Cerita Jati Denok: Pohon Jati Raksasa Terbaik di Dunia serta Misteri yang Menyertainya

Batangnya tidak bulat, terdapat beberapa cekungan dan paling banyak di pangkal. Jati denok memiliki lingkar keliling sekitar 9 meter dan butuh setidaknya 7 rentangan tangan manusia dewasa untuk mencakupnya.

Apr 9, 2024 - 16:41
Cerita Jati Denok: Pohon Jati Raksasa Terbaik di Dunia serta Misteri yang Menyertainya

NUSADAILY.COM – BLORA - Sebatang pohon jati tua berusia ratusan tahun di Blora, Bernama jati denok memiliki sederet cerita dan memiliki kualitas terbaik di dunia.

Pohon setinggi sekitar 30 meter ini tumbuh di petak 62 B, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Temetes, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Temanjang, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung.

Tepatnya berada di hutan wilayah Desa Jatisari, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.

Batangnya tidak bulat, terdapat beberapa cekungan dan paling banyak di pangkal. Jati denok memiliki lingkar keliling sekitar 9 meter dan butuh setidaknya 7 rentangan tangan manusia dewasa untuk mencakupnya.

Situs Budaya Jati Denok berjarak sekitar 17 kilometer dari pusat kota Blora. Sekitar 4 kilometer jalan terakhirnya masih berupa bebatuan dan sebagian telah dibangun berupa makadam.

Jati denok berada di atas bukit Kendeng Blora. Lokasinya paling tinggi, berada di tengah-tengah antara Blora dan Randublatung.

"Usia pohon jati ini ratusan tahun, mungkin 4 abad. Mbah saya ketika kecil katanya jati ini sudah besar," kata warga setempat Agung, Jumat (29/3/2024).

Pohon jati nan menjulang ini disebut sering tersambar petir. Adapun batangnya sudah keropos dan lapuk, tengahnya bolong. Tidak ada cabang yang besar akibat tersambar petir.

Hanya tinggal cabang-cabang kecil di pucuk pohon. Itu pun tidak berdaun. Sedikit sekali daun yang tumbuh. Melihat kondisi pohon jati denok ini, dimungkinkan lambat laun akan mati.

Dalam laman resmi Pemkab Blora, blorakab.go.id, pohon jati denok disebut berusia lebih dari 400 tahun. Pohon ini menjadi tempat pelaksanaan sejumlah upacara adat bagi masyarakat dukuh Temanjang Desa Jatisari, Banjarejo.

"Jati Denok merupakan salah satu pohon jati terbesar dan tertua di Blora, nilai jual pohon ini mencapai satu milyar rupiah lebih," tulis laman blorakab.go.id, dikutip detikJateng, Minggu (31/3).

Asal Muasal Jati Denok

Pemerhati sejarah asal Blora, Totok Supriyanto yang juga seorang penulis sejarah menjelaskan, makna nama jati denok yang berada di kawasan hutan di Desa Jatisari, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.

Dia mengaku tidak mengetahui secara pasti alasan penamaan jati tertua di Blora itu sehingga muncul kata jati denok ini. Menurutnya, kata denok dalam bahasa Jawa berarti anak perempuan atau perempuan yang masih kecil.

"Denok artinya anak wanita, karena mungkin pohonnya ndemblek (terdapat bagian yang membesar) sehingga disebut denok. Padahal pohonnya besar gitu masak anak kecil. Nah itu kan perumpamaan," jelas Totok.

Cerita mengenai asal muasal pohon jati denok masih simpang siur. Tetapi muncul anggapan jika pohon jati tersebut dulunya ditanam oleh Belanda.

Klaim ini pun dibantah langsung oleh Totok Supriyanto. Dia menyebut secara terperinci bahwa jati denok bukan hasil penanaman Belanda. Bahkan jati itu sudah ada sebelum Belanda menjajah Indonesia.

