Terlihat Indikasi Afrika akan Menjadi Medan Perang Proksi Baru Barat vs Rusia

Awal Agustus ini, delegasi militer Niger bahkan bertemu dengan Presiden transisi Mali, Assimi Goita, yang disebut-sebut sebagai kunjungan karena Niger tertarik dengan pasukan tentara bayaran Rusia, Wagner Group, usai kelompok itu menawarkan bantuan keamanan.

Aug 15, 2023 - 16:59
Terlihat Indikasi Afrika akan Menjadi Medan Perang Proksi Baru Barat vs Rusia

NUSADAILY.COM - NIGER - Militer negara Niger melakukan kudeta dan menahan Presiden Mohamed Bazoum pada 26 Juli lalu.

Di tengah gonjang-ganjing ini, mencuat isu bahwa Afrika, lewat kudeta Niger sebagai 'kick-off', menjadi medan perang proksi baru antara negara-negara Barat dan Rusia.

Kudeta Niger sendiri mendapat dukungan penuh dari beberapa negara Afrika pimpinan junta militer seperti Mali, Burkina Faso, dan Guinea. Ketiga negara ini dekat dengan Rusia dan merupakan bekas jajahan Prancis alias anti-Barat.

Masyarakat Niger yang pro-kudeta juga sempat dilaporkan mengibarkan bendera Rusia sambil menggemakan nama Presiden Vladimir Putin kala perebutan kekuasaan berlangsung.

Awal Agustus ini, delegasi militer Niger bahkan bertemu dengan Presiden transisi Mali, Assimi Goita, yang disebut-sebut sebagai kunjungan karena Niger tertarik dengan pasukan tentara bayaran Rusia, Wagner Group, usai kelompok itu menawarkan bantuan keamanan.

Mendengar hal ini, Plt Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Victoria Nuland menemui perwakilan militer Niger dan mewanti-wanti agar tidak menerima tawaran Wagner. Nuland menilai kerja sama dengan Wagner hanya akan mengancam keamanan negara itu.

Niger dan AS adalah sekutu karena AS menganggap Niger sebagai salah satu negara demokratis di wilayah Afrika Barat dan rekan dalam memerangi kelompok jihadis terkait Al Qaeda dan ISIS. AS kemudian memutuskan menghentikan sementara sejumlah program bantuan terhadap Niger karena kudeta di negara itu.

Terkait hal ini, apakah Afrika kini menjadi medan perang proksi baru antara negara-negara Barat dan Rusia?

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, mengatakan Afrika saat ini tengah dilanda efek domino imbas kudeta Niger akhir Juli lalu.

Sya'roni berujar kudeta di sebuah negara seperti di Niger selalu menyisakan kekosongan dan instabilitas politik di sekitarnya. Hal ini terlihat pada blok negara-negara Afrika Barat, ECOWAS, yang mulai menyiagakan pasukan demi menjaga agar konflik tak melebar sekaligus menekan junta militer Niger.

Di tengah ketidakstabilan ini, pihak-pihak asing yang berkepentingan pun tak terkecuali memanfaatkan momentum untuk menggali keuntungan.

"Rivalitas antara AS dan Rusia dalam sepuluh tahun terakhir tidak bisa dihindari. Terutama pasca-Arab Spring, sehingga dua kekuatan ini menggunakan proksi-nya untuk mempertahankan pengaruh di kawasan," kata Sya'roni kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/8).

Menurut Sya'roni, AS menginginkan pengaruh di kawasan Afrika agar "dunia berada di bawah rezim liberal internasional, [yang] dekat dengan Amerika."

Sementara Rusia, menurutnya, tak mau kalah dengan mengeluarkan 'jurus' kebijakan-kebijakan menggiurkan, salah satunya dalam BRICS.

BRICS adalah kelompok yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan untuk mempromosikan kerja sama ekonomi dan mendorong negara-negara anggota menjadi negara maju.

"Keberadaan kelompok BRICS bagian dari strategi Rusia mengimbangi AS di Afrika," ucap Sya'roni.

Sementara itu, Ketua Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai saat ini Afrika sedang diperebutkan karena dominasi Barat mulai mengendur bersamaan dengan militer sejumlah negara Afrika yang hendak menyingkirkan pengaruh Prancis.

Ini bisa dilihat dari militer Niger, Mali, Burkina Faso, dan Guinea yang meminta tentara Prancis di negara masing-masing hengkang.

"Tampaknya ada perubahan-perubahan regulasi di Afrika ketika kekuatan Barat sendiri mulai agak melemah dominasinya, dan itu berpotensi digantikan oleh munculnya kekuatan Rusia, walaupun tidak langsung melalui Rusia [melainkan lewat Wagner]. Tapi disinyalir Wagner Group itu berhubungan dengan Rusia," kata Yon kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/8).

