Tedhak Siten, Bentuk Syukur Pada Tuhan dan Do’a Orang Tua Bagi Anak

Setiap orang tua tentunya sangat mengharapkan kehadiran anak sebagai penerus generasinya. Berbagai cara dilakukan oleh orang tua agar kelak sang anak menjadi orang yang berbakti pada orang tua, berguna bagi agama, nusa dan bangsa serta sukses baik di dunia dan akhirat. Salah satu cara untuk mewujudkan harapannya, orang tua pada masyarakat Jawa melakukan ritual atau tradisi tedhak siten atau piton-piton atau pun turun tanah.

Nov 26, 2022 - 18:06
Tedhak Siten, Bentuk Syukur Pada Tuhan dan Do’a Orang Tua Bagi Anak
Ilustrasi (Foto : Istimewa)

Oleh: Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum.+

Setiap orang tua tentunya sangat mengharapkan kehadiran anak sebagai penerus generasinya. Berbagai cara dilakukan oleh orang tua agar kelak sang anak menjadi orang yang berbakti pada orang tua, berguna bagi agama, nusa dan bangsa serta sukses baik di dunia dan akhirat. Salah satu cara untuk mewujudkan harapannya, orang tua pada masyarakat Jawa melakukan ritual atau tradisi tedhak siten atau piton-piton atau pun turun tanah.

 Tedhak Siten berasal dari kata Tedhak berarti turun (menapakkan kaki) dan Siten atau Siti yang artinya tanah. Maka tradisi dari Tedhak Siten adalah tradisi turun tanah atau penapakan kaki ke tanah yang pertama kali bagi seorang anak. Hal ini dilakukan karena masyarakat Jawa beranggapan bahwa tanah atau bumi merupakan tempat kehidupan yang mempunyai kekuatan gaib. Upacara Tedhak Siten berlangsung saat anak berusia 7 lapan dalam kalendar Jawa. Oleh karena itu, Tedhak Siten ada yang menyebutnya Piton-piton dari asal kata pitu (tujuh).

Perlu diketahui bahwa dalam kalender Jawa memiliki lima Pasaran (pasar) yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Setiap hari diberi nama pasaran berbeda dalam satu periode Selapan. Maka dalam satu lapan (Selapan) sama dengan 35 hari. Jadi, umur anak saat diadakan tedhak siten berusia 245 hari (7 x 35 = 245 hari). Pada usia tersebut biasanya anak mulai belajar berjalan sehingga saat inilah awal anak mulai menapakkan kakinya ke tanah.

Tradisi Tedhak Siten merupakan serangkaian kegiatan yang menyimbolkan rasa syukur pada Tuhan dan do’a orang tua bagi anaknya. Selain itu, upacara ini juga sebagai lambang dari bimbingan orang tua kepada sang anak dalam meniti kehidupannya kelak. Apapun dilakukan orang tua dalam mewujudkan rasa syukur dan do’anya melalui serangkaian prosesi dan ubarampe yang digunakan dalam upacara tedhak siten.

Ubarampe atau perlengkapan pada tradisi Tedhak Siten antara lain jadah 7 (tujuh) warna; tangga yang terbuat dari tebu wulung atau tebu Arjuna; kurungan (biasanya berbentuk seperti kurungan ayam) yang diisi dengan barang/benda, alat tulis, mainan dalam berbagai bentuk; air kembang untuk membasuh dan memandikan anak; ayam panggang; pisang raja beserta batangnya; udhik-udhik; jajanan pasar; berbagai jenis jenang; tumpeng lengkap dan gunungan.

Menurut https://kebudayaan.jogjakota.go.id, proses tradisi Tedhak Siten ini ada beberapa rangkaian kegiatan yang perlu dilakukan, yaitu:

1. Membersihkan kaki.

Pada prosesi ini orang tua mencuci bersih kaki anaknya sebelum menginjakkan kakinya anak ke tanah. Prosesi ini mempunyai makna bahwa si anak mulai menapaki kehidupan di atas bumi. Dalam menapakai kehidupan hendaknya harus dilakukan dengan hati yang bersih dan niat yang suci.

2. Berjalan melewati tujuh jadah.

Kemudian anak dituntun oleh orang tua untuk berjalan di atas jadah (sejenis panganan yang terbuat dari beras ketan dan kelapa yang ditumbuk). Ada tujuh buah jadah dengan warna yang berbeda-beda, yaitu merah, putih, hijau, kuning, biru, merah jambu, dan ungu. Tujuh dalam bahasa Jawa ‘pitu’, artinya semoga kelak si anak selalu mendapat pitulungan atau pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa dalam hidupnya. Dengan menapaki jadah 7 warna ini, si anak kelak diharapkan mampu melewati setiap aral dan rintangan dalam hidupnya.

Jadah dibuat beraneka warna yang menggambarkan rintangan dan kesulitan hidup itu banyak jenis dan ragamnya. Masing-masing warna memiliki makna tersendiri, yaitu: (a) Merah artinya keberanian, dengan harapan si anak berani dalam menghadapi kehidupan yang banyak macam jenis dan ragamnya; (b) Kuning artinya kekuatan lahir dan batin yang wajib dimiliki oleh si anak dalam menjalani kehidupan; (c) Putih artinya kesucian, si anak harus selalu menjaga setiap niat dan perilaku dengan hati yang suci; (d) Merah jambu atau jambon artinya si anak harus memiliki cinta dan kasih sayang pada sesamanya, khususnya pada orang tua dan saudara-saudaranya; (e) Biru artinya ketenangan jiwa dan keluasan hati si anak dalam menghadapi kehidupan bak samudera dan langit yang biru; (f) Hijau artinya lingkungan sekitar dan kesuburan, si anak diharapkan peduli pada lingkungan alam di sekitarnya; (g) Ungu artinya kesempurnaan atau puncak, dengan harapan si anak dapat mencapai puncak kejayaan dalam hidupnya kelak.

