Kebocoran Tradisi Kerajaan di Era Republik

Oleh: Dr. Aries Purwanto, M.Pd

Jun 15, 2024 - 08:54
Kebocoran Tradisi Kerajaan di Era Republik

Tulisan ini mencoba menarik benang merah keberadaan Indonesia masa lalu (Nusantara) ke arah Indonesia saat ini (Republik Indonesia). Benang merah yang akan diurai adalah sekitar kultur (kebudayaan) atau lebih sempit pada tradisi. Nusantara pernah mengalami jaman kejayaan ketika pemerintahan berbentuk kerajaan, seperti Sriwijaya, Majapahit, Kalingga, Mataram, Demak, dan sebagainya.

 

Raja dianggap sebagai “utusan Tuhan di muka bumi” sehingga “titah raja” merupakan “hukum”, tata-aturan, atau pun perundangan-undangan bagi rakyatnya. Masyarakat Jawa mengenal istilah Sabda Pandita Ratu dan idu geni (ludah api) yang menggambarkan betapa sakralnya ucapan Sang Raja. Ucapan Sang Raja harus dijalankan, segala ucapan Sang Raja harus diwujudkan oleh rakyatnya. Rakyat sebagai abdi atau hamba harus tunduk dan berbakti serta menjunjung tinggi “titah Raja”. Rakyat yang secara tradisi sudah ditanamkan sejak kecil dari waktu ke waktu, harus taat dan patuh kepada “junjungannya”, yaitu raja yang terpilih dan sebagai pemerintah (orang yang memberi perintah).

 

Sebagai manusia, raja sebenarnya juga memiliki beberapa keterbatasan dan nafsu yang kadang sulit dikendalikan. Sifat ingin menguasai, merasa lebi kuat, berkuasa, adigang – adigung - adiguna, sapa sira - sapa ingsung, sampai pada sebuah keputusan-keputusan strategis kerajaan didominasi oleh raja. Salah satu keputusan raja yang diterapkan dan menjadi tradisi turun-temurun adalah “sistem upeti”. Sistem ini memberlakukan bahwa siapa yang “lemah” harus menyerahkan glondhong pangareng-areng kepada yang kuat. Dalam konteks kerajaan, para adipati yang memiliki wilayah kecil-kecil harus menyetorkan “upeti” berupa hasil bumi, uang, ternak, dan beberapa kekayaan setempat agar mendapat pengayoman dari kerajaan.

 

Kembali lagi rakyat harus peras keringat, banting tulang untuk “setoran” rutin yang sudah ditetapkan besar dan jumlahnya. Hal ini terbagi dalam dua penafsiran, yaitu (1) sebagai bentuk rasa patuh, tunduk, hormat, takdim, dan kebanggan karena bisa berbakti kepada kerajaan; dan (2) sebagai bentuk penindasan, pemerasan, pemerkosaan, dan perampasan kekayaan rakyat untuk kepentingan segelintir orang di sekitar istana. Semua pemahaman berjalan bersama, karena ada rakyat yang “ridho” bersusah payah demi negerinya dan akan mendapat perlindungan dari penguasa.Di sisi lain ada sebagian rakyat merasa “terpaksa” menyerahkan hartanya atau pun ternak dan hasil buminya.

 

Seiring perjalanan waktu, banyak dinamika kerajaan yang pasang-surut. Ada yang jaya sampai mencapai jaman “keemasan”, ada yang hanya bertahan beberapa tahun dan dilibas oleh kerajaan yang lebih kuat. Hukum rimba masih berlaku, “siapa yang kuat, itu yang berkuasa” bahkan berhak “memakan” yang lemah. Kondisi ini berjalan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, sehingga  menjadi sebuah “kultur” yang mengakar, mendarah-daging ke generasi-generasi berikutnya. Sampai pada saatnya menjalar ke sistem pemerintahan republik. Nusantara telah bermetamorfosa menjadi Republik Indonesia. Tercerabutkah budayanya (tradisi-tradisinya) dari sistem kerajaan? Sebagian iya, tetapi masih ada kebocoran budaya yang terus mewarnai republik ini.

 

Salah satu yang menjadi fokus kebocoran budaya adalah budaya “setor upeti”. Untuk mendapat “perlindungan”pemerintah dan menempati posisi-posisi tertentu yang strategis, maka “setor upeti” masih terus berjalan. Dengan era yang berbeda, kemungkinan kemasannya berbeda, tetapi esensi dan hakekatnya masih tetap bahwa “setor upeti” merupakan kebocoran tradisi jaman kerajaan. Sistem pemerintahan dan ketatanegaraannya sangat berbeda antara kerajaan dengan republik, tetapi para pelaku birokrasi dan pelaksana pemerintahan masih diwarnai sistem pemerintahan kerajaan.

 

Penguasa selalu memiliki cara untuk mendapatkan “setoran upeti” dari bawahannya. Demikian seterusnya sampai pada “pelaku kehidupan” di tingkat akar rumput. Pemilu yang “bermartabat” telah usai dan menghasilkan pasangan presiden dan wakil presiden. Demikian juga pemilihan anggota legislatif juga sudah terpilih. Setelah pelantikan para petinggi negeri ini, maka akan diikuti pesta berikutnya yaitu Pilkada serentak. Pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) akan diwarnai “setor upeti” dengan tawar-menawar untuk dapat lolos sebagai bakal calon. Proses panjang akan berjalan dan tradisi “setor upeti” selalu mewarnai setiap peristiwa bersejarah tersebut.

 

Simbol-simbol bertebaran untuk membungkus tradisi “setor upeti” agar tidak tertangkap KPK. Semua dikemas sesuai era yang berkembang saat ini. Era digitalisasi dengan sistem informasi dan komunikasi yang serba canggih akan membungkus tradisi “setor upeti” dengan sangat rapi. Hanya dengan berkirim gambar kursi sudah membuka peluang untuk “berebut” mendudukinya.  Peluang-peluang untuk bermain “setor upeti” selalu terbuka lebar, sehingga hampir bisa dipastikan bahwa pejabat negeri ini  terbentuk dari “setor upeti”. Dengan berlindung pada pepatah Jawa “Jer basuki mawa bea” maka berkembang  pesatlah tradisi tersebut.

 

Persoalan negeri ini akan menjadi blunder ketika pemerintah terlahir dari “setor upeti” yang di dalamnya penuh dengan ambisi dan nafsu “menguasai” dan keserakahan.  Dengan demikian terlahir pepatah-pepatah baru, seperti tak ada suara tanpa dana, wani piro, ingin cepat atau lambat, donasi menentukan lokasi, lokasi basah apa kering, semua bisa diatur, siapa cepat dia dapat, dan sejumlah ungkapan senada yang pada intinya “setor upeti” harus terjadi. Dari sejumlah fenomena dalam kehidupan sosial-politik-pemerintahan serta kemasyarakatan, penulis berkesimpulan bahwa telah terjadi kebocoran tradisi dari sistem pemerintahan kerajaan ke dalam sistem pemerintahan republik di negeri ini.  

 

Ini sekadar pemantik untuk membuka wilayah diskusi yang lebih luas dan dalam. Pengalaman dan pengetahuan serta pengamatan akan menyajikan data, fakta, serta fenomena yang penuh interpretasi dari berbagai sudut pandang. Muatan positif, negatif, baik, buruk, berkualitas atau tidak, etis dan tidak etis bukanlah ranah dalam pembahasan ini. Semoga…(***)

 

 

 

Dr. Aries Purwanto, M.Pd adalah dosen pada Institut Agama Islam Al Khoziny Sidoarjo dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Artikel ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., dosen Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).