Dokumen penelitian tahun 1930 yang dilakukan oleh Herman Ernst Wolff von Wulfing (1891-1945) dengan judul De Wildhoutbosschen op Java (hutan rimba di Jawa) yang didalamnya juga membahas tentang jati Blora. Foto: Dok: Totok Supriyanto

Totok menyampaikan, dalam penelitian tahun 1930 yang dilakukan oleh Herman Ernst Wolff von Wulfing (1891-1945) dengan judul De Wildhoutbosschen op Java (hutan rimba di Jawa) di dalamnya juga membahas tentang jati Blora. Herman diketahui sebelum menjadi Kepala Kebun Raya Bogor pada tahun 1932-1943, dia melakukan penelitian tentang hutan rimba pada tahun 1930 Masehi.

"Herman Ernst Wolff von Wulfing sebelum jadi Kepala Kebun Raya Bogor dia melakukan riset penelitian pertumbuhan pohon jati, akhirnya sampai ke Blora, setelah melihat hutan belantara," jelas Totok saat ditemui detikJateng di rumahnya di Blora, Jumat (29/3).

Penelitian itu ditemukan jati-jati yang tersebar di Blora. Salah satunya pohon-pohon jati di wilayah di mana jati denok tumbuh. Herman melihat jati yang besar tinggi 50 meter, berdiameter 3,5 meter dengan lingkar keliling lebih kurang 11 meter.

Jati tersebut berada di tengah hutan tepatnya di antara Dukuh Banyuurip dan Dukuh Temetes di Desa Banjarejo, Blora. Dimungkinkan jati denok yang saat ini masih ada juga termasuk di wilayah sekitar hutan tersebut. Jati yang diteliti oleh Hermas berada di petak D yang kemudian hari dikenal dengan istilah jati denok sekarang.

"Saat itu diperkirakan usianya lebih dari 200 tahun. Jati yang diteliti itu sudah tidak ada. Jati denok mungkin saja seumuran dengan jati tersebut," jelas Totok.

"Jati itu bukan tanaman orang Belanda apalagi Perhutani. Itu klaim mereka. Jati itu hidup di hutan Blora. Karena sifatnya yang dominan dibanding dengan jenis yang lain, maka hutan Blora seakan-akan hutan homogen yaitu hutan jati," ujarnya.

Sementara jati denok sendiri diperkirakan sezaman dengan jati yang diteliti oleh Herman Ernst Wolff von Wulfing tersebut. Namun jati yang diteliti oleh Hermas sudah tumbang. Totok mengatakan jati merupakan pohon endemik Blora dan dianggap sebagai pohon kehidupan karena mampu hidup dengan jangka waktu yang sangat lama.

"Jati denok diperkirakan sezaman dengan pohon yang diteliti oleh Hermas tadi. Jati itu pohon endemik Blora dan disakralkan bagi masyarakat Blora. Pohon jati sering dikatakan pohon kalpataru (pohon kehidupan) karena sifatnya yang dominan dan sanggup hidup ratusan tahun," jelasnya.

Legenda Jati Denok Tempat Sembunyi Putri Kediri

Jati Denok di Banjarjero Blora selain menjadi primadona karena usianya yang mencapai ratusan tahun juga karena legendanya di masyarakat. Konon di tempat tersebut pernah menjadi tempat berlindung putri Kediri yaitu Candra Kirana untuk bersembunyi. Selama persembunyiannya sang putri juga dijaga oleh seekor harimau.

"Berdasarkan legenda di wilayah Banyuurip (Dukuh di Desa Banjarejo) ada seorang bernama Candra Kirana. Dia adalah seorang putri Kediri yang lari dari kerajaan," ucap Totok Supriyanto, saat ditemui di rumahnya di Blora, Jumat (29/3).

Pelarian Candra Kirana menjadikan seluruh orang-orang kerajaan bergerak mencari keberadaannya. Salah satu tokoh yang mencarinya adalah Raden Panji Inu Kertopati.

"Akhirnya muncul banyak tokoh yang mencari, salah satunya Raden Panji Inu Kertopati yang mencari Candra Kirana untuk dijadikan istri," papar Totok.

