Bahaya Digitalisasi yang Tak Terduga  

Saat ini dunia, termasuk di Indonesia, masyarakat  luas diajak untuk masuk kedalam dunia teknologi digitalisasi. Semua transaksi keuangan diarahkan untuk melakukan hal tersebut (digital). 

Dec 16, 2023 - 08:34
Bahaya Digitalisasi yang Tak Terduga   

 Oleh: Dr. Franky Ariyadi., S.E., S.H., M.M.

 

Saat ini dunia, termasuk di Indonesia, masyarakat  luas diajak untuk masuk kedalam dunia teknologi digitalisasi. Semua transaksi keuangan diarahkan untuk melakukan hal tersebut (digital).  Semua transaksi seperti pembayaran listrik, telepon, kartu kredit, transfer uang sekolah anak, pembelian barang, makanan, kebutuhan sehari-hari, dan lain-lain menjadi lebih mudah, efisen dan efektif melalui digitalisasi. Semua transaksi tersebut dapat dilakukan dengan hanya duduk di rumah, tidak perlu keluar rumah, dan semuanya terlihat beres. Bukti transfer, pembelian barang, makanan, dan-lain sudah dikirim balik (biasanya melalui email). Uang tersedot atau terkumpul di dunia maya (digital).

Pada tahun 2022, jumlah masyarakat yang ikut serta proses digitalisasi (aktif dan pasif) di Indonesia sudah mencapai lebih dari 50%. Jika asumsi pada tahun 2022 jumlah penduduk Indonesia sudah ada 270 juta jiwa, maka kurang lebih sekitar 135 juta orang yang sudah memanfaatkan digitalisasi. Dan angka ini akan semakin meningkat ke depannya. Artinya jumlah ketergantungan masyarakat akan ditigalisasi semakin besar.

Namun kemajuan dalam teknologi digitalisasi juga memunculkan potensi dampak terbesar dalam hidup dan kehidupan masyarakat luas yang tidak disadari oleh siapa pun juga. Ibarat gunung, yang awalnya terlihat diam, biasa saja, tetapi saat Meletus, maka dampaknya akan  sangat luar biasa bagi semua pihak: manusia dan alam di sekitarnya dan bahkan dunia.

Kita semua pernah mengalami bagaimana paniknya kita, saat media sosial seperti peristiwa pada tahun 2021 WhatsApp (WA), Instagram (IG), Facebook, dan media sosial atau platform lainnya, pada saat mengalami shut down (tidak berfungsi) karena 1001 penyebabnya. Masyarakat yang sudah terbiasa mempergunakan media sosial tersebut akan panik karena sudah terbiasa berkomunikasi dan mempergunakan media-media sosial tersebut.

Lalu bagaimana jika shut down itu terjadi pada jaringan komunikasi seperti di perbankan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita kupas mengenai dampak jika terjadinya shut down.

 

Dampak Positif Shut Down

Dampak digital, khususnya terjadinya shut down, dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu dampak positif dan dampak negatif.

 

Dampak positif shut down

Shut downdapat berdampak positif terhadap masyarakat, antara lain: (1) Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ketersediaan sistem digital.  Shut down dapat membuat masyarakat menyadari bahwa sistem digital sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap ketersediaan sistem digital dan keamanan data; (2) Meningkatkan kreativitas dan inovasi masyarakat.  Shut down dapat mendorong masyarakat untuk mencari solusi alternatif untuk mengatasi gangguan pada sistem digital. Hal ini dapat meningkatkan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam memecahkan masalah; (3) Meningkatkan ketahanan sistem digital.  Shut down dapat menjadi pelajaran bagi penyelenggara sistem digital untuk meningkatkan ketahanan sistemnya. Hal ini dapat mengurangi risiko terjadinya shut down di masa depan.