Yon menjelaskan kehadiran Wagner di Afrika bisa diasosiasikan dengan kehadiran kekuatan Rusia di kawasan itu lantaran pasukan swasta bayaran itu punya hubungan yang erat dengan Kremlin, termasuk perannya di perang Rusia-Ukraina.

Kendati begitu, Wagner "tidak melulu" mewakili Rusia sebab kelompok itu hanyalah tentara bayaran yang bakal memihak tergantung pada siapa yang memberinya upah.

"Kalau Niger kerja sama dengan Wagner, itu juga akan berpengaruh dengan keberadaan tentara Amerika di Niger. Ini perlu untuk dilihat lebih dalam karena juga tidak serta-merta kemudian berafiliasi dengan Wagner harus bermusuhan dengan Amerika," ujar Yon.

"Kan tergantung deal-nya apa. Bukan oleh penguasa junta militer saja," ucapnya melanjutkan.

Yon juga bicara soal sikap resmi Rusia, yang saat ini bertolak belakang dengan Wagner. Rusia sebelumnya menyatakan bahwa situasi di Niger menjadi keprihatinan serius. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pun menyerukan semua pihak di negara itu menahan diri serta kembali secepatnya ke tatanan hukum.

Menurut Yon, sikap berbanding terbalik ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Wagner, menurutnya, ingin maju sendirian dan ogah dianggap sebagai bagian dari militer Kremlin. Berbeda dengan Rusia yang ingin lebih dulu merespons secara diplomatis.

"Ketika seandainya Niger mendapatkan bantuan dalam hal pertahanan kekuasaan dari Wagner, bisa saja Rusia juga berbeda sikap [beralih mendukung kudeta] ketika nanti berhadapan dengan Amerika," katanya.

"Kan selalu kepentingan Amerika berbanding terbalik dengan kepentingan Rusia. Jadi bisa saja nanti Rusia bertemu dengan Wagner Group dalam hal menyikapi kudeta yang ada di Niger, walau di awal Rusia menolak kudeta."

Keruk sumber daya alam

Jika menelisik lebih jauh, perebutan pengaruh antara AS dan Rusia di Afrika pada dasarnya lantaran Afrika memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah.

Sya'roni menjabarkan Libya, misalnya, terkenal sebagai negara penghasil minyak. Begitu pula dengan Afrika Selatan sebagai penghasil emas dan Zaire sebagai penghasil uranium.

"Lebih dari itu, dengan menguasai Afrika, maka akan bisa menjadi mitra untuk menyebarkan nilai masing-masing negara," ucap Sya'roni.

Senada dengan Sya'roni, Yon juga menilai bahwa perebutan pengaruh antara AS dan Rusia di Afrika terjadi karena kawasan ini kaya akan sumber daya alam.

Menurut Yon, tidak mungkin AS mau jauh-jauh membantu Niger memerangi terorisme jika bukan karena ada kepentingan nasional yang melandasinya.

"Kalau memang tidak ada kepentingan ekonomi kan mengapa mereka harus jauh-jauh menempatkan militer dan sebagainya untuk membantu maupun memengaruhi kawasan itu. Pasti berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam yang ada di Afrika," tuturnya.

Kondisi ini juga yang menurut Yon membuat jengah rakyat Niger, yang secara umum merupakan warga negara miskin dengan sumber daya alamnya dikuasai pihak asing.

Dia menilai ketidakpuasan itu salah satunya mendorong kelompok militer akhirnya mengambil alih kekuasaan.

"Namun biasanya hasil dari kudeta itu tidak menghasilkan stabilitas karena bisa saja militer yang dihasilkan dari kudeta itu mengulang hal yang sama, seperti yang dilakukan rezim sebelumnya, dalam hal penguasaan politik dan ekonomi," ujarnya.

"Sehingga dalam waktu yang sangat panjang Afrika tidak mengalami stabilitas dan ekonomi cenderung memburuk dalam beberapa dekade terakhir," imbuh dia.

Yon lantas berpandangan bahwa di tengah masalah ini, Afrika seolah melihat oase dari Rusia. Rusia dengan program kekuatan lunaknya seperti BRICS tak memaksa ikut campur dalam urusan internal, berbeda dengan AS dan Prancis.

AS dan Prancis cenderung menonjolkan hegemoninya melalui latihan militer. Sementara itu, BRICS datang "memberikan tawaran yang sifatnya dialogis, tidak ikut campur terhadap urusan suatu negara dengan negara yang lain."

"Ini tentu akan menjadi semacam alternatif bagi rezim-rezim baru untuk kemudian bisa masuk kerja sama dengan BRICS yang dirasa mungkin lebih cocok ke depannya dibanding dengan bersama dengan kekuatan super power yang cenderung mendorong intervensi, memengaruhi kondisi internal politik dalam negeri," kata dia.

"Mungkin di sini adanya kudeta juga ada harapan juga, saya kira, untuk mengimbangi posisi [lebih] mendekat dengan kelompok Rusia dan kawan-kawan," tutup dia.(han)