3. Tangga dari tebu Wulung atau tebu Arjuna.

Pada rangkaian tradisi ini orang tua mengajak anak untuk menaiki 7 tangga yang terbuat dari batang tebu. Kata ‘Tebu’ berasal dari kata antebing kalbu yang berarti kebulatan tekad, niat yang sungguh-sungguh dan penuh rasa percaya diri. Prosesi ini menggambarkan bahwa si anak akan menghadapi perjalanan hidupnya dari hari ke hari untuk mencapai puncaknya. Dalam kegiatan ini, si anak dipandu atau didampingi oleh orang tuanya. Hal ini menggambarkan bentuk dukungan dari orang tua dan keluarganya pada si anak dalam menjalani hari-harinya. Sehingga si anak kelak tidak mudah menyerah dalam menjalani kehidupan dan dalam menggapai cita-citanya, seperti Raden Arjuna. Raden Arjuna adalah nama tokoh pewayangan yang sakti mandraguna karena rajin bertapa sebagai wujud kebulatan tekad dalam menggapai ilmu atau wahyu dari dewata.

4. Kurungan ayam.

Di dalam kurungan ayam ini terdapat berbagai macam benda seperti uang, perhiasan, alat tulis, beras, mainan, dan lain sebagainya. Kurungan ini menggambarkan pilihan dalam kehidupan nyata yang akan dilalui si anak kelak jika dewasa. Si anak dimasukkan ke dalam kurungan untuk mengambil salah satu benda yang berada dalam kurungan itu. Benda yang diambil oleh si anak dipercaya sebagai gambaran dari profesi yang akan dijalani kelak jika dia sudah dewasa.

5. Memandikan Anak dengan air Sritaman.

Air mandi Sritaman terdiri dari bunga mawar, melati, magnolia dan kenanga. Air ini merupakan air yang diambil oleh kedua orang tua dari si anak dari beberapa sumur pada waktu tertentu. Pengambilan air biasanya pada malam hari sekitar pukul 10-12 malam. Air kemudian didiamkan atau diembunkan selama semalam sampai keesokan hari dan terkena sinar matahari. Maksud dari memandikan si anak dengan air Sritaman adalah kelak si anak dapat mengharumkan dirinya, orang tua dan keluarganya.

6. Memberikan udhik-udhik.

Udhik-udhik yaitu uang logam yang dicampur dengan bermacam-macam bunga. Pada tradisi ini, udhik-udhik disebar dan dibagikan kepada anak-anak dan orang dewasa yang hadir dalam acara tersebut. Maksud dari prosesi ini adalah agar kelak si anak suka mendermakan rezekinya kepada fakir miskin atau orang yang membutuhkan jika dia dikarunia rezeki yang cukup.

Pada beberapa daerah terdapat beberapa perbedaan prosesi, tata cara, maupun perlalatan yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi Tedhak Siten. Namun demikian, maksud dan tujuan dari diadakannya tradisi tersebut tidaklah berbeda yakni sebagai wujud syukur orang tua pada Tuhan Yang Maha Kuasa dan do’a atau harapan yang terbaik pada anaknya. Seperti halnya yang terdapat di daerah Madiun adanya gunungan.

Di daerah Madiun, tradisi tedhak siten atau dikenal dengan piton-piton. Piton-piton berasal dari kata pitu (tujuh), yaitu pitung lapan. Di samping itu, kata pitu diambil dengan maksud anak yang dipiton-piton agar selalu mendapat pitulungan (pertolongan) dari Yang Maha Kuasa. Pada tradisi piton-piton ini biasanya ada gunungan. Gunungan ini menggambarkan rasa syukur dan harapan orang tua pada Tuhan yang besarnya bagaikan gunung. Gunungan ini terbuat dari belahan bambu yang ditancapkan pada batang pisang Raja yang membentuk seperti gunung. Pada belahan bambu tersebut diberi pernak-pernik jajanan pasar, peralatan memasak dan sejumlah pecahan uang kertas. Gunungan ini dihiasi dengan puluhan balon. Di kiri kanannya gunungan terdapat juntaian pernak-pernik yang seperti pada gunungan yang digelantungkan pada tali temali yang dibentangkan.

Juntaian pernak-pernik dan gunungan akan diperebutkan oleh orang-orang yang hadir di acara tersebut, dari anak-anak sampai orang dewasa. Acara rebutan ini dilakukan setelah rangkaian acara selesai. Adapun tradisi tedhak siten biasanya diisi dengan marhabanan atau bacaan Barzanji dan diiringi hadroh. Maksud dari prosesi ini adalah memperkenalkan nilai-nilai agama pada si anak sedini mungkin dan agar mendapat syafaat dari kanjeng Nabi Muhammad SAW. Semoga.

Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum adalah dosen di Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Tulisan ini disunting oleh Dr. Sulistyani, M.Pd., Dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).