Menunduk Senyum untuk Meninggikan

Pagi itu, suasana kota Kupang terasa begitu indah. Sambil memandang pantai dengan air lautnya yang tenang, saya menikmati sarapan pagi, tepatnya di sebuah hotel yang tidak jauh dari pantai itu. Dalam kesendirianku, saya tengok ke kanan dan ke kiri, dan saya dapati ada seorang ibu tua yang cantik dan energik juga sedang menikmati sarapan paginya, sendirian juga.

Dec 16, 2023 - 07:54
Menunduk Senyum untuk Meninggikan

Penulis: Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd. *

 

Pagi itu, suasana Kota Kupang terasa begitu indah. Sambil memandang pantai dengan air lautnya yang tenang, saya menikmati sarapan pagi, tepatnya di sebuah hotel yang tidak jauh dari pantai itu. Dalam kesendirianku, saya tengok ke kanan dan ke kiri, dan saya dapati ada seorang ibu tua yang cantik dan energik juga sedang menikmati sarapan paginya, sendirian juga. 

Dengan penasaran, saya amati sang ibu tua itu. Beliau beranjak untuk mengambil telur. Saat itu saya lihat beliau sedang berbicara dengan pegawai hotel. Nada suaranya tegas. Ketika beliau sudah duduk kembali, saya coba menyapa. Perbincangan antara kami pun terjadi dan akhirnya saya dapati, beliau adalah seorang profesor yang sudah berumur 63 tahun. Wajahnya tampak segar, fisiknya nampak energik. Beliau tampak menikmati berbincang dengan saya apalagi setelah tahu bahwa saya satu profesi dengan beliau, hanya bedanya, saya belum professor.

 

Tiba-tiba, beliau pindah tempat duduk, menuju ke meja saya. Saya sedikit terkejut, dan sekaligus senang. Saya semakin kagum pada beliau, ketika menyaksikan sikap hormat beliau kepada sang suami yang sepertinya bukan seorang professor. Selama berbincang dengan saya, saya juga merasakan begitu hormatnya beliau kepada saya yang jauh lebih muda. Saya betul-betul merasa nyaman bersama beliau kala itu.

Ada pelajaran hidup yang beliau diberikan kepada saya, yakni dengan “senyuman”. Keberanian beliau untuk berpikir beda dengan wanita pada umumnya, sungguh telah menginspirasi saya. Saya ingin bisa mempraktikkannya. Saya ingin mendapatkan keseimbangan hidup. Saya ingin terus belajar untuk lebih memperdalam keilmuan saya, namun dengan tanpa menelantarkan, mahasiswa saya, keluarga saya dan bahkan diri saya sendiri.

Waktu terus berjalan, kami pun akhirnya harus berpisah. Saya harus segera menuju ke bandara. Baru sebentar kami berpisah, sudah muncul merasa kangen saya kepada beliau. Bahkan saya berjanji dalam hati, kapan-kapan beliau ke Surabaya, saya akan ajak beliau, menikmati makanan yang lezat khas Surabaya.

Tiga hari di Kupang, ada dua pengalaman dan sekaligus pelajaran berharga yang saya dapatkan.  Pertama, bersama seorang profesor berprestasi dan berpenghasilan tinggi namun sangat rendah hati. Kedua, bersama dengan para guru SD yang tidak begitu berprestasi, namun begitu gampangnya memaki-maki, hanya karena sang murid tidak bisa menjawab pertanyaan sesuai dengan jawaban yang diinginkan oleh sang guru.

Dari dua pengalaman di atas, ada hal yang menarik untuk dikritisi yakni masih adanya “makian” dari sang guru kepada muridnya di era sekarang ini.

Peristiwa guru memaki muridnya memang tidak dipungkiri masih bisa terjadi di tengah-tengah kita. Sementara orang lain sedang berupaya bagamana menciptakan sekolah yang ramah anak.

Guru pemaki mungkin tidak menyadari bahwa makian yang mereka berikan, dapat menimbulkan luka dalam diri siswa. Bahkan luka tersebut masih tersisa sampai mereka dewasa.

Sang guru mungkin sedang lupa bahwa mengajar bukan hanya kegiatan mentransfer ilmu semata, namun justru diharapkan mengajar adalah mentransfer cinta. Selain itu, sang guru mungkin juga sedang lupa bahwa yang diharapkan murid dari sang guru adalah pujian, bukan makian. Sang guru perlu disadarkan bahwa makian tidak akan pernah membantu murid untuk lebih cerdas dan pandai. Makian justru akan membuat murid semakin membenci pelajaran yang diajarkan.

Sang guru mungkin sedang lupa bahwa menjadi guru harus bersikap luwes dan rendah hati, dan selalu berusaha untuk mendidik dengan cinta.

Sang guru mungkin sedang lupa bahwa menjadi guru itu perlu menghadirkan ketuhanan, keilmuan dan kepribadian yang ketiganya tidak terpisahkan. Sang guru perlu belajar agar bisa menjadi  seperti garam atau lilin, yang berguna bagi orang lain.

Sang guru mungkin sedang lupa untuk menghidupi kepercayaan mereka, mengerjakan bagian mereka dengan baik dan mempraktekkan apa yang diminta sang pencipta darinya.

Mari terus melayani para murid kita, dengan penuh sukacita, supaya mereka nyaman belajar bersama kita. Mari kita buang jauh-jauh keinginan untuk memaki mereka, ketika mereka belum bisa memahami penjelasan kita. Mari kita tunjukkan kesabaran kita, agar mereka bisa berprestasi.

Mari kita melayani dengan kasih para guru kita yang membutuhkan bantuan untuk meninggikan kualitas mereka.

Semoga pengalaman di atas dapat senantiasa mengingatkan kita untuk terus menjadi pembelajar yang baik. Belajar tanpa henti untuk menjadi pendidik sejati, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Sebagai penutup, apakah arti dari menunduk senyum untuk meninggikan?  Kita memperlakukan orang lain yang berada di posisi lebih rendah dengan kasih supaya kita dapat mengoptimalkan potensi mereka. Dengan jalan ini kita menghidupi kepercayaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita membuat ibadah kita benar-benar bermakna. Mari berjuang bersama!!  

* Penulis: Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd. Dosen Tetap Prodi PGSD Universitas Kristen Petra sekaligus anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini diedit oleh Dr. Sumani, M.M., M.Hum., dosen Universitas PGRI Madiun.