagai pengingat, biasanya puisi jenis ini memiliki judul, tema, dan isi baris-baris yang mendukung tema utama.

 

Tidak lupa kita juga bisa menonjolkan kekhasan puisi Inggris klasik yang sangat setia dengan penggunaan ritme tertentu. Ritme (rhythm) dalam puisi berbahasa Inggris bisa dideteksi dengan melihat pola suku kata dalam baris-baris puisi. Iambic, misalnya, menandakan bahwa suku-suku kata dalam baris puisi tersebut memiliki pola ∕. Tanda mengindikasikan suku kata yang tidak memperoleh tekanan (accented), sedangkan tanda ∕ mengindikasikan suku kata yang bertekanan (unaccented).

 

Contoh yang biasa saya pakai karena keindahan ritmenya adalah puisi berjudul We Real Cool karya Gwendolen Brooks. Terdiri dari 4 bait, puisi ini memiliki empat suku kata di baris pertama, dan tiga kata di baris kedua. Keistimewaannya terletak pada cara mendeklamasikan puisinya. Sebelum menyebutkan cara penyairnya sendiri dalam membaca puisi tersebut (hasil unduhan dari internet juga), saya terlebih dahulu meminta mahasiswa membaca sesuai pemahaman mereka, dan terbukti sering salah. Setelah itu, saya akan memainkan audio file deklamasi puisi oleh Gwendolen Brooks sendiri, yang tentu saja sangat bermakna dan membantu kami semua dalam memahami isi puisi.  

 

Pilihan kata atau diksi yang khas juga bisa kita tampilkan untuk membuat mahasiswa menyadari bahwa bahasa dalam karya sastra disusun dengan tujuan tertentu, sehingga tidak lagi terdengar biasa. Deotomatisasi bahasa seperti ini biasanya saya jelaskan dengan menggunakan dua karya favorit, yaitu cerpen berjudul Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu karya Hamsad Rangkuti dari Kumpulan Cerpen Kompas (1998), serta Diamput, Sepatuku Ilang Nduk Mejid karya Suparto Brata dalam Antologi Crita Cekak: Trem (2000).

 

Dua karya ini sangat menggelitik karena dari judulnya saja orang akan penasaran akan isi cerita. Saya biasanya menngajukan beberapa pertanyaan pembuka mengapa dua penulis menggunakan judul-judul di atas. Saya bahkan meminta beberapa mahasiswa untuk menyederhanakan judul cerpen Rangkuti dengan kata-kata mereka sendiri, yang kadang masih belum terlalu tepat. Kita perlu bertanya, mengapa penulis tidak menggunakan ekspresi yang lebih mudah dimengerti, seperti ‘Maukah Kau Membantuku Melupakannya’. Hal ini tentu akan memicu diskusi lebih mendalam. Diskusi memungkinkan mahasiswa untuk berbagi pandangan dan memahami interpretasi yang berbeda, meningkatkan pemahaman dan meningkatkan minat.

 

Selain itu, kita juga bisa bertanya kepada mahasiswa mengapa Suparto Brata menggunakan kata-kata kasar seperti ‘diamput’, disejajarkan dengan nama sebuah tempat suci untuk orang beribadah. Ternyata, kata-kata kasar ini diucapkan Yadiran, sang pelaku utama dari Jawa Timur, dalam meluapkan perasaan marahnya. Semula dia akan ikut sang majikan untuk pergi ke Yogyakarta naik mobil, namun ditinggal karena dia harus melaksanakan sholat Jumat terlebih dahulu. Ketika keluar masjid, ternyata sandalnya dicuri orang, sehingga dia harus balik ke rumah untuk mengambil gantinya. Maka keluarlah ekspresi ‘diamput, sepatuku ilang nduk mejid’. Bayangan ikut majikan ke Yogya sudah pasti membuatnya bahagia. Ketika ternyata ditinggal oleh rombongan, tentu dia merasa sangat kecewa. Pada akhir cerita, dia baru tahu bahwa mobil yang dikendarai sang majikan mengalami kecelakaan di daerah Madiun. Tak ada satu penumpang pun selamat. Dengan demikian, Yadiran sadar bahwa hal yang semula membuat dia marah, yaitu kehilangan sepatu di masjid ketika dia sholat Jumat, malah menyelamatkannya dari kecelakaan maut. Kata ‘diamput’ di sini seolah mengingatkan bahwa hal yang tidak menyenangkan pun bisa jadi memiliki makna tertentu dalam hidup kita, semacam berkah terselubung. Dari topik ini kita bisa mengenalkan mahasiswa akan tujuan penggunaan diksi tertentu dalam karya sastra.

 

Demikian beberapa contoh strategi yang bisa diimplementasikan dalam kelas-kelas pengantar sastra. Dengan menyediakan berbagai cara untuk terlibat dengan sastra dan membuat pengalaman tersebut relevan dengan kehidupan mahasiswa, kita dapat membantu meningkatkan antusiasme mereka terhadap sastra. (****)

 

Penulis: Lilis Lestari Wilujeng adalah dosen di Prodi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa, Universitas Ma Chung yang selama ini mengajar kelas-kelas sastra seperti Introduction to English Literature, English Prose, dan English Poetry.