Dilema Bang Tagor

Sebut saja namanya Bang Tagor. Bila dilihat dari nama dia merupakan turunan dari Sumatera Utara, daerah Batak tepatnya. Bang Tagor merupakan seorang pengusaha muda di bidang pendidikan dan pelatihan. Sudah puluhan tahun Bang Tagor bergelut dengan dunia yang mencerdaskan dan memberikan keterampilan anak bangsa. Beberapa lembaga pendidkan dan pelatihan dia miliki, khususnya di daratan pulau Sumatera bagian utara. Ratusan siswa siap kerja telah dia cetak setiap tahunnya.

Feb 1, 2023 - 17:35
Dilema Bang Tagor
Ilustrasi (Foto: iStock)

Oleh: Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum.

Sebut saja namanya Bang Tagor. Bila dilihat dari nama dia merupakan turunan dari Sumatera Utara, daerah Batak tepatnya. Bang Tagor merupakan seorang pengusaha muda di bidang pendidikan dan pelatihan. Sudah puluhan tahun Bang Tagor bergelut dengan dunia yang mencerdaskan dan memberikan keterampilan anak bangsa. Beberapa lembaga pendidkan dan pelatihan dia miliki, khususnya di daratan pulau Sumatera bagian utara. Ratusan siswa siap kerja telah dia cetak setiap tahunnya.

Tak puas berkutat di Sumatera, Bang Tagor mulai mengembangkan sayapnya dengan merambah ke daratan pulau Jawa. Yogyakarta, julukan kota pelajar, sebagai tempat pertama untuk mengembangkan ide dan gagasannya. Dia berpegangan pada image masyarakat Sumatera bila belajar di Jawa khususnya di Yogyakarta merupakan kebanggaan tersendiri bagi diri dan keluarganya. Bang Tagor pun akhirnya berhasil menancapkan kukunya untuk mencoba berbisnis mencerdaskan anak bangsa.

Dibantu oleh saudaranya, Bang Tagor perlahan tapi pasti berhasil eksis dalam dunia pelatihan di pinggiran kota pelajar ini. Dengan kegigihan dan etos kerja yang tinggi, akhirnya lembaga pelatihan kerja yang dikelola oleh keluarga Bang Tagor banyak dilirik dan cukup dipertimbangkan oleh masyarakat sekitar. Hal ini disebabkan karena banyak siswa jebolan lembaga pelatihan kerja Bang Tagor banyak diserap di dunia kerja. Pendek kata, siswa keluaran lembaga pelatihan Bang Tagor siap kerja. 

            Ternyata perjalanan Bang Tagor dalam kancah dunia pelatihan tidak berhenti di situ saja. Bang Tagor mulai melirik pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Dia tekadkan untuk membeli suatu perguruan tinggi. Karena modal nekad dan mepet, akhirnya Bang Tagor membeli sebuah akademi meskipun dalam kondisi “tidak sehat”. Entah apa yang dipikirkan, dia berani membeli akademi tersebut yang dalam kondisi sakit, bisa dikatakan sakit parah.

            Kategori sakit parah karena kondisi mahasiswa dan dosennya hanya hitungan jari sebelah, minimalis. Bangunan yang masih menyewa dengan sarana dan prasarana yang sangat memprihatinkan. Tentu saja cashflow-nya tidak mencukupi. Hanya bisa untuk bertahan hidup. Sungguh suatu kondisi yang sangat sulit dan dilematis. Oleh karena itu, Bang Tagor mengeluarkan berbagai jurus seperti yang dia dapatkan sewaktu kuliah.

            Permasalahan di akademi tidaklah semudah yang ada di program pelatihan. Program pelatihan, hanya butuh waktu satu tahun dan instruktur kerjanya hanya mengajar saja. Tidak banyak peraturan yang harus diikuti. Sebaliknya, di perguruan tinggi, dosen mempunyai tugas Tri Darma Perguruan Tinggi, yakni pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk menjalankan Tri Darma ini, Perguruan Tinggi harus memenuhi bagian-bagian yang diperlukan. Bagian-bagian tersebut di antaranya LPPM (Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat), BAAK, Penjaminan Mutu, Personalia/SDM, dan sebagainya.

