Dari Sarasehan Kebangsaan 4 PISHI, Terus Perjuangkan Kesetaraan dan Hak Dasar Warga Negara

Dari Sarasehan Kebangsaan 4 PISHI, Terus Perjuangkan Kesetaraan dan Hak Dasar Warga Negara

NUSADAILY.COM - MALANG - Tempat ibadah merupakan kebutuhan vital semua umat beragama. Namun kelompok tertentu mengalami kesulitan mendirikan tempat ibadah dengan pelbagai alasan. Kasus-kasus penyegelan tempat ibadah dan pembubaran paksa sejumlah kegiatan keagamaan yang akhir-akhir ini makin marak adalah contoh dari tingkat toleransi sebenarnya mengalami penurunan yang cukup berarti. Gagalnya pemerintah daerah dalam menafsirkan regulasi dari pemerintah pusat ditengarahi merupakan faktor utama mengapa kelompok minoritas tertentu semakin terpinggirkan.

Menyikapi kondisi akhir-akhir ini, Sabtu, 25 Maret 2023, Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI) menyelenggarakan Sarasehan Kebangsaan ke-4 dengan topik “Pendirian Tempat Ibadah: antara Penerimaan dan Penolakan.” 

Menurut Ketua Umum PISHI, Dr. Wadji, M.Pd., organisasi yang dipimpinnya akan terus memperjuangkan kesetaraan dan hak-hak dasar yang harus diperoleh oleh tiap warga negara. Kepada Nusadaily.com, Wadji menyampaikan bahwa PISHI akan selalu turut menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk mengedukasi masyarakat, terutama meluruskan berbagai kesalahpahaman.

“Dalam acara hari ini kami mengundang pelbagai pihak, terutama para pencari keadilan. Mereka akan melaksanakan ibadah saja sulit. Kita duduk bersama untuk mencari solusi yang tepat dan damai. Kita harus tegakkan konstitusi, negara kita menjamin semua orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya. Jika ada oknum atau kelompok yang memaksakan kepada orang atau kelompok lain, hampir bisa dipastikan ia telah melawan Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya.

Acara yang berlangsung sekitar 4 jam ini menghadirkan empat orang pembicara, yakni Pendeta Dr. Ferdinand Watti, Dr. Umi Salamah, M.Pd.. Engelbertus Kukuh Widiatmoko, S.H., M.Pd., dan Yendra Budiana, M.M. 

Dalam paparan makalahnya yang berjudul “Peran Pemerintah, FKUB, Warga Masyarakat dalam Pendirian Rumah Ibadah,” Pdt. Ferdinand menyoroti peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang seringkali tidak pada tempatnya. Menurut Ketua Umum Kejayaan Nusa Antara Cerdas (KNC) itu, FKUB mestinya bertindak sebagai pemberi rekomendasi, bukan sebagai oknum yang justru melakukan penolakan terhadap pendirian tempat ibadah. Dalam banyak kasus, meskipun persyaratan sudah lengkap namun pendirian rumah ibadah malah dihambat oleh FKUB sendiri.

Sementara itu Dr. Umi Salamah, M.Pd. dalam presentasinya yang berjudul “Membangun Komunikasi Antar Tokoh Umat Beragama untuk Menjaga Keutuhan NKRI” menuturkan bahwa masyarakat Indonesia dihadapkan pada pluralisme yang rentan memunculkan konflik, apalagi jika agama digunakan sebagai alat politik. Ketegangan antarumat beragama mengakibatkan renggangnya hubungan sesama umat beragama. 

Sebagai negara hukum yang berideologi Pancasila, lanjut dosen IKIP Budi Utomo ini, pemahaman kerukunan dan toleransi antar umat beragama harus terus ditingkatkan. Apabila tokoh antarumat beragama memberi teladan kepada masyarakat untuk saling toleransi, menghargai, dan menghormati, maka perbedaan itu akan menjadi khasanah keberagaman dalam mewujudkan persaudaraan antarumat beragama. Untuk itu, diperlukan komunikasi yang harmonis antar tokoh umat agama untuk menjaga keutuhan NKRI.

Pembicara ketiga, Engelbertus Kukuh Widijatmoko, S.H., M.Pd. mengangkat topik “Rekonstruksi Pendirian Rumah Ibadah Berbasis AKIK (Asumsi, Kitis, Inspirasi, Konklusi).” Menurut Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Malang ini, kehidupan beragama butuh tempat beribadah. Seharusnya pendirian tempat ibadah tidak ada masalah secara perundang-undngan. Tetapi menjadi masalah karena mindset masyarakat tentang kehidupan beragama. Kehidupan beragama jika menggunakan cara berpikir marketing maka terjadi ketegangan. Perlu mengembalikan mindset kualitas kehidupan bergama dalam tempat ibadah bukan kuantitas.

Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana, M.M., memaparkan sejumlah kasus yang menimpa anggota jemaatnya. Menurutnya, Jemaat Ahmadiyah adalah kelompok yang pasca reformasi paling banyak mengalami persekusi. Yendra mengutip hasil surve yang menyebutkan bahwa 99% masyarakat Indonesia tidak tahu apa itu Ahmadiyah. Dalam hal ini terjadi kontradiksi, di satu sisi mereka tidak tahu tentang Ahmadiyah, di sisi lain mereka menyatakan bahwa Ahmadiyah itu sesat. Persepsi  masyarakat juga masih mengganggap Ahamdiyah adalah organisasi terlarang. 

Yendra menyatakan bahwa Ahmadiyah masuk Indonesia tahun 1925. Setelah Indonesia merdeka, organisasi ini telah diakui Pemerintah RI dengan diterbitkannya SK Menteri Kehakiman pada tahun 1953. Bahkan legalitas itu terus diperbarui di Kementerian Hukum dan HAM. Terakhir ketika pergantian pengurus tahun 2022. 

“Yang sering disalahpami tentang Ahmadiyah dan menjadi bahan fitnah adalah Nabinya bukan Muhammad, kitab sucinya bukan Al-Quran, dan syahadatnya berbeda dengan umat Islam lainnya. Padahal kalau kita lihat di websitenya Ahmadiyah sudah jelas dinyatakan bahwa syahadatnya sama, nabinya sama, kitab sucinya sama, rukun Islam dan rukun imannya sama. Di zaman digital ini mestinya sangat mudah, tinggal klik alislam.org semua tentang Ahmadiyah ada di sana. Tapi karena literasi masyarakat kita kurang, orang malas membaca, maka yang mereka lihat hanya pernyataan public figure,” tegas Yendra.

Acara yang dipandu oleh moderator Dr. Siti Asmiyah, M.TESOL ini diakhiri dengan tanya jawab dan diskusi yang penuh dengan keakraban dan saling pengertian. Semua responden menginginkan acara semacam ini lebih sering dilakukan oleh PISHI, agar segala kesalahpahaman bisa diatasi, tentunya dengan saling bertemu dan berdialog. (wan)