Melihat Peran Jokowi di Koalisi Besar Dukung Prabowo

"Apakah sudah ada persetujuan pak Jokowi? Dari presiden tidak ada arahan. Jadi ini putusan kita bersama bareng bareng. Tidak ada arahan dari pak Jokowi," kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dalam jumpa pers di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta.

Aug 15, 2023 - 17:05
Melihat Peran Jokowi di Koalisi Besar Dukung Prabowo

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Dukungan terhadap Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) di Pilpres 2024 kian menguat setelah bergabungnya Golkar dan PAN sebagai bagian dari koalisi bersama Gerindra dan PKB.

Keempat partai itu resmi menandatangani kerja sama politik di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Minggu (13/8).

Koalisi pendukung Prabowo jadi sebuah koalisi besar jika merujuk pada peta dukungan partai-partai di parlemen.

Kini, Prabowo mengantongi dukungan empat partai parlemen, disusul capres Anies Baswedan yang didukung tiga partai parlemen dan capres Ganjar Pranowo dengan dua dukungan partai parlemen.

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan membantah terbentuknya koalisi besar pendukung Prabowo berkat arahan Presiden Joko Widodo.

"Apakah sudah ada persetujuan pak Jokowi? Dari presiden tidak ada arahan. Jadi ini putusan kita bersama bareng bareng. Tidak ada arahan dari pak Jokowi," kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dalam jumpa pers di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta.

Bantahan terkait peran Jokowi juga diutarakan oleh oleh Prabowo. Hari ini, Senin (14/8), Jokowi sendiri yang tegas membantah hal tersebut.

Jokowi menegaskan dirinya bukan pimpinan parpol. Menurutnya, urusan pilpres adalah kewenangan para petinggi partai politik.

"Ndak, ndak. Itu urusan mereka. Urusan koalisi, urusan kerja sama. Saya bukan ketua partai, saya presiden," kata Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta.

Analis politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago punya pandangan lain. 

Menurutnya, bantahan-bantahan soal peran Jokowi dalam pembentukan koalisi besar, tidak mencerminkan kemungkinan manuver-manuver di belakang layar.

Arifki berkata di atas panggung, jelas tidak mungkin bagi Presiden Jokowi mengarahkan secara langsung ke mana arah capres-cawapres 2024. Terlebih, jika pasangan  itu berbeda dengan arahan PDIP sebagai partai yang menaungi Jokowi.

"Tentu ada etika juga yang jaga oleh Pak Jokowi. Yang kedua, Pak Jokowi ini tentu juga menjaga bagaimana posisinya dengan PDIP dan juga Ganjar maju di sana," jelas dia saat dihubungi, kemarin.

Dengan posisinya tersebut, Arifki berkata ada kemungkinan orkestrasi Jokowi dilakukan di belakang panggung.

"Jadi, mungkin-mungkin saja terjadi di belakang layar," imbuhnya.

Jejak koalisi besar Prabowo memang sulit dilepaskan dari sosok Presiden Jokowi. Koalisi besar ini sudah diwacanakan jauh sebelum deklarasi PAN dan Golkar kemarin.

Embrio koalisi terbentuk sejak April 2023 lalu, saat pertemuan antara Presiden Jokowi bersama lima Ketua Umum (ketum) parpol yakni Prabowo, Zulkifli Hasan, Plt Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mardiono, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar.

Saat itu, Prabowo berkata bahwa antara KIR yang beranggotakan Gerindra-PKB dan KIB yang berisi PAN-Golkar-PPP memiliki frekuensi yang sama. Selain itu, menurut Prabowo koalisi besar juga sejalan dengan Jokowi.

"Kita sudah masuk timnya Pak Jokowi sebetulnya sekarang. Ya kan?" ujar Prabowo di hadapan para ketua umum partai.

Di tempat yang sama, Presiden Jokowi mengatakan koalisi besar KIB, Gerindra dan PKB merupakan koalisi yang cocok. Namun hal itu diserahkan kembali kepada para ketua umum partai.

"Saya hanya bilang cocok. Terserah kepada ketua-ketua partai atau gabungan ketua partai. Untuk kebaikan negara untuk kebaikan bangsa untuk rakyat, hal yg berkaitan bisa dimusyawarahkan itu akan lebih baik," tandasnya.

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro berkata ada relasi intim antara partai-partai pendukung Prabowo dengan Presiden Jokowi. Salah satunya karena para ketua umum partai juga bekerja sebagai pembantu Jokowi.

Dari pola hubungan itu, menurutnya sangat mungkin terbangun relasi yang melampau kerja-kerja kementerian. Hal-hal strategis lain juga turut dibahas, termasuk soal pilpres.

"Di titik inilah, susah untuk tidak mengaitkan bergabungnya Golkar-PAN tanpa hadirnya dukungan (political endorsement) istana. Apalagi kini publik mendapati pula bahwa Presiden Jokowi memberikan political endorsement tak tunggal ke Ganjar, tapi juga ke Prabowo," jelas Agung dalam keterangannya, Minggu (13/8).

Menurut dia, sosok Jokowi sebagai king maker di koalisi besar juga bisa memperkuat koalisi dan membuka peluang sebagai penengah untuk tokoh yang direkomendasikan pada kursi cawapres.

Agung mengatakan bisa terjadi kebuntuan politik (political deadlock) apabila para ketua umum dalam koalisi ini saling berebut kekuasaan, terutama dalam pemilihan cawapres.

Dalam situasi itu dibutuhkan jalan tengah atau figur baru yang memiliki akseptabilitas dan elektabilitas. Jokowi bisa menjadi sosok yang menawarkan figur baru tersebut.

"Gibran, Khofifah, atau nama lainnya ini, berpotensi untuk dipasangkan karena langsung dihadirkan oleh Presiden Jokowi yang bersandar pada tingkat kepuasan publik yang tinggi atas kinerjanya maupun militansi relawan yang hadir di setiap laku politiknya yang memberi pengaruh signifikan elektoral di tengah pertarungan pilpres 2024 yang kompetitif," jelas dia.

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun merangkum persentase suara partai parlemen dalam koalisi Prabowo. Totalnya, kata dia, koalisi Prabowo mengakumulasi suara sekitar 41 persen, lebih besar dibanding koalisi PDIP-PPP yang hanya 25 persen, koalisi Partai Nasdem, Demokrat dan PKS yang hanya 25 persen.

Dia berkata akumulasi 41 persen suara itu jadi modal awal politik yang cukup menjanjikan. Persoalannya, modal itu belum bisa menjamin kemenangan koalisi Prabowo.

"Sebab dalam politik seringkali kalkulasi di atas kertas tidak sejalan dengan realitas empirik di lapangan. Faktanya, memang kita bisa cermati pada pemilu 2014 pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dengan dukungan total suara partainya yang 40 persen mampu mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa yang didukung 60 persen total suara partai pendukungnya," ujar Ubed, sapaan akrabnya.

Salah satu faktor yang menyebabkan kekalahan adalah citra negatif koalisi yang cenderung status quo.

Status quo adalah bahasa latin yang kurang lebih bermakna representasi keadaan rezim lama yang tidak menginginkan perubahan.

Menurut Ubed, citra status quo selalu negatif dalam pandangan politik aktual yang dinamis.

"Nah, Prabowo, Airlangga, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar itu bagian dari status quo pemerintahan Jokowi bahkan koalisi ini juga terkesan dibuat Jokowi yang notabene politiknya adalah penguasa status quo," ujar Ubed.(cnn/han)