 

Dampak Negatif Shut Down

Shut downdapat berdampak negatif terhadap masyarakat, antara lain: (1) Gangguan terhadap aktivitas sehari-hari.  Shut down dapat mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat, seperti bekerja, belajar, dan bertransaksi’ (2) Kerugian ekonomi.  Shut down dapat menyebabkan kerugian ekonomi, baik bagi masyarakat maupun perusahaan. Kita dapat membayangkan peluang bisnis yang terlewati atau gagal, karena ternyata ada masalah dengan adanya shut down pada masalah sistem teknologi internal bank; (3) Ketidaknyamanan masyarakat.  Shut down dapat menyebabkan ketidaknyamanan masyarakat, seperti kesulitan mengakses informasi dan layanan. Tidak tertutup kemungkinan terjadi chaos (kerusuhan) di masyarakat. Tentunya kita bisa membayangkan jika mendadak diberitahu bahwa masyarakat tidak bisa menarik dana dari bank, padahal mereka butuh untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan yang mendesak, seperti pangan atau yang lainnya..

Berikut adalah contoh dampak negatif shut down: (1) Pada tahun 2023, terjadi shut down di sistem internal Bank di Indonesia; (2) Pada tahun 2021 dan 2022, beberapa bank bank besar di Indonesia mengalami shut down di sistem internalnya; (3) Shut down tersebut menyebabkan gangguan dalam transaksi perbankan, seperti transfer dana dan pembayaran online; (3) Pada tahun 2022, terjadi shut down di sistem listrik di Amerika Serikat.; (4) Shut down tersebut menyebabkan pemadaman listrik di beberapa wilayah di Amerika Serikat; (5) Pada tahun 2023, terjadi shut down di sistem komunikasi di Eropa. Shut down tersebut menyebabkan gangguan dalam komunikasi, seperti telepon dan internet.

 

Shut down di Perbankan

Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, sudah lebih dari 50% penduduk Indonesia atau 135 juta orang yang sudah terlibat atau ikut dalam dunia digitalisasi. Penulis sendiri tidak memiliki gambaran jika perbankan mengalami shut down. Mengapa? Karena shut down perbankan dapat dikatakan sebagai risiko yang bersifat kerusakan atau dampaknya sangat luar biasa, dahsyat dan menyeluruh. Bisa dibayangkan jika 135 juta orang yang terlibat di dunia digital, tiba-tiba tidak bisa mengakses ke mobile banking untuk melakukan transaksi sebagaimana biasanya.

 

 

Upaya Mitigasi Dampak Shut Down

Untuk mengurangi dampak negatif shut down, diperlukan upaya mitigasi, antara lain:

(1) Meningkatkan ketersediaan sistem cadangan. Penyelenggara sistem digital perlu menyediakan sistem cadangan untuk mengantisipasi terjadinya gangguan pada sistem utama. Menurut penulis, mitigasi ini sulit diwujudkan karena yang bermasalah adalah jaringan komunikasi (jarkom) internet. Secara otomatis bank akan meniadakan transaksi penarikan dana, karena mereka tidak dapat melihat saldo simpanan dana milik nasabahnya.

(2) Meningkatkan keamanan data. Penyelenggara sistem digital perlu meningkatkan keamanan data untuk mencegah terjadinya kebocoran data. Hal ini masih dapat dimungkinkan karena setiap bank di Indonesia, kemungkinan memiliki penyimpanan data (data storage) yang dapat diakses tanpa dukungan jarkom (stand alone).

(3) Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keamanan digital.  Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya keamanan digital untuk melindungi diri dari serangan siber. Hal terpenting lainnya adalah sebaiknya nasabah tidak menyimpan seluruh uangnya di bank, karena jika terjadi shut down, maka kecil kemungkinan bank akan memperbolehkan menarik simpanannya. Nasabah perlu memiliki dana cadangan dalam bentuk tunai (cash). Masalahnya adalah sampai kapan shut down ini berlangsung, tidak ada tahu. Semakin lama semakin menderita.

Tidak ada solusi yang tepat untuk menghadapi shut down digitalisasi. Shut down yang mendadak, tanpa diduga dapat mengakibatkan banyak masalah bagi hidup dan kehidupan. Satu-satunya solusi adalah “bersiap untuk yang terburuk”. Kiranya asset dalam bentuk uang sebaiknya sudah bisa dialihkan ke bentuk asset lain yang likuid (bisa dicairkan).

Dengan adanya upaya mitigasi, diharapkan dampak negatif shut down dapat diminimalisir.

 

Dr. Franky Ariyadi., S.E., S.H., M.M. adalah dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Tangerang, anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).