Totok menjelaskan, untuk tahun kejadiannya tidak bisa dipastikan masanya. Menurutnya, yang namanya legenda itu tidak bisa ditentukan tahun masanya. Dalam urusan legenda seorang putri raja diyakini selalu dijaga oleh harimau.

"Candra Kirana tinggal di Banyuurip di tengah hutan belantara, hutan jati. Yang dijaga oleh hewan harimau. Cerita ini kemudian masyhur dil lakon barongan Blora," jelasnya.

Cerita lakon Blora banyak diambil dari cerita hewan buas penjaga hutan yaitu harimau. Siapapun yang hendak mencari Candra Kirana harus siap berhadapan dengan keganasan harimau.

"Siapapun yang menemui Candra Kirana harus berhadapan dengan harimau yang menjaga hutan jati ini. Termasuk di dalamnya jati denok," jelasnya.

Mitos Pengembaraan Raja Airlangga

Keberadaan jati denok di hutan tepatnya di wilayah Desa Jatisari, Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora menyimpan banyak cerita. Salah satunya adalah tentang tempat hinggapnya burung garuda.

Hal ini disampaikan pemerhati sejarah asal Blora, Totok Supriyanto. Pria yang juga seorang penulis sejarah itu memaparkan, sebuah naskah (kakawin) Adiparwa, yang ditulis oleh Empu Narotama sekitar tahun 1000 Masehi mengisahkan tentang pengembaraan Raja Airlangga.

Kakawin merupakan wacana puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno atau dengan kata atau bahasa lain. Catatan naskah kuno itu ditulis Empu Narotama seorang Patih Kerajaan Kahuripan zaman Airlangga.

"Kakawin Adiparwa yang ditulis oleh Empu Narotama sekitar tahun 1000 Masehi saat dia mengiringi Raja Airlangga dalam pengembaraannya, mengisahkan bahwa ada pohon kalpataru di sebuah bukit Medang, Kamolan (Blora)," terang Totok saat ditemui detikJateng di rumahnya di Blora, Jumat (29/3).

Kakawin Adiparwa ini ditulis Empu Narotama selama mendampingi Raja Airlangga mengembara sepanjang hilir hingga hulu Bengawan, yang melewati area Lwaram (sekarang Blora).

Pengembaraan Raja Airlangga selama 12 tahun ini juga dicatat lewat Prasasti Pucangan yang mengisahkan perjalanan sampai diangkatnya Airlangga menjadi raja.

Kembali ke kakawin Adiparwa, dalam naskah yang ditulis Mpu Narotama itu juga menceritakan pencarian air kehidupan burung garuda untuk membebaskan ibunya dari perbudakan. Dalam kisah pewayangan disebutkan ibu garuda bernama Winata dan ayahnya Begawan Kasyapa.

Totok mengisahkan saat garuda diperintahkan ibunya memakan gajah dan kura-kura, kedua hewan itu sempat dibawa terbang ke angkasa. Garuda tak langsung memakan kedua hewan itu.

"Saat melintas pegunungan, ada sebuah pohon kalpataru yang tinggi menjulang. Garuda yang mencengkeram gajah dan kura-kura itu kemudian hinggap sejenak di pohon itu," kata dia.

Dari kisah itu Totok meyakini pohon kalpataru adalah pohon jati. Sebab, salah satu karakter pohon jati karena tahan terhadap api.

"Mpu Narotama kemungkinan besar terinspirasi dengan pohon jati, yang tidak hanya sangat kuat dan tinggi, tetapi juga tahan api. Sebagaimana diketahui, garuda merupakan hewan mitologi yang memiliki kekuatan api, dan hanya pohon jati yang memiliki kelebihan sebagai pohon yang tahan api, dan tak akan mati walau tersambar petir," jelasnya.

Totok mengaku beberapa kali pergi ke jati denok di Jatisari, Banjarejo, dan sering melihat bidho (elang Jawa) di sekitar wilayah hutan jati tersebut. Dia meyakini sampai sekarang pohon jati menjadi tempat hinggap burung-burung.

"Saya sering ke sana, sering lihat bidho. Jadi sampai saat ini masih pohon jati banyak dihinggapi burung," jelas dia.(han)