            Bagi Bang Tagor kondisi seperti ini merupakan permasalahan yang rumit dan serba salah, serta mengandung resiko. Untuk menjadi sehat, Bang Tagor harus memenuhi semua unsur yang dibutuhkan. Bila memenuhi unsur tersebut, membutuhkan personal yang akhirnya menjadi beban dalam penggajian, khususnya gaji bulanan. Hal ini dirasa sangat berat karena pemasukan minus yang disebabkan ketiadaan mahasiswanya. Kondisi ini diperparah dengan para dosen warisan dari yayasan yang lama, dengan gaya kerja mereka yang semau gue.

Dosen yang tidak pernah datang sewaktu dipanggil untuk rapat, pengarahan dan komitmen. Hanya tuntutan dan tuntutan yang mereka ajukan, sedangkan komitmen pada yayasan yang baru saja enggan dilaksanakan. Dosen-dosen warisan ini menuntut kejelasan dari sistem pengupahan yang belum pernah dia dapatkan. Sebaliknya, manajemen Bang Tagor belum berani mengeluarkan acuan pengupahan karena belum ada dana yang masuk ke akademi yang baru dibelinya. Sungguh masalah dilematis bagi Bang Tagor.

            Semua jurus dilakukan oleh Bang Tagor untuk kelangsungan hidup akademi yang baru dirintisnya. Tim marketing pun dibentuk guna mempromosikan akademi yang digadang dapat menjadi sumber cuan guna menutup modal yang sudah dikeluarkan. Promo besar-besaran dengan berbagai fasilitas ditawarkan kepada calon mahasiswa untuk mendaftar. Selain promo besar-besaran, tim marketing juga melakukan teknik door to door ke seluruh kelurahan di kabupaten paling barat Yogyakarta.

            Semua usaha promosi yang dilakukan oleh tim marketing tidak diimbangi oleh manajemen Bang Tagor khususnya dalam fasilitas belajar. Gedung yang disewa sudah tua dan banyak yang sudah rusak. Lingkungan kampus banyak tumbuh rumput liar dengan lebatnya sehingga memberi kesan angker. Hal ini menjadikan calon mahasiswa baru yang datang hendak mendaftar langsung mengurungkan niatnya. Mereka mundur secara teratur. Alhasil, hanya sedikit sekali mahasiswa baru yang mendaftar di akademi ini. 

            Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Di saat yang hampir bersamaan, beberapa dosen lama dan tenaga administrasi di akademi ini mengundurkan diri. Mereka berdalih tidak mendapatkan hak-haknya yang semestinya diberikan oleh yayasan Bang Tagor. Sistem pengupahan atau penggajian tidak kunjung sepakat dan mereka juga tidak mendapatkan bayaran yang seharusnya mereka terima. Sungguh suatu ironi dan kondisi dilematis bagi Bang Tagor.

            Menurut hemat penulis, sebenarnya hal ini tidak akan terjadi bila Bang Tagor fokus dalam menangani permasalahan pada akademi yang baru dibelinya itu. Bang Tagor juga tidak memperhatikan masukan-masukan dari para koleganya terkait dengan pembenahan kampus dan sarananya, SDM, dan perangkat kelengkapan institusi akademi. Di samping itu juga Bang Tagor menganggap permasalahan di akademi (Perguruan Tinggi) sama dengan program pelatihan yang banyak dikelolanya.

            Seyogyanya Bang Tagor sebelum memutuskan untuk merambah dunia pendidikan di Perguruan Tinggi terlebih dahulu untuk mempelajari seluk beluk dan lingkungannya. Karena lingkungan Perguruan Tinggi yang satu kemungkinan berbeda dengan Perguruan Tinggi yang lain. Misalnya di Yogyakarta yang mendapat sebutan “Kota Pelajar” mestinya sangat berbeda dengan lingkungan di Sumatera atau luar Jawa. Di kota ini pastinya tingkat kompetisi antar Perguruan Tinggi pasti sangat ketat. Akhir kata, semoga Bang Tagor baik-baik saja.....

 

Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum adalah dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd. dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Ketua 5 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).