Stereotip Gender “Duda Keren” Dan “Janda Gatel”

Duda keren dan janda gatel merupakan sebuah stereotif gender verbal yang sering terdengar di masyarakat. Dua istlah tersebut sangat mudah diucapkan namun jarang yang berpikir untuk menganalisisnya. “Duda keren: dan “Janda gatel” menjadi fenomena yang kontroversial, sensitif, dan menantang sehingga menarik untuk diangkat dalam opini kali ini.

Stereotip Gender “Duda Keren” Dan “Janda Gatel”
HomeHealthSeks Bukan Soal Laki-Laki atau Perempuan, Kesetaraan Gender adalah Upaya Memperjuangkan Hak Kemanusiaan Ade Nasihudin Al AnsoriAde Nasihudin Al Ansori 25 Apr 2021, 18:00 WIB Copy Link 14 Ilustrasi kesetaraan gender. Perbesar Ilustrasi kesetaraan gender. Foto oleh Tim Mossholder dari Pexels

Ichi Ahada, M.M, M.Pd

Dosen Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman

Duda keren dan janda gatel merupakan sebuah stereotif gender verbal  yang sering terdengar di masyarakat. Dua istlah tersebut sangat mudah diucapkan namun jarang yang berpikir untuk menganalisisnya. “Duda keren: dan “Janda gatel menjadi fenomena yang kontroversial,  sensitif, dan menantang sehingga  menarik untuk diangkat dalam opini kali ini.

Kata “Duda” menurut sekumpulan glosarium adalah seorang pria yang sudah bercerai dengan istrinya, baik disebabkan oleh perselingkuhan, ketidakcocokan, atau pun kematian. Adapun “Keren” menurut kamus Bahasa Indonesia berarti perlente (berpakaian bagus, berdandan rapi, dan sebagainya), tampak gagah, tampan, dan tangkas. Dalam perkembangannya, kata “Keren” tidak terbatas pada pemaknaan fisik seseorang. Akan tetapi juga digunakan untuk menyebut karya yang indah, suara yang merdu atau unik, dan alam yang eksotis. Jadi kata “Keren” sejatinya dapat melekat kepada siapa saja yang berpenampilan perlente, bersuara merdu berkarya hebat, baik-laki-laki maupun perempuan. Kata “Keren” juga dapat melekat pada benda dan keadaan.

Kata janda menurut KBBI berarti perempuan yang sudah bercerai dengan suaminya, baik disebabkan oleh perselingkuhan, kematian, atau ketidakcocokan. Adapun makna kata “Gatel atau Gatal” dalam kamus KBBI dan beberapa glosarium artinya berasa sangat geli yang merangsang pada kulit tubuh dan bawaannya ingin digaruk. Dalam bahasa gaul kata “Gatel” digunakan sebagai bentuk sindiran untuk seorang laki-laki atau perempuan yang kerap menggoda kekasih orang. Biasanya orang yang seperti itu disebut 'kegatelan'. Perkumpulan para orang tua yang gatal dan nakal disemati dengan akronim Portugal. Berdasarkan makna di atas kata “Gatel” sebenarnya dapat disematkan kepada laki-laki atau pun perempuan yang memiliki sikap suka menggoda kekasih atau istri/suami orang lain.  

Fakta yang berkembang di masyarakat, kata “Gatel” sering disandingkan dengan “Janda, sedangkan kata “Keren disandingkan dengan kata “Duda”.  Masayarakat jarang yang mau peduli terhadap penyebab sematan kata “Duda Keren” yang melekat pada pria dan sebutan “Janda Gatel” yang melekat pada perempuan. Pada umumnya, masayarakat menyematkan sebutan “Duda Keren’ pada pria yang sudah bercerai namun berpeampilan perlente. Sebaliknya kata “Keren hampir tidak pernah disematkan pada seorang janda mskipun berwajah cantik dan berpenampilan perlente. Ironisnya, seorang janda yang berpenampilan cantik, perlente, dan ramah justru disematkan predikat sebagai “Janda Gatel”.  

