AKMI, Literasi Terintegrasi dan Keantarwacanaan (Interdiscursivity)

Oct 29, 2023 - 17:28
AKMI, Literasi Terintegrasi dan Keantarwacanaan (Interdiscursivity)

MENJELANG tahun politik, masyarakat kita mulai banyak disuguhkan dengan berbagai berita perpolitikan. Informasi terkait dengan pencalonan, konflik internal dan antar partai, hingga komentar para pakar dan kalangan akar rumput banyak berseliweran di berbagai media. Televisi sering mengadakan talkshow baik dalam bentuk konfirmasi maupun konfrontasi. Koran baik cetak maupun online pun pula demikian, memunculkan headline-headline perpolitikan. Yang tak kalah seru adalah dunia sosial media. Dunia yang sangat terbuka ini memungkinkan siapapun dari kalangan manapun berbagi informasi dan pendapat. Semudah itu menyampaikan pendapat, semudah itu pula membagikan informasi melalui sosial media. Sehingga, informasi berseliweran tak terkendali, entah benar fakta atau hanya opini tanpa didukung data, sering kali sulit dibedakan. Disinilah pentingnya kemampuan literasi.

Untuk meningkatkan kemampuan literasi ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah membuat sebuah roadmap untuk tahun 2021-2024 untuk pengembangan literasi digital. Empat pilar yang dijadikan acuan untuk pengembangan literasi adalah digital skills, digital culture, digital ethics dan digital safety (Kominfo, Siberkreasi & Deloitte, 2020). Digital skills mencakup kecakapan dan pengetahuan dasar lanskap digital, internet, dan dunia maya. Selain itu, digital skills juga terkait dengan pengetahuan casar pencarian informasi digital, pemilihan, pemilahan dan penggunaan data digital, dasar-dasar aplikasi percakapan. Yang tak kalah penting dalam digital skills adalah media sosial, aplikasi dompet digital, market place dan transaksi digital.

Termasuk dalam digital culture diantaranya adalah pengetahuan tentang nilai Pancasila dan kebhinekaan. Pengetahuan ini penting untuk melandasi kecakapan digital dalam kehidupan berbangsa yang majemuk. Selain budaya transaksi informasi secara digital, digital culture juga diarahkan apda digitalisasi kebudayaan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini untuk semakin menumbuhkembangkan rasa cinta terhadap produk local dan dalam negeri serta untuk menguatkan pemahaman tentang hak karya digital.

Rangkaian pilar literasi digital berikutnya adalah digital ethics. Ini berkaitan dengan nettiquet atau etika berinternet. Pemahaman tentang digital ethics akan membekali para netter dengan keterampilan untuk mengindari penyebarluasan ujaran, informasi atau kontek negatif. Dengan nettiquet yang baik diharapkan tidak lagi tersebar konten-konten perundundang, pornografi, hoak maupun kebencian.   Dengan pengetahuan terkait kaidah dan peraturan yang berkenaan dengan interaksi dan transaksi digital diharapkan dapat meningkatkan digital safety. Fitur-fitur proteksi baik identitas data pribadi secara digital, pengetahuan terkait penipuan digital, rekam jejak digital dan catfishing merupakan cakupan dari digital safety.

Keterampilan literasi digital yang tertuang dalam roadmap tersebut diatas tentu tidak dapat dipisahkan dari keterampilan dasar literasi. Keterampilan-keterampilan dasar literasi inilah yang dibidik oleh Kementerian Agama melalui AKMI (Asesmen Kompetensi Madrasah Indonesia). Dalam asesmen ini peserta didik di tingkat madrasah diukur kemampuannya dalam 4 literasi: literasi membaca, numerasi, literasi sains dan literasi sosial budaya. Dari asesmen ini kemudian dipetakan tingkat literasi dari setiap peserta didik sebagai dasar untuk tindak lanjut. Bentuk tindak lanjutnya adalah perbaikan proses pembelajaran.

Untuk literasi membaca, kompetensi yang ditargetkan adalah kemampuan untuk menemukan dan mengakses informasi, menginterpretasi dan mengintegrasi serta mengevaluasi dan merefleksi informasi pada teks sastra maupun teks informatif. Sementara, bidikan numerasi berfokus pada kemampuan merepresentasikan objek, menerapkan strategi pemecahan masalah, menalar dan memberi alasan terkait bilangan, aljabar, statistik dan peluang. Untuk literasi sains, fokus bidikannya adalah pada kemampuan menjelaskan fenomena secara ilmiah, mengevaluasi dan merancang penyelidikan ilmiah, menafsirkan data dan bukti ilmiah. Sementara, konten yang menjadi bidikan adalah materi terkait fisik, kehidupan, bumi dan antariksa, teknologi. Pada literasi sosial budaya, perbaikan pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menemukan dan menjelaskan, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi. Konten dari literasi sosial budaya adalah komitmen kebangsaan, toleransi, akomodatif dan inklusif.

