Kampus dan Responsnya terhadap Artificial Intelligence  

Tak kurang dari seorang tokoh pemikir terkemuka di Indonesia menyatakan  bahwa salah satu ancaman masa depan untuk umat manusia adalah Artificial Intelligence (AI). Bahkan seorang sekaliber Elon Musk pun menyadari ancaman ini. Perlu diketahui bahwa perancang-perancang AI terbagi menjadi dua.

Jun 13, 2024 - 06:10
Kampus dan Responsnya terhadap Artificial Intelligence   
Patrisius Istiarto Djiwandono

Oleh: Patrisius Istiarto Djiwandono

Tak kurang dari seorang tokoh pemikir terkemuka di Indonesia menyatakan  bahwa salah satu ancaman masa depan untuk umat manusia adalah Artificial Intelligence (AI). Bahkan seorang sekaliber Elon Musk pun menyadari ancaman ini. Perlu diketahui bahwa perancang-perancang AI terbagi menjadi dua. Ada pihak yang mencemaskan perkembangan AI ini karena diramalkan akan mengikis kemanusiaan, dan ada pihak yang terus mengembangkan AI tanpa perduli pada ancamannya di masa depan. Bagaimana dengan perguruan tinggi di negeri ini? Setelah meledaknya popularitas ChatGPT di akhir 2022, bagaimana pendidikan tinggi mengambil sikap?  Artikel singkat ini akan mengulas beberapa jenis kampus sesuai dengan responsnya terhadap sepak terjang AI.

 

Kampus Oportunis

Begitu mendapati bahwa AI bisa melakukan nyaris semua hal dalam kegiatan akademik, kampus jenis ini pun memanfaatkannya habis-habisan untuk keuntungan pribadi. Para mahasiswa menggunakan AI tanpa risih untuk bisa mempermudah penyelesaian tugas. Para dosennya pun hanya pura-pura marah ketika mendapati praktik tersebut tapi diam-diam juga menggunakan AI untuk menelurkan artikel ilmiah, menulis laporan penelitian, bahkan menghasilkan data palsu untuk kinerja Tri Dharmanya dan menyelamatkan isian BKD-nya. Para pimpinan kampus tentunya tahu semua ini tapi mereka pura-pura tidak tahu.  Demikianlah pembusukan etika kemanusiaan dan pengikisan daya pikir manusia secara pelan tapi pasti menjadi sistemik di lembaga tersebut.

Ketika ditelisik lebih jauh, kampus-kampus semacam ini memang memanfaatkan AI untuk menaikkan peringkatnya melalui penerbitan karya ilmiah dalam jumlah masif. Tentu selalu ada justifikasi di balik semua kebijakan atau sikap.

 

Kampus Bijaksana

Kampus jenis ini tergolong cerdik dan bijaksana. Alih-alih bersikap reaktif terhadap gempuran AI, mereka melakukan introspeksi dan menyadari bahwa inti masalahnya adalah pada pembentukan karakter yang tepat. Maka ketika kampus lain jungkir balik dan heboh sendiri karena AI, kampus jenis ini akan menaikkan intensitas pendidikan karakter untuk mahasiswa dan dosennya.

Tindakan pendidikan karakter jujur, berintegritas, tekun, gigih, dan kreatif ditanamkan habis-habisan pada semua mata kuliah. Ajang rapat sampai sarasehan pun tak luput dari penanaman karakter seperti ini. Hasilnya adalah sivitas akademik yang tetap tegar di tengah godaan AI sehingga mereka tetap menggunakan kekuatan pikirannya dan kreativitasnya secara manusiawi.

Kalaupun mereka menggunakan AI, caranya sedemikian taktis sehingga tetap menyisakan ruang bagi mereka untuk mewujudkan cirinya sebagai manusia yang berakal budi, kreatif, dan mandiri, bukan manusia yang disetir mesin digital dan, bak kerbau dicocok hidungnya, menuruti saja apapun yang ditelurkan AI.

 

Kampus Cerdas

Kampus jenis ini sangat responsif terhadap sepak terjang AI di berbagai bidang. Mereka tak segan membentuk satgas untuk melakukan langkah-langkah yang tepat menghadapi gempuran AI. Mereka akan meninjau kembali peraturan-peraturan akademiknya untuk mengantisipasi berbagai tindak kecurangan yang mungkin dilakukan oleh civitas akademiknya. Mereka bahkan tak segan menerapkan pemblokiran situs-situs yang dianggap mempermudah -- lalu secara berangsur-angsur melumpuhkan -- pekerjaan berpikir dan berkreasi para mahasiswa dan dosennya.

Peraturan dan sanksi dirancang dan ditegakkan sehingga mahasiswa dan dosen tetap menggunakan kekuatan pikir dan kreativitasnya tanpa tergantung pada AI. Jika pun ada perkembangan tren tertentu dalam hal interaksi manusia dengan AI, kampus jenis ini tak segan untuk mempertimbangkan kembali batasan-batasan peraturannya atau membuatnya lebih luwes sesuai dengan perkembangan tersebut.

Karena namanya saja kampus cerdas, maka kampus jenis ini akan membekali mahasiswanya dengan ketrampilan digital dan kemampuan mengendalikan “kuda liar” yang bernama AI tersebut. Kurikulum dan paket-paket pelatihan dirancang untuk memampukan pesertanya menyikapi AI dengan taktis, dan mempunyai kemampuan mendayagunakan AI. Hasilnya adalah lulusan-lulusannya yang menjadi idaman banyak perusahaan karena memang kemampuan mengelola AI ini sedang menjadi daya pikat luar biasa bagi dunia kerja.

 

Kampus  Tak Acuh

Akhirnya, jenis terakhir adalah kampus yang  acuh tak acuh  terhadap sepak terjang AI. Tak ada paket kebijakan untuk menanggapi perkembangan yang mengancam integritas akademik. Praktik pembelajaran masih sama seperti yang biasa sudah dilakukan puluhan tahun. Tidak ada pihak yang perduli dengan sepak terjang AI. Penggunaan AI secara serampangan cenderung dibiarkan.

Upaya mengatasinya barangkali hanya terbatas secara insidentil oleh beberapa gelintir dosen yang akhirnya lenyap karena tidak ada dukungan kebijakan berarti dari segenap sistem di kampus itu. Pun tidak ada upaya “serangan balik” menunggangi AI untuk mempertajam daya pikir sivitas akademiknya tanpa mengerdilkan kemanusiaan mereka. Semua berjalan seperti biasa, sebagaimana yang sudah biasanya dilakukan selama puluhan tahun. Begitulah, kampus seperti ini akhirnya menyusuri jalan yang makin terjal sebelum mati sendiri tergilas kemajuan jaman.

Pada akhirnya, tentu terpulang kepada sidang pembaca yang kebetulan berkarir sebagai dosen atau guru, atau jajaran pemimpin lembaga pendidikan, untuk menentukan sikapnya.

 

Patrisius Istiarto Djiwandono, guru besar di bidang pendidikan bahasa di Prodi Sastra Inggris, Universitas Ma Chung.

Editor: Wadji