Pantaskah apabila laki laki yang perceraiannya disebabkan oleh perselingkuhan dirinya menyandang predikat ‘Keren’? Pantaskah sebutan ‘Duda keren’ disandang oleh laki-laki yang bercerai karena telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istrinya. Di sisi lain ketika seorang perempuan yang bercerai karena menjadi korban KDRT atau korban perselingkuhan mendapat predikat janda. Apabila seorang  janda bersikap ramah mendapat predikat ‘Janda gatel”. Stereotip penyematan istilah “Duda Keren” dan “Janda Gatel” di masyarakat sebenarnya merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender. Stigma buruk yang disematkan pada perempuan tidak bersuami sebagai ‘janda kembang’ dan Janda gatel’ menjadi stereotip negatif yang menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidakberuntungan pada seorang perempuan.

Strerotip negatif “Janda Gatel” yang disandang oleh seorang janda berdampak menjadi bahan bully kepada wanita yang sudah bercerai. Stigma negatif terhadap janda tersebut otomatis mempengaruhi pola pikir masyarakat dan mengonstruksi janda sebagai “aib.  Konstruksi janda sebagai aib tersebut menstigma pola pikr masyarakat untuk selalu menghindari pernikahan putra mereka dengan seorang janda. Pengaruh stigma negatif di masyarakat sangat kuat, sehingga menikahi seorang janda merupakan sebuah aib. Apabila ada seorang putra memiliki calon istri seorang janda, para orang tua mengatakan “Wah, apakah tidak ada yang gadis kah? Apa kata orang kalau kamu nikah dengan janda? Pikir-pikir dulu deh kalo mau nikah dengan janda?” Stigma negatif terhadap janda dengan sebutan “Janda Gatel” sangat merendahkan martabat perempuan.  

Hal itu sangat berbeda dengan predikat “Duda Keren” yang disematkan pada pria yang sudah bercerai. Para orang tua tidak merasa malu untuk menikahkan putrinya dengan seorang “Duda Keren”, meskipun perceraiannya akibat KDRT ataupun perselingkuhan. Hal ini menimbulkan paradoks bahwa jika seorang duda bisa dengan mudah mencari atau mendapatkan jodoh lagi, sebaliknya seorang janda sangat sulit untuk menemukan jodohnya lagi.

Masih ada lagi stigma negatif terhadap perempuan selain “Janda Gatal”. Istilah pelakor hanya disematkan pada perempuan yang menjadi istri kedua. Predikat tersebut tidak terdapat pada seorang pria yang merebut atau menggoda istri orang. Apabila ada istilah pelakor, seharusnya ada istilah  ‘pebinor/ perebut bini orang’.  Lalu ada lagi sebutan pada wanita yang baru mengalami pengalaman malam pertama dengan istilah ‘unboxing (buka kemasan), kemudian untuk wanita yang belum memiliki pengalaman berhubungan seks disebut ‘masih segel’  alias masih perawan, sedangkan yang sudah memiliki pengalaman dikatakan ‘bekas’. Istilah-istilah tersebut menyamakan perempuan dengan barang/benda, sementara istilah bekas ada padanannya pada pria. Sebutan unboxsing, segel, dan bekas pada perempuan merupakan bentuk ketidakadilan verbal gender terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya patriarki sangat mendominasi dalam menciptakan stiqma negatif terhadap perempuan. Sehubungan dengan itu perlu kajian lebih mendalam tentang fenomena munculnya ketidakadilan gender verbal di berbagai konteks agar implementasi kesetaraan gender dalam berbagai bidang dapat diwujudkan. Disunting oleh Dr. Umi Salamah, M.Pd Anggota Perkumpulan Ilmuan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI), Dosen IKIP Budi Utomo Malang.