Yang menarik sebenarnya, fokus pada pengembangan kemampuan literasi ini bukanlah sebuah kurikulum namun keterampilan yang seharusnya diintegrasikan pada proses pembelajaran untuk fasilitasi pencapaian kompetensi pada kurikulum. Sehingga, literasi merupakan bagian terintegrasi dari keseluruhan proses pembelajaran. Dengan empat bidang literasi yang menjadi bidikan AKMI di Kementerian Agama, keempat literasi tersebut juga dapat dilatihkan secara terintegrasi. Ini berarti bahwa untuk satu kompetensi atau elemen dan satu materi esensial pada kurikulum, dapat diintegrasikan dengan beberapa atau bahkan keseluruhan literasi.

Sebagai contoh pada kurikulum merdeka ada tema ekosistem. Untuk menggiring siswa memeroleh informasi tentang ekosistem, guru dapat menyediakan bacaan informatif tentang ekosistem. Bacaan dapat berupa data hasil penelitian sederhana maupun infografik tentang ekosistem. Pada proses membaca ini, siswa akan menganalisis, menemukan informasi atau bahkan mungkin mengevaluasi informasi dari materi bacaan. Disinilah kemampuan literasi membaca mereka diasah. Ekosistem tentu saja berhubungan dengan kehidupan, yang merupakan bidikan literasi sains. Dari hasil bacaan ini, siswa dapat diminta untuk menjelaskan fenomena terkait ekosistem atau bahkan mungkin diminta melakukan penyelidikan sederhana tentang ekosistem yang ada disekitarnya. Mereka dapat melakukan pencatatan terkait jenis maupun jumlah pada ekosistem amatan. Dalam kegiatan ini terlibatlah literasi numerasi terkait bilangan. Dengan hasil bacaan maupun amatan tentang berbagai ragam ekosistem, siswa diarahkan untuk mampu mengenali dan menghargai keragaman nasional. Bagian ini merupakan salah satu fokus dari literasi sosial budaya.

Literasi terintegrasi seperti yang dicontohkan diatas sesungguhnya adalah sebuah kemampuan untuk melihat suatu hal, obyek atau fenomena secara multiperspektif, secara interdiskursif. Kemampuan seseorang untuk memahami suatu hal secara interdiskursif menunjukkan kemampuan mereka dalam melihat hubungan antar wacana (Fairclough, 2023). Sehingga, mereka mampu mengaitkan satu topik dengan topik yang lain, satu peristiwa dengan peristiwa yang lain (Reisgl & Wodak, 2009). Dari kemampuan ini maka terbentuklah pemahaman yang interdiskursif, sebuah pemahaman holistik  sehingga terbentuk sebuah konfigurasi pengetahuan dan konfigurasi intertekstual (Wu, 2010, Lawrence, 2008, Fairclough, 1992).

Dari contoh tema ekosistem diatas, jelas nampak bahwa jika guru mampu mengarahkan siswa untuk melihat ekosistem dari berbagai sudut pandang dengan berbagai literasi yang terkait, siswa akan dapat memiliki pemahaman yang utuh tentang ekosistem. Bahwa ekosistem bukan melulu tentang IPA. Ekosistem adalah tentang fenomena kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam konteks yang lebih luas, kemampuan siswa dalam berliterasi secara integratif, akan mampu mendorong mereka untuk berpikir lebih kritis. Sehingga, mereka tidak akan grusa-grusu dalam menilai suatu informasi dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Siswa dapat lebih tajam dalam melihat fakta dan lebih bijaksana dalam menyampaikan pendapat dan menentukan dan mengambil keputusan. Semoga para pendidik dan seluruh elemen dapat saling bahu membahu untuk terus meningkatkan literasi dalam banyak segi. Sehingga, target literasi yang diharapkan oleh pemerintah dapat terwujud namun yang lebih penting adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya dapat tercapai. Tujuan akhirnya adalah dapat terbentuk suasana kehidupan bangsa yang aman, tenteram dan dinamis. (***) 

 

*Penulis adalah dosen Pendidikan Bahasa Inggris dan Sekretaris Pusat Studi Service Learning Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya dan Instruktur Nasional Bimtek Tindak Lanjut Hasil AKMI tahun 2023.